Dua Puluh Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo mau kita cerai, Nat?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Drea.

"Gue ngerti maksud lo." Drea senang mendengarnya. Hal itu berarti, ia tidak perlu mencemaskan soal perasaan Natra lagi. Hubungan mereka bisa menjadi lebih baik lagi dan hidupnya akan lebih ringan, tanpa beban untuk membalas perasaan Natra.

Natra kemudian meninggalkan pantri. Drea memilih duduk sejenak menikmati jus blueberry dingin yang ia ambil dari lemari es.

Natra tidak akan mengejarnya lagi. Itu bagus. Selama ini, ia memang tidak pernah minta dikejar. Ia tidak pernah minta dicintai. Ia juga tidak pernah meminta Natra untuk menjaganya. Hal yang terakhir ini adalah murni keinginan Natra. Natra mungkin berpikir, jika ia butuh sosok pelindung.

Sekali lagi, ia akan mengatakan tidak untuk hal-hal tersebut.

Ia hanya butuh suami sebagai status. Jadi, dari awal rasanya sudah sangat jelas.

Ia adalah seorang perempuan yang terlihat merana kesepian setelah ditinggal mati sang calon suami. Lalu semua orang berpikir jika ia butuh menata lagi kehidupannya dengan laki-laki lain, sebelum jodohnya benar-benar tidak akan datang sampai ia tua. Sampai ia hanya akan menghabiskan waktunya seorang diri, kesepian, hingga ajal datang menjemput.

"Bukannya gue memang nggak pernah butuh sosok pengganti Mahesa?" Drea menggumam pada dirinya sendiri. Ia segera menandaskan isi gelas, membawa gelas kosongnya ke bak cuci piring dan bersiap meninggalkan pantri.

Tiba-tiba ia sangat merindukan Mahesa.

***

Natra sudah membuat keputusan. Jika ia meralatnya lagi, itu sama saja menelan ludahnya sendiri.

Ia memang terlalu berharap bisa mengubah hidup Drea dalam sekejap. Nyatanya, Drea lebih betah dengan masa lalunya. Drea masih mencintai Mahesa.

Mencintai orang yang sudah meninggal.

Lucu. Ia bersaing dengan orang yang sudah meninggal.

***

Drea mengunjungi makam Mahesa sore itu sepulangnya dari kantor. Ia sudah mengirimkan pesan kepada Natra untuk tidak menjemputnya. Natra mengiyakan dengan cepat. Sesuatu yang ia rasa berbeda dari Natra sebelumnya. Natra tidak bertanya ia akan ke mana atau apa yang akan ia kerjakan sore itu. Hal yang semakin menegaskan jika Natra memang sudah separuh pamit dari kehidupannya.

Pandangan Drea tidak berkedip pada makam di hadapannya. Ia hanya membawa beberapa tangkai mawar merah yang diikat pita satin putih. Akhir-akhir ini, jumlah bunga yang ia bawa semakin menyusut jumlahnya. Tahun-tahun sebelumnya, ia membawa begitu banyak buket bunga yang nyaris menutupi seluruh permukaan makam.

Drea mengelus batu nisan berwarna cokelat susu yang bersih dari debu. Nama Mahesa Wibawa lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal kematian. Entah telah berapa hari ia lewati dengan meratapi kepergian Mahesa. Seharusnya ia merelakan, tapi selalu saja ada perasaan sakit saat ia mencoba melakukannya.

"Aku baik-baik aja, kalau itu yang mau kamu tanyain," ucap Drea. Ia menelan ludah lalu menengadah ke atas. "Aku nggak lagi nangis. Aku baik-baik aja kok, Sayang."

Drea mengusap ukiran nama Mahesa.

"Kamu masih sakit jantungnya? Orang-orang bilang kamu nggak akan sakit lagi. Nggak perlu bolak-balik rumahsakit lagi. Karena jantung buat kamu udah ketemu, Sayang."

Drea menghela napas pendek-pendek.

"Operasinya dua hari lagi. Tapi, kenapa kamu nggak mau nunggu sedikit lebih lama? Kenapa kamu lebih milih pergi dan menyerah? Kamu pergi saat aku masih butuh kamu. Saat aku masih sangat mencintai kamu."

Sampai detik ini, Drea masih bertahan untuk tidak lagi menangis. Semalam, seluruh persediaan airmatanya, ia tumpahkan sebelum terlelap tidur, jadi seharusnya saat ini ia tidak lagi punya airmata untuk dikeluarkan. Tapi tidak, karena nyatanya ia masih saja bisa menangis.

Drea meletakkan telapak tangannya di atas karangan bunga, telapak tangan di mana sebuah cincin melingkari jari manisnya. Cincin itu adalah cincin yang ia dan Mahesa pilih sebagai cincin pernikahan mereka. Sementara cincin satunya lagi yang seharusnya dipakai Mahesa, kini dipakai Natra. Drea menghela napasnya yang masih terasa tercekat.

"Mungkin memang aku ditakdirkan untuk selalu sendiri. Setelah kamu pergi, aku berusaha membangun hubungan baru dengan Natra. Ya, mungkin aku terlalu memaksakan diri. Aku terlalu maksain diri untuk nunjukin sama orang-orang kalo aku masih bisa bahagia tanpa kamu." Drea lalu menggeleng lemah. "Tapi ternyata nggak bisa. Aku nggak pernah bisa bahagia tanpa kamu."

Drea pelan-pelan melepas cincin tersebut dan memasukkan ke dalam saku blazernya.

"Lebih baik begini kan?"

***

Natra mengembuskan napas lega melihat Drea berdiri di ambang pintu. Ia mendengar bunyi bel pintu dan saat membuka pintu, Drea tersenyum tipis dan melangkah masuk saat Natra masih belum sepenuhnya menyingkir dari pintu. Natra menutup dan mengunci pintu di belakangnya. Ia mengamati gerakan Drea yang berjalan menuju meja makan. Tas kerjanya diletakkan di atas meja sebelum ia mengambil gelas dan berjalan menuju dispenser. Tidak berapa lama, air dingin mengisi gelas yang kini Drea letakkan di atas meja.

Natra seharusnya bertanya dari mana saja Drea hingga ia baru pulang saat jam dinding nyaris menunjukkan pukul 9 malam. Ia pun seharusnya bertanya apakah Drea sudah makan malam atau belum.

"Lo lembur?" tanya Natra, akhirnya.

"Nggak." Drea menjawab sambil duduk meminum air putih.

"Oo." Natra tidak tahu harus mengatakan apa. Ia menahan diri untuk tidak bertanya lagi, tapi gagal. Hingga detik ini, setiapkali melihat Drea, Natra hanya merasa jika ia tidak pernah bisa mendiamkan Drea lama-lama. "Lo dari mana tadi?"

"Jalan-jalan."

"Udah makan?"

Drea menoleh Natra dan beranjak dari kursi setelah air dalam gelasnya tandas. Drea mengisi lagi gelasnya sampai setengah, lalu kembali duduk di kursi.

"Lo nggak perlu peduliin gue lagi." Drea menghela napas. "Lo nggak perlu nanya-nanya, lo nggak perlu harus tau soal kehidupan gue lagi."

Natra menggeleng. "Gue nggak pernah bilang gue nggak bakal peduliin lo lagi, Dre. Gue cuma ngasih lo ruang lebih. Ruang di mana lo bisa lebih bebas dan nggak mikirin soal perasaan gue ke lo."

Drea mendengarkan ucapan Natra sambil meneguk air. Setelah kembali menandaskan isi gelas, Drea kembali berbicara. "Gue nggak pernah mikirin perasaan lo ke gue."

"Ya. Oke kalo gitu. Gue ngerti," Natra menyahut dengan cepat. Ia merasa akan lebih baik membiarkan Drea sendiri saat ini. Ia tidak yakin Drea akan mengucapkan sesuatu tanpa membuatnya menjadi merasa semakin bersalah.

"Tinggalin gue, Nat."

"Dre, lo ngomong apa?"

"Lo nggak perlu ngebebanin hidup lo dengan menjaga gue. Lo bebas sekarang."

"Gue suami lo, Dre. Gue bakal selalu menjaga dan melindungi lo. Lo nggak bisa nyuruh gue pergi saat gue..."

"Cukup, Nat. Cukup!"

"Gue udah janji sama diri gue sendiri. Gue nggak akan pernah pergi dari kehidupan lo."

"Bodoh." Drea beranjak dari kursi.

"Gue memang bodoh."

Drea menghampiri Natra dan mengeluarkan cincin dari saku blazernya. Cincin itu ditunjukkan kepada Natra.

"Gue udah nggak pake ini lagi. Gue nggak perlu."

Natra memandangi cincin itu sejenak. Diulurkannya tangannya untuk menutup telapak tangan Drea hingga cincin itu tetap dalam genggaman Drea.

"Kita pertahanin pernikahan ini, Dre. Gimanapun perasaan lo ke gue, gue terima. Lo nggak bisa cinta sama gue, gue nggak akan permasalahin soal itu."

"Lo udah berhenti perjuangin gue, jadi gue anggap..." Drea kehilangan kata-kata. Ia menarik napas dalam-dalam. "Lupain aja."

Natra mengamati wajah Drea yang begitu muram. "Mata lo bengkak. Lo habis ke makam abang Hesa?"

"Bukan urusan lo."

Natra tersenyum tipis. Drea masih kelihatan ketus namun ia bersyukur Drea masih mau berbicara dengannya.

"Minimal lo ngasih tau gue, biar gue bisa anterin lo ke sana dan cegah lo pulang sampai malam."

"Gue nggak akan kenapa-napa kalo pulang malam."

"Tapi lo nggak bisa larang gue buat kuatir sama lo." Natra masih memegang telapak tangan Drea yang segera ditepis Drea.

Drea lalu menjauhkan dirinya dari Natra dan tanpa banyak bicara lagi, ia bergegas meninggalkan ruang makan. Ia nyaris terlupa tas kerja yang ia letakkan di atas meja. Setelah kembali mengambilnya, Drea terburu-buru menaiki tangga menuju lantai atas.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro