32. Dissolutio ☕

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

-undermine-

~♥Happy-Reading♥~

.

.

.

Tidak ada yang lebih sulit ketimbang mengambil posisi di tengah-tengah. Ibarat tuas neraca yang berusaha mencapai titik ekuilibrum, sedikit beban saja bisa menggeser kesetimbangannya.

Seperti itu pula situasi yang tengah dialami Edward sekarang. Berada di antara Rama dan Rean sebagai penengah. Edward pernah menertawakan keinginan Rama untuk menjadi amoeba agar bisa membelah diri, namun sekarang ia pun berharap bisa melakukan hal yang sama, agar masing-masing dari dirinya bisa berada di samping kedua sahabatnya itu.

Kembali pada kejadian malam tadi, Rean keluar dengan membanting pintu setelah memperlihatkan pesan berisi ancaman yang ditujukan untuknya dari pengirim anonim pada Edward dan Rama. Tak lama, deru motornya terdengar kembali. Jelas sekali Rean berniat meninggalkan rumah, padahal sudah larut malam.

Edward berusaha mencegat, namun Rean sudah lebih dulu lepas landas. Inisiatifnya untuk menyusul pun harus ia urungkan saat mendapati Rama yang terduduk lesu di ruang tengah. Edward tahu Rama tak kalah syok dan butuh ditenangkan, terlalu kejam untuk meninggalkannya sendirian.

Di satu sisi, Edward sangat mengerti bagaimana perasaan Rean. Tujuan yang selama ini diperjuangkannya harus dipertaruhkan dengan nama baik dua orang yang begitu ia sayangi, atas alasan yang menyakitkan hatinya sendiri pula. Tapi di sisi lain, Edward juga sepenuhnya percaya pada Rama. Meski foto dalam pesan tersebut terlihat begitu nyata, tidak sedikit pun hatinya mengeluarkan prasangka buruk pada Rama maupun Chelia.

Edward menghela napas. Baru semalam berlalu, ia sudah dibuat rindu dengan kericuhan mereka di rumah. Pada senda gurau Rama, keseriusan Rean, juga pertikaian konyol antar mereka yang selalu berakhir dengan tawa dan damai. Edward bahkan ikhlas Rama menyebarkan seluruh foto masa kecilnya yang penuh aib, ketimbang harus melihatnya tidak bersemangat. Sejak malam tadi Rama tidak banyak bicara. Rean pun belum menampakkan diri sampai sekarang.

"Rean masuk kuliah, kan Eddy?" tanya Rama begitu memasuki ruang kelas yang masih lengang. Rama tahu Edward pun tak mungkin tahu sebab komunikasi mereka dengan Rean terputus lantaran Rean meninggalkan ponselnya. Ia hanya butuh penegasan untuk memperkuat harapannya saja.

Rama sungguh-sungguh mengkhawatirkan Rean. Ia pergi dalam keadaan emosi tanpa mendengar penjelasannya dulu. Beruntung Vian segera memberi kabar keberadaan Rean di rumahnya sehingga paling tidak ia dan Edward bisa lebih tenang.

Edward mengangguk pelan, perasaannya semakin sesak begitu melihat Rama menarik satu kursi dan menempatkan ranselnya di sana, menyediakan satu tempat duduk untuk Rean seperti biasanya. "Rean tidak mungkin melewatkan pertemuan terakhir, apalagi ini kelas prof. Attar," jawabnya berusaha yakin.

"Pasti berat bagi Rean," sambung Rama lagi seraya menunduk. "Bagi kamu juga kan, Eddy?"

Edward terdiam. Secara tidak langsung keputusan final terhadap masalah ini memang berada di tangannya selaku ketua HMJ. Untuk menyelamatkan Rama dan Chelia dari fitnah, Edward bisa dengan mudah menggugurkan Rean sebagai kandidat dari jurusan farmasi dengan tidak mempromosikannya saat pendaftaran dan seleksi. Namun ia pun tidak mungkin menghentikan niat mulia Rean dan mengabaikan tugasnya untuk menyambung kepemimpinan jurusan mereka di fakultas yang sudah diwariskan turun-temurun. Lagipula tidak ada jaminan bahwa pihak pengancam itu benar akan membatalkan kecamannya.

"Berat bagi kita semua," kata Edward akhirnya dan menepuk punggung Rama.

"Kamu sudah beri tahu yang lain?"

Edward kembali bungkam. Sebenarnya ia ingin merahasiakan hal tersebut sampai rapat yang ia rencanakan sehabis kuliah nanti, namun ini adalah masalah internal yang perlu ditindak cepat. Dan bagaimana pun juga, Chelia harus tahu lebih dulu agar tidak merasa terpojok. Lagipula ia harus meminta bantuan Cassy untuk menjemput Chelia dan Erva. Edward tidak ingin membuat suasana makin runyam bila nanti Rean tahu Chelia yang biasa berangkat pagi bersamanya malah dijemput Rama.

"Eddy, jangan bengong begitu. Rean tidak ada. Kalau kamu kesurupan di sini, siapa yang mau keluarkan setannya, coba?" Rama berusaha tertawa, tapi sedetik kemudian ia kembali menunduk dan tersenyum kecut. "Hah ... dasar Rean. Aku sudah merindukannya saja."

"Rean hanya butuh menenangkan diri."

"Aku harap begitu." Rama menengok pada Edward lagi. "Chelly bagaimana?"

"Aku meminta Cassy untuk menjelaskan padanya." Edward mengusap tengkuk. "Masalah ini sedikit sensitif, rasanya aneh bila aku yang beri tahu langsung."

Rama mengangguk dan mengulas senyum maklum. Ia merasa beruntung memiliki Edward yang selalu sigap dan berhati-hati dalam bertindak.

"Saat rapat nanti, tolong jangan menekan Chelly. Nanti dia sakit lagi," ujar Rama yang disambut Edward dengan tepukan di bahunya.

"Itu tidak akan. Kami percaya pada kalian berdua. Kita hanya perlu meyakinkan Rean."

Rama menatap Edward lama lalu merangkul bahunya.

"Terima kasih telah percaya padaku, Eddy."

"Jangan berterima kasih. Seperti baru mengenalku kemarin saja." Edward balas merangkul Rama. Hampir tiga tahun sudah ia mengenal Rama. Hampir tiga tahun pula Rama mengijinkan ia dan Rean menempati rumahnya, menggunakan semua fasilitas di dalamnya, juga menyiapkan keperluan mereka dengan cuma-cuma bahkan tanpa diminta. Bantuan Rama selama ini belum sebanding dengan kepercayaan yang ia berikan.

"Ada yang menelepon, tuh!" seru Rama begitu melihat lampu notifikasi HP Edward berkelap-kelip.

"Dari Cassy," kata Edward sesaat sebelum menerima panggilan tersebut. Perlahan kerutan muncul di dahinya yang mencerna penuturan Cassy dengan serius.

Edward menoleh pada Rama. "Chelly kabur?!"

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Rasanya baru kemarin Chelia berpikir bahwa Riva adalah satu dari dua orang selain Rama yang tidak mungkin marah padanya. Sekarang ia justru harus dihadapkan dengan masalah besar yang membuatnya takut bahkan untuk sekedar meminta kakaknya itu menjemputnya kembali ke rumah.

"Bagaimana bila Kak Riva tidak percaya dan marah?"

Chelia berulang kali mengulangi pertanyaan yang sama dalam hatinya. Tangannya bergetar, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Pasalnya, foto antara dirinya dan Rama itu kelihatan sangat nyata. Bahkan Chelia sendiri malu melihatnya.

Chelia duduk bersandar pada tembok di samping gedung fakultas. Ia sedang bersembunyi dari Cassy, Erva, dan Naya dan berniat pulang diam-diam. Chelia merasa tidak tenang dan terus was-was, khawatir pengirim pesan misterius tersebut benar-benar menyebarkan foto itu.

Perlahan Chelia memejamkan mata, memulai proses mapping dalam kepalanya. Chelia telah mengembangkan teknik yang beberapa minggu lalu diterapkannya tersebut dan berhasil membangun map tiga dimensi rute perjalanannya dari rumah ke kampus, hampir menyerupai sistem pemetaan web berbasis jaringan. Chelia yakin tidak akan tersesat, namun menggunakan angkutan umum dengan kode-kode jalan yang tidak dimengerti seorang penumpang amatir sepertinya tampaknya akan rumit. Aplikasi transportasi online juga telah Riva blokir dari ponselnya.

"Chelly!"

Chelia membuka mata dan begitu terkejut saat melihat Rama tengah berlari ke arahnya.

"Rama? Bagaimana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Chelia begitu Rama duduk di sebelahnya. Tempat persembunyiannya ini sangat terpencil dan jarang dilalui orang-orang.

"Navigasi hati, Sweetheart," ujar Rama menujuk dadanya.

Chelia hanya tersenyum getir dan memalingkan wajah.

"Kamu kenapa kabur begini? Semua jadi khawatir." Rama menegokkan kepalanya mengikuti Chelia.

"Maaf ...," lirih Chelia semakin merunduk.

"Aku bertanya Chelly, kenapa malah minta maaf." Rama memegangi kedua sisi kepala Chelia dengan lembut.  "Lihat ke sini, dong. Nanti lehermu pegal terus tertekuk begitu."

Chelia mengangkat pandangannya dan menatap Rama yang memasang senyum. Chelia merasa makin sedih melihat Rama yang tampak tegar. Ia tahu ada beban di balik senyum itu.

"Rama ...," panggil Chelia dengan mata berkaca.

"Iya, Sweetheart." Rama menggenggam tangan Chelia. Ia mengerti bagaimana perasaan Chelia sekarang. Kurang lebih sama sepertinya.

"Aku ... aku takut ...," Chelia tak mampu lagi menahan air matanya. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya dan berusaha menangis tanpa suara.

Rama meraih Chelia dan membiarkannya menangis di pundaknya. Fitnah memang lebih kejam dari pembunuhan. Melihat bagaimana Rean tidak percaya padanya semalam, juga Chelia yang menangis dalam dekapannya sekarang membuat hatinya terasa mati berulang kali.

"Kita tidak salah, Chelly. Kita tidak melakukan itu, kan? Jangan takut."

"Tapi bagaimana kalau orang-orang tidak percaya? Bagaimana kalau ...,"

"Kami percaya, Chelly!" Cassy yang sedari tadi berdiri tak jauh dari sana berlari ke arah Chelia dan Rama disusul Edward, sedangkan Naya dan Erva datang dari arah berlawanan.

"Kami percaya pada kalian berdua," tegas Cassy lagi dan dibenarkan oleh yang lainnya.

"Benar! Kalian jangan khawatir. Ini pasti hanya akal-akalan kelompok oposisi yang ingin menjatuhkan Rean itu!" ungkap Naya kesal.

Rama menyeka air mata Chelia yang terus mengalir meski tangisnya sudah reda. "Dengar, Chelly? Teman-teman percaya pada kita."

Cassy yang menyaksikan itu menjadi haru, meski Rama selalu bersikap manis, ia tahu sejak dulu Rama menyukai Chelia. Sebagai perempuan, Cassy bisa merasakan perlakuan berbeda Rama pada Chelia.

Chelia melenggut beberapa kali dan menarik sudut bibirnya agar terlihat tersenyum. "Tapi bagaimana dengan Rean? Pasti dia sangat tertekan sekarang."

Segenap perhatian serempak beralih pada Rama dan Edward yang hanya membungkam. Chelia menatap Rama lekat-lekat, mengamati bekas kemerahan melingkar di lehernya karena tercekik kerah bajunya kemarin.

"Lehermu kenapa, Rama? Jangan bilang ini karena kamu bertengkar dengan Rean kemarin!" Mata Chelia kembali berkaca.

"Ah?!" Rama mengelus lehernya dan memasang senyum lagi. "Bukan, kok, Sweetheart. Ini karena kemarin aku main Hangaroo sama Eddy."

"Hangaroo?" Chelia menatap Rama dengan serius.

"Iya, Chelly. Kita main Hangaroo live action. Eddy jadi player, aku jadi kangurunya. Karena Eddy mainnya payah, aku jadi dihukum gantung terus."

Chelia terdiam beberapa saat baru kemudian memukul lengan Rama dengan gemas. "Jangan bercanda dong, Rama!" katanya setengah menangis setengah tertawa pula.

Rama terkikik dan membantu Chelia berdiri. "Sudah, ya. Jangan menangis lagi. Ayo, nanti kita terlambat. Ini kelas prof. Attar, lho. Kasihan Erva kalau kena sentimen lagi."

"Ah, iya! Mana kemarin kueku jatuh di atas kepalanya."

"Hah?! Kok bisa, Va?!" Cassy terperangah.

Erva kemudian menceritakan kejadian pada hari di mana Gio tidak sengaja menabraknya hingga menyebabkan kesialan pada prof. Attar yang kebetulan sedang lewat.

Mereka semua lantas tergelak tanpa dikomando, kecuali Naya yang terpaku.

"Jadi kue waktu itu ...?" tanya Naya penuh selidik.

"Gio berikan sebagai ganti."

"O-oh begitu, ya! Syukurlah" Naya berdeham. "Maksudku, syukurlah dia bertanggungjawab!"

"Prof. Attar, tahu?!" tanya Edward lebih tertarik pada reaksi prof. Attar.

Erva menggeleng. "Tidak! Aku sama Gio langsung kabur. Jangan bilang-bilang, ya. Nanti habis wisuda baru aku mengaku."

Rama tertawa. "Tenang, Va. Kita semua akan jaga rahasia. Tapi kalau kamu sakit dan tidak beri kabar seperti kemarin, awas saja! Kita lapor prof. Attar. Bagaimana?" ujarnya meminta kesepakatan pada yang lain.

"Setuju!" dukung Chelia. "Kalau kamu sakit bilang saja. Lagipula aku juga sering sendirian di rumah."

"Tapi ... aku takut merepotkan." Erva memandang sepatunya. "Aku tidak mau menjadi seperti benalu."

"Benalu? Siapa yang bilang kamu seperti benalu, Sweety? Pasti ada yang berkata begitu, kan?!" Rama mengernyit, istilah tersebut terlalu ilmiah untuk dikatakan seorang Ervana Arystia pada dirinya sendiri.

"Tdak usah kalian tahu. Lagipula apa yang dikatakan mereka itu--"

"Tidak benar!" Chelia menatap Erva. "Maaf memotong perkataanmu, Va. Tapi aku tidak mau kamu berpikir begitu. Kemarin kamu sengaja menghindari kami karena alasan itu, kan?"

Erva mengangguk lesu.

"Siapa yang bekata begitu, Va?!" Edward ikut geram.

Erva menggigit bibir. "Tidak usah kalian tahu."

Chelia beranjak pada Erva dan mengelus punggungnya  "Baiklah, tidak masalah siapa yang berkata seperti itu. Tapi harus kamu tahu, Va. Kita tidak pernah berpikir seperti itu. Kita saudara, kan? Saudara tidak main hitung-hitungan."

"Ya, sepanjang kita semua tidak keberatan, sepanjang kita semua oke-oke saja, jangan pedulikan perkataan orang. Kalau ada yang bicara seperti itu lagi, katakan saja. Biar Edward yang beri pelajaran."

"Aku?"

"Iya, ayahmu kan pengacara. Orang lain saja dibela, apalagi anak sendiri." Rama memberi isyarat dengan sedikit gerakan kepala. "Yuk, nanti kelasnya keburu dimulai!"

"Ayo, Cassy." Chelia mengamit lengan Cassy. "Maaf yah, tadi aku pergi begitu saja."

"Tidak masalah, Chelly." Cassy tersenyum. Diam-diam ia memperhatikan Chelia dan Rama bergantian. Ia makin terenyuh melihat keduanya masih berusaha menghibur Erva di tengah masalah yang mereka hadapi.

Cassy tidak ingin mengiring pikirannya ke arah negatif, namun jauh dalam hati, ia menyesalkan keputusan Rean untuk mendaftar sebagai calon ketua BEM.

"Ya, ini semua karena ambisi Rean!"

☕☕☕

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro