23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mama sayang banget sama Natra. Mama juga sayang banget sama kamu. Mama mau kalian berdua bahagia. Dan Mama berharap pernikahan kalian selalu langgeng dan dikaruniai banyak momongan."

"Iya...Ma."

"Soal Mahesa, sampai kapanpun Mama nggak akan pernah lupa. Mama tau, sampai detik ini kamu juga nggak bisa lupa. Tapi, sekarang suami kamu adalah Natra."

Ibu mertuanya memeluknya erat. Drea mengangguk lemah.

"Ma?"

Suara Natra terdengar dari arah pintu.

"Mama sama Drea ngapain peluk-pelukan sambil nangis gini?"

Drea melirik mama Natra yang juga sedang mengusap airmatanya.

"Mau tau aja urusan perempuan," sergah mamanya.

Natra terlihat menggaruk kepalanya dan mengangkat bahunya.

"Ya udah kalo gitu." Natra lalu menolehnya. "Dre. Aku mau ke bengkel dulu. Nggak lama. Nanti abis dari bengkel baru aku balik ke sini jemput kamu."

"Kenapa nggak ngajak Drea sekalian, Nat?" kata mama dengan dahi mengerut.

"Mm. Drea kan nggak suka bengkel. Dia sukanya ke salon." Natra menjawab seadanya.

"Benar begitu?" tanya mama kepada Drea.

"Nggak juga sih." Drea menjawab dengan ragu. Mama Natra tidak sedang menyuruhnya menemani Natra ke bengkel, bukan? Ia lebih baik menunggu di rumah, mengobrol dengan mama Natra, atau beristirahat di kamar daripada menghabiskan waktu di...bengkel.

"Nggak usah ditemani, Natra juga biasa sendiri ke mana-mana."

Mama memandangi mereka berdua bergantian. Dari apa yang dilihat Drea, mama Natra sepertinya menginginkan Drea menemani Natra.

"Ya udah. Nanti biar aku ikut." Drea membuka suara saat mereka bertiga saling bertatapan satu sama lain.

***

Drea mendapati pandangan heran dari Heru, partner bisnis Natra. Lelaki itu bersama-sama Natra mengelola bengkel. Menurut Natra, Heru paling rajin berada di bengkel tersebut dan tidak sungkan ikut bertindak sebagai montir meskipun ia sebetulnya bisa saja duduk-duduk di belakang meja, mengawasi karyawan bekerja.

Drea mengartikan pandangan mata Heru itu sebagai bentuk rasa terkejut. Heru mungkin menganggap kemunculannya di bengkel itu sebagai sebuah keajaiban dunia. Drea sendiri memang amat sangat jarang muncul di sana. Ia pun sudah lupa kapan terakhir kali menginjakkan kaki di sana sebelumnya.

Namun, ekspresi Heru segera berubah menjadi senyum lebar penuh keramahan. Ia segera menghentikan pekerjaannya, yang tadinya terlihat menyodorkan perkakas kepada montir yang sedang mengerjakan sebuah mobil berjenis city car berukuran mini berwarna merah dan mengikuti langkah Natra menuju bangku kayu kosong di depan ruang kerja mereka.

"Lo sibuk banget, Her?" tanya Natra sebelum duduk.

"Lumayan. Gue tadi kebetulan lagi ngasih arahan dikit buat Dedi." Heru menyebutkan nama salah satu montir yang masih terhitung baru bekerja di bengkel itu. "Lo ngapain ke sini? Bukannya lo tadi nyante di rumah nyokap lo?"

"Gue bosen aja di rumah, makanya gue ke sini." Natra melirik Drea. "Bareng Drea."

"Oh gitu," Heru tersenyum. "Lo apain sampai Drea mau ke sini?" ledeknya.

Drea hanya tersenyum tipis mendengar ledekan Heru. Ia tahu Heru tidak bermaksud menyinggung perasaannya. Ia sendiri yang enggan mendekatkan diri dengan lingkungan kerja Natra yang menurutnya tidak penting itu. Please, siapa yang mau berlama-lama tinggal di bengkel yang super membosankan ini?

"Gue sendiri yang mau ke sini," jawab Drea singkat. Ia melemparkan pandangan ke deretan oli mesin yang terpajang di etalase.

"Ya wajarlah, Her. Drea kan isteri gue. Dia juga mau tau dunia kerja gue kayak gimana," Natra menimpali sambil mengusap punggung Drea setelah melingkarkan tangan sampai telapak tangannya menyentuh lengan atas Drea.

"Wow mantap kalo gitu. Kapan-kapan gue ajak isteri gue ke sini biar bisa ngumpul-ngumpul sambil ngeliatin onderdil sama oli mesin." Heru ternyata memerhatikan ke mana arah pandangan mata Drea. Drea sendiri lebih banyak menghabiskan waktu duduk-duduk itu dengan melihat pemandangan sekitar bengkel. Dunia yang jauh berbeda daripada dunia kerja kantoran yang nyaris setiap hari ia geluti. Di sini tidak ada pemandangan deretan kubikel dengan karyawan yang bergelut di dalamnya. Apalagi tumpukan pekerjaan yang tiada habisnya. Atau tekanan untuk mengejar target setiap bulan.

Mungkin ini salah satu alasan Natra enggan bekerja di perusahaan. Natra terlalu menikmati pekerjaan santai seperti ini.

"Boleh," gumam Drea. Ia lalu menoleh kepada Natra. "Kamu pasti nggak pernah stres kerja di tempat seperti ini."

Tawa Heru meledak, namun ia tidak langsung menimpali, karena Drea memang tidak sedang berbicara kepadanya.

"We always have so much fun, here. Kapan-kapan kamu aku ajarin benerin mesin sendiri." Natra tersenyum kepada Drea. Drea membalasnya dan sesaat mereka saling berbalas senyum sampai Drea mengalihkan lagi pandangannya kepada Heru.

"Ngapain mesti belajar, kalo masih ada kamu yang bisa benerin mesinnya?"

"Nah kan?" Heru menuding kepada Natra. "Lo harus bisa diandelin jadi suamilah, Nat. Nggak mungkinlah isteri lo diajarin jadi montir."

"Ya siapa tau aja berminat." Natra mengusap tengkuknya, kikuk.

"Mungkin. Kapan-kapan," kata Drea.

Natra mengangguk dan diraihnya tangan Drea, dibawa ke pangkuannya.

"Kamu masih mau liat-liat?"

"Kayaknya udah cukup."

"Oke. Aku mau ke ruangan di dalam sama Heru. Ayo."

"Aku di sini aja. Kamu masuk aja sana. Jangan lama."

"Iya. Sepuluh menit juga selesai. Ada yang harus dicek sebentar."

Drea mengangguk. Natra beranjak dari duduknya, menyusul Heru yang berjalan menuju ruangan berpintu kaca yang tadi sempat ia amati saat baru datang. Di dalam ruangan tersebut terdapat deretan kursi, hanya saja ia lebih memilih menunggu di luar.

***

Natra menoleh lebih lama kepada Drea yang duduk di sampingnya. Setelah dari bengkel, mereka akan langsung pulang ke rumah. Atau tergantung Drea mau ke mana. Sejak meninggalkan bengkel, Drea belum memberitahu rencananya. Entah mencari tempat untuk mengisi perut atau sekadar jalan-jalan ke mall. Ia selalu membiarkan Drea melakukan apa yang ia ingin lakukan, dan membebaskan ke manapun ia ingin pergi.

"Jadi langsung pulang ke rumah?" tanya Natra saat mereka akan melewati sebuah pusat perbelanjaan.

"Ke mall aja dulu. Sekalian cari makan siang. Mall ini aja."

"Oke." Natra lalu mengarahkan mobil memasuki kawasan mall, langsung menuju pintu masuk menuju tempat parkir.

Setelah selesai memarkirkan mobil, ia mengarahkan langkah menuju pintu masuk. Drea mengikuti di belakang, sampai menjajari langkahnya menuju salah satu outlet brand luar negeri yang menyediakan pakaian, tas dan sepatu bertema sporty. Ia tidak yakin Drea mau membeli salah satu barang di sana, karena setahunya Drea lebih suka barang-barang yang menunjukkan sisi feminin dalam dirinya.

Drea berhenti di deretan t-shirt. Seorang cewek menghampiri mereka sambil menjelaskan produk yang mereka miliki.

"Lo suka yang mana?" Drea menunjukkan dua t-shirt pria, dengan warna berbeda. Satu berwarna hitam dan satunya lagi biru langit.

"Lo mau beliin gue?" tanya Natra, takjub.

"Jawab aja deh, mau yang mana." Drea menatapnya, bukan dengan tatapan akan marah atau bagaimana. Hanya saja intonasi suaranya masih seperti biasa.

"Ng, hitam aja."

"Tapi yang biru langit juga bagus." Drea melihat lagi kedua t-shirt di tangannya. "Dua-duanya aja kalo gitu."

"Trus ngapain lo nyuruh gue milih kalo ujung-ujungnya...," Ucapan Natra terputus karena Drea sudah berlalu meninggalkannya sambil membawa kedua t-shirt tersebut. Natra bergegas mengikutinya dengan perasaan gemas.

Rasanya ia ingin mencium Drea di sana saat itu juga sampai ia kehabisan napas. Sumpah, hari ini Drea menggemaskan sekali. Ia tidak tahu apakah Drea merencanakan untuk membelikan pakaian untuknya. Tapi mengingat Drea mau memilihkan baju untuknya, ia jadi tidak tahu harus berkata apa lagi.

Kali ini Drea berhenti di bagian jeans. Natra mengikutinya sambil menahan diri untuk tidak memeluk Drea dari belakang dan melakukan apapun yang ingin ia lakukan kepada isterinya tersebut, tidak peduli di sana ada karyawan atau pantauan CCTV.

"Dre, lo serius mau beliin gue baju?" tanya Natra dengan jantung berdebar. Drea tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya sejak Drea berubah menjadi Drea yang sekarang. Maksudnya, ia juga tidak pernah berharap Drea memberikan perhatian semacam ini kepadanya.

Drea lagi-lagi tidak menjawab dan malah menyodorkan celana jeans padanya. "Coba dulu di ruang ganti. Nomernya udah cocok kan?"

"Lo jawab dulu, baru gue coba celana sama bajunya." Natra menerima celana panjang dengan ukuran nomer celana yang biasa ia pakai.

"Hmm." Drea hanya menggumam.

"Kenapa?"

"Kenapa apa?" Drea mengerutkan kening.

"Kenapa lo mau beliin gue?"

Drea membuang napas. Ia berdiri membelakangi Natra sambil melihat-lihat ikat pinggang.

"Dre, jawab pertanyaan gue susah ya buat lo?" tanya Natra.

Drea terdengar mendesah. "Nat. Gue ingat kalo stok baju lo di lemari nggak banyak jadi gue pikir sekalian aja belinya di sini."

"Lo perhatian dong sama gue," simpul Natra.

Drea diam sambil menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Natra masih berdiri di belakangnya, menunggu ucapan Drea selanjutnya. Tapi Drea malah sibuk melihat-lihat barang-barang yang ada di sana.

"Dre," panggil Natra.

Drea berbalik. Ia kembali menyodorkan sebuah ikat pinggang. "Ini sekalian nanti digabungin sama bajunya."

"Dre, makasih ya?"

Drea menatap Natra sekilas, lalu ia membuka tasnya, mengeluarkan dompet.

"Gue tunggu di kasir."

Natra akhirnya membiarkan Drea berlalu, meski pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan tidak pernah dijawab Drea.

Drea memang selalu tahu bagaimana cara menjungkirbalikkan perasaannya.

***

Natra meletakkan nampan makanan di depan Drea yang sudah duduk lebih dahulu. Pilihan menu makan siang mereka adalah hasil pilihannya. Saat berjalan mencari tempat makan, Natra mencetuskan jika fast food lah yang ia inginkan saat itu. Tanpa bicara apa-apa, Drea pun mengiyakan.

"Kenapa?" tanya Drea saat Natra memerhatikannya sedang mengaduk dressing salad yang dipesannya mendampingi burger dan kentang goreng.

"Lo beda hari ini," jawab Natra tanpa memalingkan pandangan dari Drea. Sementara Drea sama sekali tidak terlihat gugup di bawah tatapan matanya.

Ah, ya. Drea tidak mungkin gugup padanya. Satu hal itu yang menunjukkan Drea selalu kebal dengan tatapan mata Natra yang menurut beberapa perempuan yang pernah dekat dengannya menjadi salah satu daya tarik yang dimiliki Natra.

"Gue nggak lagi berubah jadi Wonder Woman," balas Drea sambil mulai mengambil sepotong kentang goreng.

Natra ikut mengambil kentang goreng yang juga dipesannya. Ia hanya tersenyum mendengar balasan Drea. Drea tidak pernah terlihat ingin melucu, tapi ia menghargai selera bercanda Drea yang satu ini. Atau mungkin Drea memang tidak ingin sedang bercanda, ia tidak tahu persis.

Ia sudah memasrahkan diri untuk tidak terlalu mengejar-ngejar perhatian Drea. Mengejar cinta Drea, tepatnya. Namun yang ia lihat, ketika ia memutuskan untuk bersikap seolah menarik diri dari Drea, Drea malah terlihat mulai melonggarkan benteng pertahanannya. Ia mencoba menganalisis dari sudut pandangnya. Dan menurut Natra, sikap Drea yang membelikannya pakaian dan menerima dengan mudah ajakan makan di gerai fast food itu adalah pertanda jika Drea memang mencoba membuka diri padanya. Ia bukannya sedang bersikap GR, tapi entah mengapa firasatnya berkata demikian.

Tapi Natra berusaha menutupi kebahagiaannya sebisa mungkin.

"Ah, iya." Natra berujar singkat. Kali ini ia mengalihkan pandangan pada piringnya karena ia harus mulai berkonsentrasi untuk makan. Ia tidak akan bisa kenyang hanya dengan memandangi Drea.

Drea menggigit burger dalam satu gigitan besar. Natra tidak sengaja memerhatikan, dan ia merasakan jika cara Drea makan kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Drea jadi tidak terlihat menjaga image di depannya. Satu gigitan besar itu membuat mulutnya menjadi menggembung, membuatnya sedikit sulit mengunyah.

"Pelan-pelan makannya, Dre." Natra tidak bisa menahan mulutnya untuk berkomentar.

Drea menggunakan tangan kanannya untuk membantu mulutnya mengunyah potongan burger tersebut. Ia berkonsentrasi penuh, hingga sedikit demi sedikit, burger dalam mulutnya tertelan.

"Gue udah lama nggak makan burger," Drea lalu menggigit lagi burgernya, kali ini dalam gigitan lebih kecil. Mungkin kapok.

"Lo terlihat menikmati banget." Natra lalu berhenti untuk menyeruput cola. "Mau gue pesenin lagi buat dibawa pulang?"

Drea menggeleng. "Nggak usah."

Natra mengiyakan. "Oke. Tapi kayaknya gue mau takeaway ayamnya."

Drea tidak menjawab. Ia terlalu sibuk menandaskan burger diselingi menyeruput cola.

"Abis ini, lo mau ke mana lagi?" tanya Natra. Ia melihat jam tangan. Sudah hampir jam dua siang. Mereka masih punya waktu untuk jalan-jalan sebelum pulang. Drea ikut melihat jam tangannya.

"Gue mau shalat dulu abis ini. Abis itu gue pengen langsung ke toko buku." Drea menjawab dengan cepat, lalu kembali berbicara. "Lo juga kan?"

Natra tersenyum. Drea tidak pernah sekalipun melupakan ibadah. Hal itu bahkan tidak pernah terpikir olehnya saat ini. Namun Drea sering mengingatkannya setiap saat.

***

Natra berjalan di belakang Drea. Mengikuti langkah Drea menelusuri rak-rak buku bisnis yang beberapa di antaranya memiliki ketebalan luar biasa. Ia tidak bisa membayangkan membaca salah satu dari buku-buku tebal itu. Bisnis yang ia pelajari selama ini lebih banyak ia dapatkan dari orang-orang di sekitarnya. Ia punya beberapa buku soal marketing dan bisnis yang pernah ia beli, tapi hanya sesekali saja ia buka. Entah apa ia ingat pernah membacanya atau tidak.

Drea mengambil satu buku yang tidak terlalu tebal, sepertinya. Tidak berapa lama, langkah Drea kembali berpindah ke bagian komik.

Oh, well. Ini bukan Drea banget. Mungkin tidak juga. Oke. Drea memang pernah menyukai komik dan serial cantik. Tapi itu duluuu sekali, waktu jaman-jaman SMP.

Natra tidak berkomentar apa-apa saat Drea mengambil tiga komik langsung tamat bergambar manga super cantik. Ia memang tidak berharap Drea mengambil komik One Piece, Conan, dan sejenisnya. Tapi tetap saja, Drea yang ia lihat hari ini memang bukan Drea yang biasanya.

Terakhir, Drea mengambil sebuah buku bertanam bunga. Natra lebih banyak diam, separuh karena takjub, separuh lagi karena ia berharap matanya salah lihat. Ia lebih menerima jika Drea memilih membawa ke kasir, buku-buku motivasi atau kalkulus ketimbang komik dan buku bertanam tanaman hias.

"Sudah?" tanya Natra saat Drea selesai berurusan dengan kasir. Natra tadinya menyodorkan uangnya, tapi Drea enggan menerimanya dan menjejalkan kembali lembaran uang itu ke dalam dompet Natra dan mengatakan "lo udah traktir gue burger" dengan sangat manis. Natra berharap saat itu ia sudah melompat dan mencium Drea sampai Drea kehabisan napas.

"Hmm," gumam Drea.

"Biar gue bawain," tawar Natra saat mereka berjalan keluar dari toko buku.

"Nggak usah," balas Drea.

Natra tetap bersikeras mengambil kantong berisi buku tersebut dari tangan Drea. Saat tangan Natra menyentuh punggung tangannya, Drea akhirnya mengalah.

Natra memandang Drea dengan dominasi perasaan ingin segera membawanya pulang dan menciumnya.

Ia tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Ia tahu ia terlalu kacau untuk memikirkan peluang tersebut. Natra tahu bahwa ia harus menguasai diri. Drea pasti enggan menerima perlakuan mesra darinya.

Mereka masih berdiri berhadap-hadapan. Drea balas menatapnya, lalu menggumamkan sesuatu yang tidak bisa ia dengar.

Saat Drea hendak berjalan, Natra menemukan saat yang tepat untuk menggenggam tangan Drea dan menggamitnya erat.

Drea tidak bereaksi namun juga tetap membiarkan Natra menjalinkan jemarinya sambil mereka berjalan bersisian menuju eskalator.

"Dre...,"

Drea berbalik. Dan sebelum sempat Drea mengelak, Natra menunduk untuk mengecup sudut bibir Drea secepat kilat.

Drea berkedip sebanyak dua kali, dan Natra menunggu saat Drea akan menamparnya.

Iya. Menamparnya di depan umum.

Tapi, Drea hanya diam saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro