27 (long version)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Maag gue lagi nggak nyante aja. Gue nggak apa-apa."

Natra menggeleng. "Nggak. Lo harus pulang bareng gue."

"Gue harus balik ke kantor." Drea masih ngotot.

Selesai makan siang bersama, Natra berjanji akan langsung mengantarnya ke kantor. Namun mendadak di jalan, Drea merasa pusing dan mual. Ia hanya mengatakan maag-nya sedang kambuh karena terlambat makan, namun Natra malah mengatakan akan segera mengantarnya pulang.

"Ntar kamu pingsan di kantor, gimana?"

Drea menyipitkan mata. "Nggak mungkinlah gara-gara maag gue pingsan."

Natra tersenyum tipis. "Ya mungkin nggak bakal pingsan juga. Tapi aku taunya maag kamu itu udah parah. Dan yang aku tau juga, bekerja bukan obatnya. Kamu harus istirahat."

Drea memegangi bagian ulu hatinya yang terasa panas. Rasa mual kembali datang dan ia sampai harus menutup mulutnya sebelum benar-benar mengeluarkan isi perutnya di dalam mobil.

"Mau muntah?" tanya Natra sambil memelankan mobil.

"Lo mau nurunin gue...,"

"Ada kantung plastik di dalam situ." Natra menunjuk di dashboard.

"Gue bisa tahan nggak muntah di sini asal lo balikin gue ke kantor."

"Dre, denger."

Drea menggeleng. Ia mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi.

"Muka kamu pucat." Natra lalu menyentuhkan punggung tangannya ke dahi Drea. "Panas."

"Gue udah biasa kaya gini. Gue nggak pengen manja aja cuma gara-gara penyakit ringan kaya gini."

Natra mendengarkan semua ucapan Drea sampai selesai. Tanpa membalas. Tapi tatapan matanya tetap lekat pada Drea selama bermenit-menit sampai Drea akhirnya mengangkat tangan.

"Ya udah, terserah lo deh." Drea akhirnya mengalah. Ia bersedekap dan membuang pandangan ke jendela di sampingnya. Natra menurunkan kaca jendela sehingga udara dari luar bisa masuk ke dalam mobil.

***

Natra memerhatikan Drea meminum Paracetamol disertai segelas air putih. Bubur yang tadi dibuatkannya hanya sedikit saja yang dimakan.

Sesampai di rumah sejam lalu, Drea bergegas ke kamar mandi dan memuntahkan makan siangnya. Natra kini benar-benar yakin bahwa tindakannya sudah sangat tepat. Ia mengandalkan feelingnya, dan ternyata Drea memang benar-benar sakit. Drea tetap menolak dipanggilkan dokter, namun Drea berjanji bahwa ia mau mengikuti apapun yang dikatakan Natra. Meskipun sejak tadi, raut wajahnya menunjukkan sedikit kekesalan.

"Lo ke mana kek. Biar gue istirahat."

"Aku mau nemenin kamu," tolak Natra saat Drea setengah mengusirnya keluar dari kamar.

"Nat, gue cuma sakit panas. Gue udah nurutin lo dari tadi kan?"

"Istirahat aja. Aku nggak bakal ngapa-ngapain."

Drea mendesis pelan. Ia merapatkan selimut dan melirik Natra yang duduk di sisi sebelah.

"Lo nonton TV atau ngapain aja." Drea masih mencoba mengusir Natra.

"Kamu nggak nyaman aku temenin atau kenapa? Perasaan setiap hari juga kita tidur bareng ya kan?"

Drea mencibir. "Apa harus ada alasannya? Trus lo ngapain di situ? Gue kan nggak bilang mau ditemenin?"

Natra memilih berbaring di sampingnya dan menyusupkan diri ke dalam selimut yang dipakai Drea.

"Biar panasnya cepat turun." Natra tersenyum lebih lebar.

"Iih."

Drea mendorong Natra menjauh dengan kekuatan yang ia punya, tapi Natra bergeming.

Ia tahu Natra mempunyai sifat usil tapi ia tidak membutuhkan hal itu untuk saat ini. Ia hanya butuh sendiri, dan seharusnya Natra memahami keinginannya tersebut.

Ponsel milik Natra berdering saat Drea masih berusaha menghalau Natra turun dari tempat tidur. Natra meraih ponsel yang tadinya ia simpan di atas tempat tidur.

"Mama. Lagi di rumah."

Natra mengangguk-angguk sambil sesekali mengiyakan dan menggumam. Tidak berapa lama ia menutup panggilan tersebut.

"Mama ngajak makan malam di rumah. Aku bilang nggak bisa."

Drea mengangguk pelan.

Mereka berdua memang jarang menghabiskan waktu bersama keluarga masing-masing. Ia sering pulang malam dan Natra juga tidak mau sering muncul di rumah keluarga mereka hanya seorang diri. Menghindari pertanyaan yang macam-macam, katanya.

Lagipula apa yang bisa dibahas selain bagaimana rumahtangga mereka dan sesekali menanyakan apakah mereka sudah berencana untuk memiliki anak.

Baik ia maupun Natra tidak pernah sekalipun membahas soal anak. Ya, bagaimana mau membahas soal itu jika mereka satu sama lain tidak pernah memikirkan rencana untuk memiliki anak.

Pernikahan mereka...dengan definisi yang baginya tidak pernah berubah hingga saat ini.

Adalah...

Status.

Sekadar status.

Meskipun ia mencoba untuk pelan-pelan menerima Natra, tetap saja ia tidak pernah memikirkan soal anak. Sekalipun.

Setidaknya hingga detik ini.

"Dre?"

Apakah normal jika sebuah pernikahan tidak mempunyai tujuan akhir.

"Dre?"

Natra memanggilnya sambil melambaikan tangan tepat di depan wajahnya, sepertinya ia ini seseorang yang baru saja pulih dari kesadaran.

"Udah lama aku nggak liat kamu ngelamun," kata Natra.

"Siapa yang lagi ngelamun?" Drea balik bertanya.

"Nggak mungkin aku kan? Aku udah manggil empat kali."

Berarti ia memang terlalu sibuk dengan lamunannya sendiri.

"Besok malam kita bisa makan malam di rumah mama lo," ucap Drea.

"Eh?" Natra bertingkah seolah sedang salah dengar. "Kamu yakin?"

"Apa maksud lo dengan 'kamu yakin' itu?" Drea bertanya tanpa jeda. "Apa gue seburuk itu sampai gue nggak ada waktu buat makan malam dengan orangtua lo?"

"Bukan. Kamu yakin besok malam udah sembuh? Mama bakal kecewa kalo kita makannya nggak lahap. Udah jarang makan bareng mereka, giliran datang cuma makan dikit."

"Jadi lo mau gue sakitnya lama-lama?" Drea tidak bisa menahan diri mengeraskan suaranya.

Apakah sekarang Natra sedang meragukan kondisi fisiknya?

Natra menjangkau dagu Drea dengan tangan kanannya, membuat Drea tersentak. Natra tidak pernah menyentuhnya seperti ini.

Oh. Atau mungkin ia sedang sensitif sehingga hanya dengan sentuhan seperti ini ia jadi terkejut?

"Get well soon kalo gitu." Natra masih menahan posisi jari-jarinya di dagu Drea. Drea bermaksud menurunkan jemari Natra dari dagunya, namun Natra malah menahannya di pergelangan tangan, menurunkannya dan mengisi celah antara jemari Drea dengan jemarinya yang tadinya berada di dagu Drea.

Drea bisa merasakan bantal yang tadi menopang punggungnya dirapikan oleh Natra. Berikutnya, Natra memilih meninggalkan tempat tidur, membiarkannya beristirahat.

Kali ini Drea yang diliputi kebingungan.

***

"Kalian nginap di sini aja."

Drea berpaling melihat Natra setelah mendengar permintaan mamanya. Mereka tidak berencana menginap karena selama ini ia dan Natra memang terbiasa langsung pulang setiap mereka berkunjung ke sana.

Dan karena selama ini pun kedua orangtua Natra tidak pernah menyuruh mereka menginap.

Tapi malam ini...

Tidak ada percakapan yang ajaib sepanjang makan malam itu. Sejak berangkat dari rumah, ia mereka-reka sendiri respon apa yang akan ia berikan andai orangtua Natra mulai menyinggung soal rumahtangga mereka, apalagi soal anak. Semua berjalan formal seperti sebelumnya.

Tapi tidak. Tidak ada yang membahas soal anak.

Mungkin mereka memang tidak ingin membebani dirinya dengan target yang sama seperti yang diterapkan mertua lain kepada menantunya yang tidak kunjung mengandung.

Ya, mereka menghargainya. Jika sebelumnya, mama Natra pernah membahas soal anak, namun ia cukup yakin beliau melakukannya semata-mata karena spontanitas, bukan karena harus membahasnya.

"Drea nggak bawa baju ganti, Ma." Natra yang menjawabkan untuknya.

Drea mengangguk dan tersenyum tipis.

"Soal itu gampang. Mama udah siapin." Mama tersenyum.

Baik Natra maupun Drea tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu.

"Mama mikirnya gini. Kalian sering ke sini tapi Drea nggak pernah nyimpan bajunya di sini. Jadi Mama inisiatif buat beli. Biar kalau kalian dadakan nginap, Drea nggak usah pusing mikirin baju. Kalo Natra kan bajunya di sini masih banyak."

"Mama beliin buat Drea?" tanya Natra dengan tatapan takjub kepada mamanya.

"Makasih, Ma." Hanya itu yang bisa Drea katakan.

"Jadi nggak ada alasan lagi buat nggak nginap. Iya kan?"

***

"Masuk, Dre." Natra meminggir sejenak dari pintu dan membiarkan Drea masuk ke dalam kamarnya. Drea melangkah ragu sampai akhirnya ia terus berjalan sampai ke tengah kamar. Natra menutup pintu di belakangnya dan memilih mendekat ke arah jendela untuk menutup tirai.

Drea bukan pertamakalinya masuk ke sana. Namun meskipun begitu, tetap saja rasanya tidak biasa mengingat kali ini mereka datang untuk menginap. Pertamakali menginap di sana sehari setelah menikah, Natra sampai harus tidur di lantai beralaskan bed cover karena ia dan Drea sepakat untuk tidak tidur di tempat tidur yang sama.

"Tadi kata mama baju kamu ada di dalam lemari." Natra membuka pintu walk in closet dan membiarkan Drea mengambil sendiri bajunya.

"Hmm." Drea membuka-buka lemari dan tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan pakaian yang dimaksud. "Piama. Dressnya ada juga."

"Mama sayang banget sama menantunya."

"Kenapa? Iri ya? Lo iri karena mungkin saja mama lebih sayang gue daripada lo."

"Ngapain iri?" Natra membuka lemari pakaiannya dan menarik kaus oblong putih dan celana piama panjang. Natra tidak suka memakai baju piamanya. Membuatnya kelihatan seperti om-om katanya. "Justru bagus kan?"

"Bagus apanya?"

"Yaaa...bagus aja." Natra tersenyum. Ia menghela napas dan menahannya saat melihat Drea memunggunginya dan mulai menggelung rambut panjangnya membentuk cepolan kecil.

Salah Drea karena malam itu ia mengenakan blus yang setahunya diberi nama blus dengan kerah Sabrina. Ia tidak pernah benar-benar memerhatikan pakaian Drea itu hingga sampai saat ini.

Ia tidak pernah benar-benar sedahaga itu hanya karena melihat tengkuk dan punggung seorang perempuan.

Tidak, hingga sampai saat mereka hanya berdua saja di dalam walk in closet –sialan- ini.

"Dre?"

"Hmm." Drea berbalik.

"Kamu cantik."

Tidak ada jawaban dari Drea. Pujian seperti ini sudah biasa dikatakannya kepada Drea jadi wajar saja Drea memilih tidak menanggapinya. Drea kembali menghadap lemari untuk menutupnya, sebelum ia beranjak keluar dari ruangan penyimpanan pakaian tersebut.

Natra membuang napas.

Harus berapa lama lagi ia sanggup menahan hasratnya untuk melakukan hal apapun yang ingin dilakukannya kepada Drea.

Whoa, ia terdengar sangat kinky.

Juga frustrasi di saat yang bersamaan.

Tiga bulan sudah terlalu lama.

Bagaimana jika ia harus menunggu selama 6 bulan?

Atau setahun.

Atau seumur hidupnya.

Argh. Gila.

***

Drea mengernyitkan kening.

Ini adalah untuk kesekian kalinya ia menemukan Natra memerhatikannya dengan intens. Memberinya tatapan seolah hendak menerkamnya.

Oke, mungkin kedengaran berlebihan. Tapi ia tidak bisa menemukan pengandaian lain.

Selesai bersih-bersih, ia dan Natra mulai mengatur tempat tidur. Mereka akan tidur di tempat tidur yang sama. Itu saja. Tidak lebih.

Lalu mengapa ia menegaskan kata "tidak lebih" beratus-ratus kali di dalam benaknya? Apakah tepatnya yang ia pikirkan sekarang?

Drea mengangkat kepala dan kembali mendapati Natra menatapnya tanpa berkedip.

"Lo kenapa sih dari tadi?" Drea memberanikan diri bertanya.

Natra diam beberapa detik. "Kamu udah mau tidur?"

"Kenapa?"

"Nggak." Helaan napas Natra terdengar jelas. "Cuma...,"

Drea mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Ia beranjak dari tempat tidur menuju ke arah pintu yang menghubungkan kamar dengan balkon. Natra mengikutinya, bahkan berinisiatif membukakan pintu. Angin dingin menerpa, memberikan sensasi menyejukkan di kulit.

Tepat di samping balkon tempat mereka berdiri, balkon kamar yang dulu ditempati Mahesa. Seketika Natra mengurungkan niat untuk sekadar mengobrol singkat dengan Drea di sana.

"Nggak pa-pa, Nat. Di sini aja."

"Yakin?"

Drea menarik napas panjang dan membuangnya kuat-kuat. "Gue tau kalo selama ini gue...cengeng. Egois. Kaya bukan gue. Bener kan?"

"Wajar kalo soal itu. Kehilangan nggak pernah terasa mudah."

Drea mengangguk. "Dibanding gue, hidup lo jauh lebih sulit."

Natra mengangkat alis.

"Soal orangtua lo."

Natra paham jika yang Drea maksud adalah orangtua kandungnya.

"Udah nggak perlu dipikirin soal itu." Natra tersenyum. "Yang penting sekarang aku hidup bahagia. Kalo saja aku nggak ketemu malaikat-malaikat seperti papa dan mama, aku nggak mungkin dipertemukan sama abang dan...kamu."

Drea balas tersenyum tipis. "Hmm. Gue yang beruntung ketemu sama...lo."

Natra menyeka setetes airmata yang jatuh di pipi Drea. Ia merasakan airmata yang jatuh itu masih tentang Hesa. Drea tidak perlu menyangkal karena ia bisa memahami. Meski rasanya menyakitkan.

"Jangan nangis lagi ya?" Natra kembali mengusap airmata yang kini semakin jatuh bergulir di pipi Drea.

"Gue nggak bisa...," Drea tertunduk dan detik itu juga Natra menyentuh dagu Drea dan memastikan wajah Drea tetap tegak.

"Kamu pasti bisa. Pasti." Natra menghapus airmata Drea, lalu memintanya tersenyum. Drea pun mengangguk dan tersenyum.

Natra membawa Drea ke dalam pelukannya. Sesaat mereka sama-sama terdiam sampai ia merasakan Drea menarik tubuhnya mundur.

"Gue mau tidur. Udah ngantuk."

"Dre." Natra meraih pinggang Drea dan memeluknya dari belakang dengan satu tangan, lalu perlahan membalikkan tubuh Drea kembali menghadapnya.

Natra menunduk, menyejajarkan posisi wajah mereka. Drea tidak bergerak sama sekali, jadi ia menganggap Drea menyetujui apapun yang ingin ia lakukan saat itu.

Ia ingin menciumnya.

Mungkin sebuah ciuman manis sebelum tidur.

Namun ia mungkin hanya sedang berkhayal.

"Sorry," gumam Drea.

Natra membuang napas. "No need to say sorry, Dre."

Drea menatapnya sejenak. "Gue bakal tetap bilang maaf ke lo, Nat. Maaf karena..." Drea berhenti. "Maaf buat semuanya."

***

Maaf? Maaf buat semuanya?

Sepagi itu, Natra mengulang-ulang ucapan Drea semalam.

Untuk apa meminta maaf? Drea hanya cukup mengatakan tidak. That's it.

Drea tidak perlu meminta maaf karena memang tidak ada yang perlu dimaafkan.

"Dre." Natra menghampiri Drea yang tengah memasukkan sandwich ke dalam wadah Tupperware sambil menunjukkan dua buah kemeja yang sudah rapi diseterika. "Navy atau putih?"

"Mau dipake ke mana?"

"Ya mau dipakai ke bengkel lah."

"Biasanya juga pakai kaos." Tapi Drea lalu menyambung. "Navy aja, biar nggak cepat kotor."

"Tapi bakal kelihatan lebih ganteng kan?"

Ganteng juga kamu nggak bakal mau aku cium.

"Hmm."

"Dre, menurut kamu, aku paling ganteng pada saat apa?"

Drea menggeleng dan tertawa pelan.

"Lo ganteng kalo nggak banyak ngomong."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro