24 (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Drea?"

Drea melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah setelah melemparkan senyuman tipis kepada kakaknya. Ia berjalan menuju sofa terdekat dan mengempaskan tubuh lelahnya di sana.

"Tumben pulangnya cepat." Diana ikut duduk di samping Drea, lalu menolehkan kepalanya melihat jam dinding. Belum jam 4 sore dan Drea sudah ada di rumah.

"Lagi pengen aja pulang cepat," jawab Drea tanpa berpikir lama.

Diana hanya mengangguk, tidak ingin membahas terlalu jauh. Lagipula, ia juga sebetulnya bersyukur jika Drea memilih pulang kantor lebih cepat daripada menimbun dirinya dengan pekerjaan di kantor seharian.

"Trus kamu kapan balik?" Diana merujuk kata "balik" kepada rumah yang ditempati Drea bersama Natra.

"Mbak nih ya. Aku baru datang udah disuruh pulang." Drea menunjukkan wajah kesal di balik raut wajahnya yang lelah.

"Bukan gitu." Diana menepuk pelan pundak Drea. "Mama abis masak sayur lodeh tadi. Trus sama patin bakar. Mau dibungkusin?"

"Nggak usah repot, Mbak." Drea menjawab sambil memijit tengkuk.

"Nggak repotlah, Dre. Ntar Mbak bungkusin."

Drea tidak menanggapi lagi. Ia mengempaskan tubuhnya lebih dalam ke sofa.

"Jadi menurut aku, hubungan kita jadi lebih baik sekarang. Iya kan?"

Drea membuang napas. Beberapa hari ini, tepatnya sejak ciuman dengan Natra di dalam mobil sepulang dari mall, ia mendapati perubahan dalam dirinya. Ia jadi lebih menjaga jarak dengan Natra, sementara Natra masih berusaha mendekatinya. Ia sempat marah dan nyaris menampar Natra saat itu, tapi Natra terlihat tidak peduli apakah ia akan marah atau sampai memukulnya. Setelah mendengar protesnya, Natra hanya tersenyum-senyum bahkan tertawa sepanjang perjalanan pulang.

"Cuma cium doang, Dre. Udah nikah ini."

Drea ingat bagaimana saat itu ia protes dan tanggapan Natra terlihat sangat relaks. Ia merasakan wajahnya memanas, tapi ia sendiri masih menahan diri untuk tidak mencekik Natra saat itu juga, karena Natra sedang menyetir dan akan berakhir bahaya jika ia tetap ingin melanjutkan keinginannya itu.

Ia tidak pernah suka siapapun melakukan sesuatu terhadap dirinya tanpa meminta persetujuan. Natra tahu persis soal itu, tapi Natra terkesan mengabaikan. Ia tahu Natra mencintainya, tapi bukan berarti Natra bebas melakukan apa yang ia inginkan sebab bagaimanapun, ia tetap punya hak untuk menolak. Apakah ia harus menekankan kepada Natra untuk tidak mengganggunya dengan tindakan seolah-olah Natra berhak menciumnya atau semacamnya karena tetap saja Drea tidak suka.

Ia tidak suka dipaksa.

Dan tentu saja Natra memaksanya.

"Dre. Kamu kenapa sih?"

Pertanyaan Diana disertai tepukan di pundaknya, mengalihkan pikiran Drea sejenak.

"Kenapa apa, Mbak?" Drea menoleh kepada Diana dan kakaknya itu menunjukkan wajah bingung.

"Mbak itung, ada sepuluh kali kamu ngebuang napas kayak gitu. Kapal pesiar aja bisa berlayar gara-gara embusan napas kamu itu." Diana akhirnya terdengar tertawa.

"Nggak kenapa-napa," Drea menjawab singkat.

"Kamu sama Natra baik-baik aja kan?"

Drea mengerutkan kening. "Kok Mbak nanyanya ke situ sih?"

"Ya nanya aja. Kalo nggak mau dijawab ya nggak pa-pa."

Drea menahan diri untuk tidak membuang napas untuk ke-11 kalinya.

"Biasa aja. Nggak ada yang berubah." Drea akhirnya menjawab tanpa kendala berarti.

"Mau gitu-gitu aja terus?"

"Mbak, please. Aku tuh udah capek pulang dari kantor, trus Mbak malah ngomong hal nggak penting kaya gini."

Diana mengusap-usap punggung Drea. "Kamu tuh, kebiasaan. Langsung pengen nge-gas, padahal Mbak juga pelan ngomongnya."

"Iya, tapi..." Drea melirik sang kakak dan kemudian tanpa bisa ditahan, ia membuang napas panjang dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Arggh. Kesal!"

"Ya udah. Cerita ke Mbak apa yang bikin kamu kesal."

Drea menurunkan telapak tangan dari wajahnya. "Menurut Mbak, etis nggak, cowok nyium cewek tanpa minta persetujuan? Itu pelecehan kan, Mbak? Iya kan?"

Diana membulatkan mulut. "Natra nyium kamu?"

"Engh?" Drea membuka mulut, dan menelan ludah. "Dia...maksa, Mbak."

Diana menyenggol lengan Drea. "Maksa atau maksa?"

"Apa sih, Mbak? Jangan aneh deh."

Diana tertawa sambil menutup mulutnya. Drea memandangi respon sang kakak dengan kesal.

"Jadi kamu ke sini, mau curhat soal Natra?"

"Mbaaak!! Ngomong apa sih?!"

"Hmm. Kamu belum cerita ke Mbak, he's a good or bad kisser?" Diana menurunkan volume suaranya dan kemudian tertawa. Ia lalu meralatnya lagi. "Oh, Mbak lupa. Harusnya kan kalo udah berpengalaman gitu, he must be a good kisser."

He's an expert. Pro level, Mbak.

"Mbak, please. Aku datang mau ngomong, bukan buat di-bully kayak gini."

Diana berusaha mengatur napas dan menyingkirkan tawanya yang sedari tadi membuat Drea malah terlihat bad mood.

"Oo...oke. Sorry. Mbak cuma lagi mengekspresikan perasaan Mbak sendiri."

Drea mengibaskan tangan. Ia sendiri tidak begitu paham kalimat Diana barusan.

"Trus sekarang, kamu bingung sama perasaan kamu?" tebak Diana.

"Nggak gitu juga, Mbak."

"Trus?"

Drea menggeleng-geleng. Ia kembali menutup muka dengan kedua tangan.

"Dre. Jalanin aja dulu. Pelan-pelan aja sampai kamu ngerasa benar-benar nyaman sama perasaan kamu."

"Aku nggak tau perasaan aku kayak gimana, Mbak."

"Itu namanya kamu lagi bingung." Diana mempertegas. "Kamu sama Natra masih ngomong kan satu sama lain?"

"Masih, Mbak. Cuma, aku memang lagi jaga jarak. Natra juga kayaknya ngerti aku lagi nggak pengen dekat-dekat dulu sama dia, jadi dia juga nggak berani ngajak ngobrol."

"Kamu udah dewasa, Dre. Masa gara-gara dia nyium, kamu marah sama dia? Eh serius dia maksa? Gimana ceritanya?"

Drea lalu menceritakan bagaimana ia dan Natra menghabiskan waktu di mall, kemudian pernyataan cinta Natra kepadanya dan sampai berujung pada ciuman yang membuatnya merasa harus menemui Diana dan menceritakan hal tersebut.

Diana mengangguk-angguk mengerti. Ia diam sejenak dan akhirnya berbicara.

"Kalau dipikir-pikir sih, Natra nggak pure maksa. Maksud Mbak. Kalo kamu nggak mau, kan bisa aja waktu itu kamu bilang nggak mau. Tapi kan kenyataannya kamu...mau."

"Ya gimana aku mau nolak, kalo dia-nya nyosor duluan?"

"Tapi kamu juga nggak bersikeras nolak kan?"

Drea terdiam dan saat itu ia merasa bahwa apa yang dikatakan Diana memang benar. Semakin ia berusaha mengingkari kenyataan, semakin ia merasa bahwa ia tidak akan bisa terus menghindar.

"Oke. Jadi kalo menurut Mbak. Kamu mending ngomong soal ini ke Natra deh."

"Nggak, Mbak. Nggak mungkin."

"Atau kamu mau Mbak yang ngomong ke Natra?"

"Mbak mau bikin aku malu di depan dia?"

Diana membulatkan mata. "Mbak nggak nyangka omongan kamu kayak ABG tau nggak? Ngomong aja kayaknya susah banget. Aduh, Dre. Please."

"Aku masih nggak yakin juga sih sama perasaan aku sendiri. Jadi, ya udah. Gini aja dulu." Drea merenung. "Aku pasti lagi kangen sama Hesa, makanya aku jadi aneh gini."

***

Natra menutup majalah otomotif di tangannya saat mendengar suara Drea saat memasuki rumah. Drea masuk sambil menenteng sepatu dan hand bag di tangan kiri, sementara tangan kanan menenteng bungkusan plastik putih. Ia dan Drea bertukar pandang sejenak sampai Drea memutus kontak mata dari jauh tersebut dan berjalan menuju rak sepatu di salah satu sudut ruang tengah.

"Ini ada sayur lodeh sama patin bakar kiriman dari mama." Drea menunjukkan bungkusan tersebut dan meletakkannya di atas meja makan.

"Ada kiriman makanan juga dari mama." Natra mengikuti Drea menuju ruang makan.

"Rendang udang sama botok." Drea membuka tudung saji dan menemukan dua masakan yang sudah diletakkan di atas piring. Drea melirik Natra.

"Tadi mama kamu ke sini?"

"Nggak. Aku yang ke rumah mama."

Oh.

"Kamu mau makan?" tanya Natra.

"Mm, iya."

"Mau mandi dulu?"

Drea mengangguk.

"Aku juga belum mandi sih."

Trus?

"Kali aja kamu mau...,"

Drea langsung balik badan dan tidak berkata apa-apa, tapi ia terlihat cukup terkejut dan kikuk.

Sementara Natra tersenyum-senyum di belakangnya.

"Nanti aku nyusul!"

______________________________________________

Pendek ya :( kan pemanasan dulu :DDDD

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro