25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Drea menyelesaikan aktivitas mandinya secepat mungkin, menyambar sehelai kaus putih kebesaran dan celana piama bermotif beruang dari lemari. Ia menggelung rambut seadanya sambil menuruni tangga.

Natra pasti bercanda dengan mengatakan akan menyusulnya ke kamar. Drea tidak sempat mengatakan apa-apa lagi karena ia sudah terlalu gerah untuk segera mandi. Lagipula, seharusnya ia tidak pernah memedulikan ketika Natra sudah mulai melontarkan jokes yang menurutnya tidak penting.

Meja makan malam sudah siap, terlihat dari piring, gelas dan makanan yang sudah tertata rapi di atas piring. Drea enggan berbasa-basi lagi, jadi ia memilih segera menarik kursi dan memulai makan malam. Sementara Natra yang tadinya masih berdiri di salah satu sisi meja makan, juga mulai mengikutinya mengisi piring dengan nasi putih.

"Rendangnya, Dre?" Natra menawarkan rendang yang sejak tadi terlihat begitu menggugah selera. Ia bahkan menyendokkan udang berlumur bumbu tersebut ke atas piring Drea. Drea menatap piring dan wajah Natra bergantian, lalu ia mengalihkan tatapannya tersebut ke atas piring Natra yang baru terisi nasi putih.

"Gue kan bisa ambil sendiri," kata Drea sambil menyendok potongan ikan patin dan membawa ke piringnya.

Natra tersenyum dan kini mulai mengisi piringnya dengan sayur lodeh dan patin bakar. Sejak mereka menikah, Drea tidak pernah mengingat apakah ia pernah melayani Natra di meja makan ; mengambilkan nasi, lauk, atau kegiatan lain yang biasa ia saksikan dilakukan mama kepada papanya. Natra tidak pernah meminta, ia pun merasa hal itu tidak perlu selama mereka bisa melayani diri mereka masing-masing saat makan. Dan selama ini juga ia merasa tidak ada masalah.

Apakah ia memang terlihat seperti seorang isteri yang kurang perhatian pada suami?

Tunggu. Sebenarnya apa yang sedang ia pikirkan sekarang?

Maksudnya, sejak kapan ia jadi memikirkan soal perhatian isteri kepada suami?

Pasti ada yang salah dengan otaknya hari ini.

Drea menggeleng-geleng pelan lalu melirik Natra yang sedang sibuk menikmati makanannya. Natra yang duduk di depannya ternyata refleks mengangkat wajahnya sehingga tatapan mereka bertemu. Drea kembali menunduk dan dengan asal menyendokkan potongan labu siam ke mulutnya.

Natra masih memerhatikannya saat Drea kembali mengangkat wajah. Dari cara Natra memusatkan fokus mata kepadanya, Drea bisa menebak, ada yang mau Natra katakan. Drea membuka mulut tapi urung bicara. Ia juga tidak tahu apa yang sekiranya bisa ia ucapkan saat ia tidak punya topik pembicaraan yang menarik.

"Aku mau ngomong, Dre."

Drea membalas. "Ngomong aja."

Natra mengangguk. "Beberapa hari ini, kita jadi nggak seperti biasanya."

"Mm."

"Mungkin kamu mau ngomong sesuatu? Atau mungkin...ya apa aja." Natra sendiri terlihat tidak yakin apa yang sedang ia bicarakan.

"Biasa aja. Nggak seperti biasanya gimana?" Drea bertanya.

"Kalau aku ada salah...,"

"Nggak ada yang salah," desah Drea. "Gue lagi sibuk aja beberapa hari ini."

Natra mengangguk. "Oke."

Drea mendesah kuat. "Lo pasti udah bosen sama gue."

"Bosan?"

Drea mengangkat bahu. "Suatu saat mungkin lo bakal bosan dan ninggalin gue. Yaah, itu aja sih yang ada di pikiran gue."

Natra tersenyum. "Yang ada, kamu yang bakal ninggalin aku, karena aku jadi makin menjengkelkan buat kamu."

Drea tersenyum tipis. "Nggak usah ber-aku kamu lagi, Nat. Lo-gue kedengaran lebih baik buat kita."

Natra masih tersenyum tapi kemudian mengabaikan. Ia mengambil sesendok rendang dan kembali menyendok nasi. Sebelum sendok berisi nasi dan sepotong udang berlumur bumbu itu masuk ke mulutnya, ia merasa perlu mengatakan apa yang harus ia katakan.

"Aku cinta sama kamu lebih kedengaran dewasa daripada gue cinta sama lo. Kedengaran lebih romantis juga kan? Aku mau jadi laki-laki yang dewasa dan romantis untuk meyakinkan kamu soal cinta."

"Lo bisa lebih cheesy lagi dari ini nggak?" Drea menggeleng-geleng.

"Kamu selalu nggak nganggap serius perasaan aku ke kamu."

"Bukan begitu," bantah Drea.

"Trus?"

Drea terdiam.

"Mungkin aku memang nggak cocok jadi orang yang serius. Kamu selalu ngeliat aku sebagai Natra yang suka bercanda, ngomong sering nggak dipikirin." Natra terdengar mendengus.

Drea lagi-lagi terdiam.

"Aku jadi kedengaran mau nuntut kamu membalas perasaan aku. Aku memang aneh. Tapi aku memang...cinta sama kamu."

Drea mengerjap, menghindari tatapan Natra yang tidak kalah serius daripada ucapannya.

"Gue...," Drea memutus ucapannya lalu menggeleng-geleng. "Nat, gue...,"

Natra menunggu sambil mengunyah makanannya pelan-pelan. Namun tatap matanya tidak pernah lepas dari Drea.

"Lupain aja. Maaf, nggak seharusnya aku ngomong begini ke kamu saat kita seharusnya makan malam dengan tenang. Maaf, Dre."

"Gue yang harusnya minta maaf."

"Aku."

"Gue."

Natra menyerah. "Ya udah. Kita sama-sama minta maaf."

Drea menarik napas dalam-dalam. Di setiap perdebatan, Natra akan selalu jadi pihak yang mengalah. Ia sering menyadari betapa egoisnya dirinya. Betapa Natra sudah membuang-buang waktunya bersama perempuan yang tidak tahu menghargai perasaan orang lain seperti dirinya.

Mengapa Natra tidak juga menyerah menyatakan perasaan kepadanya?

Apakah cinta Natra kepadanya sebesar itu?

Natra bisa saja memilih perempuan lain yang bisa balas mencintainya dengan tulus. Tapi tetap saja, Natra memilih bertahan menghadapi sikapnya yang seperti batu.

"Gue nggak tau soal perasaan gue sendiri. Kayak..., mungkin. Mungkin karena perasaan gue udah lama mati." Drea mengangkat bahu. "Yaa, bukan mungkin lagi, tapi perasaan gue memang udah lama mati."

"Setiap orang pantas untuk bahagia. Apa yang terjadi di masa lalu seseorang nggak ada yang bakal benar-benar terlupa selama hidupnya, Dre. Tapi, masa lalu bukan alasan bagi siapapun untuk nggak bahagia di masa depan." Natra mengucapkannya sungguh-sungguh. "Sampai kapanpun aku nggak mungkin bisa gantiin posisi abang di hati kamu. Tapi aku hanya selalu berusaha untuk ngebuat kamu bahagia."

Drea mendengarkan setiap ucapan Natra tanpa satu pun yang terlewatkan. Natra memang selalu ada untuknya, membuatnya bahagia. Hanya saja, ia mengakui hatinya terlalu sulit untuk terbuka menerima kehadiran Natra. Orang lain boleh saja menganggapnya bodoh, tapi urusan hati bukan hal mudah untuk dikompromikan.

"Gue butuh waktu." Drea akhirnya mengatakan hal tersebut.

Ya, ia memang butuh waktu.

"Dan aku bakal nunggu."

Drea menarik napas pendek.

Ia hanya berharap ucapannya barusan tidak membuat Natra terlalu berharap dan sekaligus tidak membebani dirinya sendiri. Apapun yang terjadi nanti, ia hanya ingin yang terbaik untuk mereka.

***

"Udah nggak ada yang ketinggalan?" tanya Natra saat mereka berada dalam mobil.

"Nggak."

Pagi itu, seperti biasa Natra mengantarnya ke kantor. Hari ini hari Jumat, yang berarti besok sudah memasuki weekend. Drea tidak memiliki rencana apa-apa untuk besok, kecuali mungkin ke salon atau kalau malas, ia bisa melakukan perawatan di rumah.

Dalam perjalanan menuju kantor, Natra mengatakan soal undangan pernikahan anak dari salah satu pengurus panti asuhan tempatnya dulu tinggal. Undangan tersebut belum sempat Drea baca karena sejak Senin ia tidak mengecek semua undangan yang datang. Kata Natra, undangannya berlangsung pada malam hari.

"Ada undangan lain di Sabtu malam?" tanya Drea.

"Ada." Natra lalu menyebutkan salah satu gedung tempat resepsi acara yang satunya lagi. "Kita bisa pergi bareng-bareng kan?"

"Bisa sih," jawab Drea singkat. Ia mendengarkan telepon yang masuk melalui headset dan berbicara sekitar semenit.

Natra tersenyum mendengar persetujuan Drea. Mereka akan menghabiskan waktu di Sabtu malam berdua, dan meskipun hanya sekadar menghadiri resepsi, baginya sudah cukup. Ia akan bebas memandangi Drea sepanjang malam dalam balutan kebaya. Wajahnya yang selalu cantik dan rambutnya yang disanggul, memamerkan leher jenjangnya.

____________

Gak jadi sedih2 deh...minta tanggapannya ya, tolong jangan hanya dilike aja :(  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro