31. Ultimatum ☕

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

hostile partner

♥Happy-Reading♥

.

.

.

Bagi Chelia, ada dua orang yang tidak mungkin marah padanya. Dalam artian orang-orang yang selalu penuh kasih dan belum pernah menunjukkan emosi negatif yang berlebihan. Mereka adalah Riva dan Rama. Setidaknya sampai beberapa detik yang lalu sebelum ia tidak sengaja menjatuhkan laptop Rama.

Secara fisik laptop tersebut memang tampak baik-baik saja, namun begitu dihidupkan, bukannya disambut dengan jendela opening, yang terpampang di layar adalah sederetan bahasa pemrograman yang muncul silih berganti. Chelia beberapa kali membantu Riva bekerja dengan menghapalkan untuk kakaknya itu sintaks-sintaks yang rumit, namun ia sendiri tidak paham bagaimana cara kerjanya.

Chelia menautkan jemarinya dan mondar-mandir dalam ruang sekret dengan resah, khawatir Rama akan marah padanya.

"Chelly, ada apa? Kenapa gelisah begitu?"

Chelia berbalik pada Rama yang baru masuk ke dalam ruangan. Ia menggeleng pelan dan menatap Rama takut-takut.

"Sweetheart, kamu tidak bisa berbohong. Sini, duduk." Rama menepuk kursi di sebelahnya. "Cerita saja."

Chelia menurut dan menunduk dalam-dalam. "Maaf, Rama. Aku tidak sengaja menjatuhkan laptopmu."

Rama yang semula menyimak dengan serius kini tertawa. "Duh, Chelly! Kupikir apa!"

"Tapi laptop ini rusak." Chelia memperlihatkan layar laptop Rama berisikan kode-kode perintah.

Rama menutup laptopnya dengan santai. "Tidak apa-apa, Chelly. Ini laptop lama, Edward hanya sering pakai untuk main game."

Chelia menghela napas berat. "Benar tidak apa-apa?"

"Kenapa juga harus apa-apa."

"Aku bawa pulang, ya. Biar kak Riva bisa perbaiki," tawar Chelia masih tidak enak.

Rama tersenyum dan menepuk kepala Chelia, "Boleh. Tapi perlihatkan saat kak Riva senggang saja, ya?"

Chelia mengangguk dan membalas senyum Rama, jauh dalam hati ia masih merasa bersalah.

Rama mengamati Chelia sambil menopang dagu. "Chelly ...," panggilnya lembut.

"Iya? Kenapa, Rama?"

Rama menggeser kursinya menghadap Chelia. "Program kloning di Amerika yang pernah kamu cerita itu benar-benar ada?"

"Eh?" Chelia berpikir sebentar, "Itu hanya wacana, sih. Kenapa?"

"Aku ingin ikut program itu," jawab Rama serius.

Chelia hanya terkekeh mendengarnya. "Kenapa? Kamu lelah menulis laporan dan tugas, ya? Nanti biar aku bantu, deh."

Rama ikut tertawa meski matanya tidak demikian. Ia memandang Chelia lekat-lekat.

Kamu hanya ada seorang di dunia ini, Chelly. Bila program kloning itu benar ada, aku ingin menciptakan kloningmu. Rama memejamkan mata. Satu untukku, satu lagi untuk Rean.

"Rama, kenapa?" tanya Chelia saat melihat Rama yang tiba-tiba berkaca.

"Tidak apa-apa!" Rama mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia lalu mendekatkan wajahnya pada Chelia yang refleks memundurkan tubuh.

"Jangan bergerak dulu, Sweetheart. Bulu matamu ada yang jatuh, nih." Rama menahan bahu Chelia lalu meraih sehelai bulu mata yang menggantung di pipinya.

Chelia tanpa sadar menahan napas sampai Rama menjauhkan tubuhnya. Pipinya terasa menghangat.

"Duh, ini siapa sih yang merindukan kamu!" Rama mendecakkan lidah. "Bisa gawat kan, kalau bulu matamu rontok semua gara-gara banyak yang rindu."

Chelia kembali terkekeh. "Rama ada-ada saja."

"Bukan ada-ada saja, tapi selalu ada." Rama berdeham kecil. "Ngomong-ngomong fakta kalau orang tidak bisa tidur tanpa bulu mata itu hoax, lho. Aku pernah coba."

"Kamu pernah coba? Serius?"

"Serius. Aku menggunduli bulu mata kakekku dan dia tetap bisa tidur," kata Rama sambil terbahak. Chelia pun ikut tertawa.

Tanpa mereka sadari, ada dua orang yang mengamati mereka dari pintu. Yang satu bersedekap, sedang satu yang lain memandang ponselnya dengan bangga.

"Hasil yang bagus, bukan?"

"Luar biasa. Kau memang hebat."

"Bagaimana? Kita viralkan sekarang?"

"Bodoh! Itu tidak akan berdampak apa-apa pada suara dan pemilihan."

"Lalu foto ini akan kita apakan?"

Orang yang bersedekap tadi menyeringai. "Kita kirimkan pada seseorang."

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Hampir pukul 10 malam saat Edward membangunkan Rama yang sedang terlelap di ruang tengah.

"Rama, sudah hampir jam sepuluh!" Edward mengguncang tubuh Rama.

Tidak ada pergerakan.

"Rama, bangun! Nanti kamu yang susah sendiri!"

Masih tidak ada pergerakan.

Edward mendengus kesal. Selepas magrib saat baru kembali dari rumah Chelia tadi, Rama langsung tiduran dan meminta dibangunkan untuk menulis laporan. Namun sekarang ia tidur layaknya orang koma.

Dengan sangat terpaksa Edward menempuh cara terakhir, alarm maut. Edward meraih ponselnya dan mengeset alarm yang akan berdering lima menit kemudian.

Alarm maut adalah alarm dengan nada dering suara cekikan khas mbak Kunti yang sangat diantisipasi Rama. Alarm yang terbukti efektif dan selalu berhasil membuat Rama terbangun di deringan pertamanya. Meski kadang merepotkan juga karena Rama akan ketakukan sampai pagi dan meminta ditemani melakukan apapun.

Lima menit kemudian suara cekikikan mbak Kunti memenuhi ruangan disusul Rama yang berlari secepat kilat satu detik setelahnya.

Edward sudah akan terpingkal-pingkal melihat ekspresi ketakutan Rama bila saja Rama tidak bersembunyi di belakangnya dan memeluk lehernya kuat-kuat.

"Rama! Lepas! Aku tidak bisa bernapas!" Edward meronta dan bergegas mematikan alarm maut yang hampir membuatnya mati tercekik.

"Ini cuma alarm! Payah sekali kamu!"

"Ya, mana tahu kalau itu beneran suara Miss Kunti!" Rama memutar kepala mencari-cari. "Rean belum pulang?"

Edward menghela napas, sedari tadi pun ia mengkhawatirkan Rean. Sayang pesan dan panggilannya tidak ditanggapi Rean.

"Belum," jawab Edward singkat.

"Ke mana dia?"

"Mungkin masih ada urusan di UKM."

Rama menghentakkan kepala. "Duh, Rean! Dia juga harus menjaga kesehatan. Setelah ini kita akan lebih sibuk. Jangan sampai dia drop. Ninja juga manusia."

Edward memandang Rama yang mengoceh sendiri. Jelas sekali ia mengkhawatiran Rean.

"Bagaimana masalah Erva?" Edward menggali topik lain. Sejak siang ia sibuk di HMJ dan tidak sempat bergabung dengan teman-temannya. Kabarnya selepas kuliah Erva absen belajar bersama dan mematikan ponselnya.

"Tadi aku, Chelia, dan Cassy mampir ke kosannya. Katanya sedang tidak enak badan."

"Pasti Erva makan tidak benar. Dia kan, paling sering makan mie instan." Edward ikut cemas. "Jadi sekarang bagaimana? Tidak kamu bawa ke rumah sakit?"

Rama menggeleng. "Dia tidak mau. Sekarang ada di rumah Chelly. Itupun karena Chelly yang memohon padanya." Rama berdiri. "Kamu sudah makan, Eddy?"

"Sudah."

"Mau minum susu jahe?"

"Boleh, deh."

Rama kemudian berlalu menuju dapur. Edward menatap punggung Rama sibuk menyiapkan susu sambil bersenandung kecil. Tak lama ia kembali dengan nampan berisi tiga mug besar.

"Kenapa tiga?"

"Buat Rean juga," balas Rama sambil terus memandang ke arah pintu. "Dia pasti sudah hampir datang."

Beberapa menit setelah Rama berkata demikian, terdengar deru motor Rean disusul suara pagar yang terbuka. Rama dan Edward saling berpandangan dengan lega. Setidaknya apa yang mereka khawatirkan tidak terjadi.

Drap ... Drap ... Drap

Suara langkah Rean yang berat dan cepat bergema di teras depan.

Brakkk! Rean membuka pintu dengan keras.

Edward mengernyit begitu menangkap raut wajah Rean yang tidak biasa. Terlebih saat Rean menuju mereka dan tanpa aba-aba menarik bagian atas baju Rama.

"Brother, kamu kenapa? Rindu sekali ya, padaku?"

"Jangan bercanda!" Rean makin menguatkan tarikannya hingga jarak antara dirinya dan Rama sangat dekat.

Rama mendorong Rean, lehernya mulai terasa tercekik. "Ka-kamu kenapa, Brother?"

"Kenapa?! Kamu tanya kenapa?!"

"Berhenti Rean!" Edward menengahi dan melepas cengkraman Rean pada Rama. "Ada apa denganmu?!" kata Edward dengan suara tak kalah tinggi.

Rama mengatur napasnya yang memburu dan mengelus lehernya yang terasa perih. Ini untuk pertama kalinya Rean bersikap kasar padanya.

"Kita sudah pernah berjanji untuk menjaga teman-teman perempuan kita, kan?!" ujar Rean geram menuding Rama.

"Iya. Lalu? Apa aku melakukan kesalahan?" Rama membela diri, tidak mengerti dengan tuduhan Rean.

"Kamu masih ingin berpura-pura?!" Rean kembali maju namun dihadang Edward.

"Rean! Kendalikan emosimu!" Edward tahu kekuatannya tidak sepadan dengan Rean namun ia tidak gentar memasang badan di tengah-tengah.

Rean beralih pada Edward. "Sekarang kamu membelanya?"

Edward menghela napas. "Membela bagaimana? Ayolah, Rean. Bicara baik-baik dulu."

Rean tersenyum miring, ia menepis tangan Edward lalu mengeluarkan ponselnya dan menatap Rama tajam.

"Ini, lihat dan baca sendiri!" Rean melempar ponselnya dengan emosi lalu memutar badan meninggalkan Edward dan Rama.

Edward menangkap ponsel yang dilemparkan Rean itu dan berbalik pada Rama.

"Kamu nggak apa-apa?"

Rama mengangguk pelan, bagian lehernya tampak memerah. "Apa itu?"

Edward membuka ponsel Rean dan membaca pesan yang ada di sana.

"Ya, tuhan! Apa ini?"

Baik Edward maupun Rama membeliak tak percaya.

Pesan tersebut berisi foto Rama dan Chelia yang diambil dari belakang, dengan sudut penangkapan yang membuat mereka berdua terlihat seperti melakukan sesuatu yang tidak pantas di ruang kelas yang sepi.

Rama dan Chelia seolah-seolah sedang berciuman di foto tersebut.

Tangan Edward bergetar, apalagi saat membaca pesan di bawahnya yang ditulis dengan menggunakan huruf kapital bold.

MUNDUR DARI PEMILIHAN ATAU FOTO INI TERSEBAR SATU FAKULTAS!

☕☕☕

TBC

.

.

.

Siapa yang greget di chapter ini, hayooo? 🤭🤭🤭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro