28

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

28

Jadi, maksudnya gue jelek kalo lagi banyak ngomong? Gitu?

Drea memang paling tahu bagaimana cara membuat mentalnya drop.

"Kalo aku banyak diam, rumah ini bakal kaya kuburan," balas Natra, terkesan membela diri.

"Lo nggak bisa bedain mana becandaan mana yang serius?"

Oh, yang tadi itu bercanda?

"Mana bisa bedain kamu yang serius atau bercanda? Nggak ada bedanya."

Iya. Memang nggak ada bedanya. Drea bukan sosok ekspresif. Perubahan moodnya juga tidak pernah bisa ditebak Natra dengan pasti. Jika ada ungkapan yang menyatakan bahwa perempuan itu adalah makhluk yang sulit ditebak, maka Drea bisa jadi versi double atau triple dari yang sulit ditebak itu. Kebayang kan bagaimana menghadapinya setiap hari?

Drea melemparkan tatapan tidak senang. "Ya nggak usah nanya gue kalo gitu."

Ugh.

Natra lantas balik badan untuk segera menuju ke kamar. Ia tidak mau mengambil resiko jika Drea bisa marah kalau ia terlambat mengantarnya ke kantor.

Saat kembali ke ruang makan, Drea sudah tidak berada di situ. Natra mencari sampai ke ruang tamu dan menemukan Drea sedang duduk memangku tasnya, menunggu dengan tidak sabaran.

"Berangkat?"

Drea mengangguk. "Buruan."

***

"Nat, lo masih sering ke apartemen lo?"

Drea tiba-tiba teringat apartemen Natra saat ia tengah membaca-baca berita di salah satu portal berita online yang memuat iklan apartemen dari salah satu pengembang ternama.

"Udah jarang. Terakhir dua minggu lalu," jawab Natra setelah ada jeda sekian detik.

"Kenapa?"

"Nggak." Drea memang tidak punya alasan tepat untuk membahasnya. "Padahal dekat dari kantor gue."

"Kemarin-kemarin kamu bilang mau tinggal di sana biar dekat kalo mau ke kantor." Natra mengingatkan.

Sebelum menikah Drea memang pernah bilang ingin tinggal di apartemen Natra, karena jaraknya cukup dekat ke kantor. Meskipun dari tempat tinggal mereka sekarang juga bedanya nggak begitu jauh.

"Jadi sayang aja kalo rumah jarang ditinggalin. Kalo tinggal di apartemen lo kan pasti gue bakal lebih sering di sana. Rumah bakal nggak keurus."

"Iya juga sih."

Suasana kembali hening.

"Kamu mau ke sana?" tanya Natra.

"Hah?"

"Tiba-tiba kamu nanyain soal apartemen. Kamu mau singgah di sana?"

"Mau ngapain?" Drea balik bertanya.

"Ya siapa tau aja kamu mau liat-liat, singgah, atau sekalian nginap?"

Drea tidak tahu apakah ia memang ingin ke sana.

"Ya udah, nggak usah kalo gitu."

"Nat."

Natra menolehnya. "Ya?"

"Sesekali nggak ngalah ke gue, bisa kan?"

"Eh, Dre...," Natra mengulum bibirnya. "Biasa aja kalo soal itu. Nggak apa-apa. Kamu kenapa?"

"Lupain aja deh. Hari ini gue lagi aneh."

***

Drea kenapa ya?

Natra menebak-nebak sendiri. "Kamu lagi dapet?"

"Ih, ngapain nanya soal itu?"

"Kan biasanya cewek kalo lagi aneh gitu waktu lagi...ya gitu."

Natra mendesah kuat. Ia bisa dibilang suami payah. Masa jadwal menstruasi isteri sendiri ia tidak tahu?

Jangan salah. Bukan ia yang payah.

Hubungan mereka yang payah.

"Oh, ya. Kalo gitu, gimana kalo pulang dari kantor kita singgah dulu di apartemen?"

Drea berpikir-pikir sejenak. "Boleh."

***

Natra meletakkan dua piring kecil berisi tahu gejrot dengan dua level pedas berbeda di atas meja makan. Untuknya level super pedas dan untuk Drea pedas level dua cabe. Drea masih berada di dalam kamar mandi. Mau bersih-bersih katanya.

Natra lalu beralih ke bungkusan plastik minimarket yang tadi mereka lewati untuk berbelanja keperluan seperti air mineral dan beberapa macam snack. Ia separuh berharap mereka menginap di sini malam ini, untuk alasan yang ia sendiri tidak mengerti.

Bagaimanapun, ia juga merindukan apartemen ini.

"Nat, gue bisa pinjam t-shirt?" Suara Drea terdengar dari balik pintu kamar.

"Bisa. Mau diambilin?"

"Bilang aja ada di mana."

"Cari aja di susunan baju kaos. Banyak pilihan di situ."

***

Koleksi kaus putih Natra lumayan banyak. Drea memilih satu yang menurutnya tidak terlalu tebal dan tidak berukuran terlalu besar.

Drea melihat-lihat isi lemari Natra yang lumayan rapi. Pakaian jenis kemeja dan jas tergantung dan tersusun sesuai warna. Jins-jins tersusun dalam lipatan rapi di rak tepat di bawah susunan kaus tadi. Rak paling bawah terdapat susunan pakaian berwarna-warni.

Ia menarik salah satu baju berwarna kuning terang. Tube dress kuning dengan potongan yang sangat pendek. Halter neck hitam. Hot pants. Lingerie dengan warna-warna lembut dan bahan menerawang. Sampai pakaian dalam.

Semuanya masih kelihatan baru. Label merk dan harganya juga belum ada yang dilepas.

"Dre." Natra mengetuk-ngetuk pintu kamar.

"Yaaa."

"Lupa ngasih tau. Di rak bawah ada..." Natra berhenti berbicara ketika Drea membuka pintu dan mengacungkan sepotong lingerie berwarna putih tepat di depan wajahnya.

"Ini punya siapa?"

"Punya kamu," jawab Natra cepat. "Waktu beli seserahan aku beli banyak, karena pasti cocok buat kamu."

"Lo tau gue nggak mungkin pake pakaian seminim itu."

"Ya, siapa tau nanti berguna." Natra tersenyum-senyum. Ia bisa membayangkan bagaimana wajah Drea saat menemukan pakaian-pakaian minim tersebut. "Nggak mau dicoba sekarang, Dre?" goda Natra.

"Apa sih, Nat?"

Natra tertawa melihat wajah Drea yang mulai memerah. Drea memakai salah satu t-shirt putih kesukaannya yang bersablon Einstein. Hal ini seperti sebuah keajaiban.

Drea memakai pakaiannya! Ia tidak perlu hal lain lagi. Hal yang seperti ini sudah sangat luar biasa baginya.

"Ayo, tahu gejrotnya udah ada di meja."

***

Drea tidak berencana akan tinggal berjam-jam di apartemen hingga malam. Mereka bahkan memesan rice bowl dan pisang nugget sebagai menu makan malam.

Sepanjang makan, Natra nyaris tidak pernah berhenti tersenyum. Semuanya terlihat dan terasa sempurna malam itu. Tidak salah ia mengajak Drea menghabiskan waktu di apartemennya, karena Drea juga terlihat menikmati makan malamnya dan mengakui jika ia merasa cukup nyaman berada di sana.

Mereka sedang menikmati pisang nugget sebagai dessert ketika terdengar bunyi bel.

Ada tamu?

"Ntar ya?" Natra menyeka tangannya yang berlumur saus cokelat dengan tissue. Ia tidak punya bayangan siapa yang datang. Tapi keyakinan terbesarnya, orang yang memencet bel itu bukan tamunya, apalagi tamu Drea.

Palingan juga orang salah alamat.

Luisa?

Dari mana Luisa tahu ia sedang berada di sana?

Natra keluar dari apartemen dan menutup pintu, mencegah Luisa masuk.

"Lo tau dari mana gue ada di sini?"

"Stalking," jawab Luisa ringan. "Gue boleh masuk?"

"Nggak."

"Gue free malam ini. Butuh teman tidur juga."

***

"Gue free malam ini. Butuh teman tidur juga."

Drea nyaris membekap mulut, namun ia sudah terlanjur muncul dari balik pintu. Perempuan bertubuh langsing dengan dress hitam super pendek yang memamerkan paha mulusnya, berbicara kepada Natra dengan gestur tubuh condong ke arah Natra seperti hendak menciumnya.

"Kamu siapanya Natra?" tanya perempuan yang kini tengah meletakkan kedua telapak tangannya di permukaan kemeja Natra, melepaskan salah satu kancingnya.

"Dia isteri gue." Natra memegang kedua pergelangan tangan perempuan itu dan menurunkannya.

"Oh. Kenalin, gue Luisa."

Drea mengangguk pelan.

"Gue anter lo turun."

"Buru-buru amat, Nat. Mentang-mentang udah punya partner seks yang baru."

Natra langsung mencekal tangannya, dan tanpa diduga Luisa balik mendorong Natra dan berusaha menciumnya secara sporadis.

"Aku udah lama nggak ngerasain tubuh kamu, Natra. I want you so bad."

Drea memutar tubuhnya kembali masuk ke dalam apartemen. Ia tidak peduli apa yang akan terjadi di sana. Ia masih cukup syok melihat bagaimana agresifnya perempuan itu terhadap Natra. Perempuan itu seakan terbakar nafsu dan tidak memedulikan di mana mereka berada sekarang. Mau tidak mau, ia jadi membayangkan hal-hal yang seharusnya tidak ia bayangkan.

Pengakuan Luisa benar-benar menantang!

Ia memang sudah tahu persis bagaimana kehidupan Natra selama ini. Bebas, berganti-ganti pasangan. Tapi ia tidak pernah membayangkan mendengar pengakuan langsung dari perempuan yang katanya partner seks Natra whatever itu.

Oh, Tuhan.

Kepalanya mendadak pusing.

Ia tidak pernah peduli masa lalu Natra, karena ia memang tidak pernah mau peduli. Natra mau punya kehidupan sebebas apapun, ia sama sekali tidak peduli.

Tapi...

Drea mencoba mengenyahkan pikirannya yang mulai terisi kelebatan interaksi intim antara Natra dan perempuan itu.

Astaga. Yang terjadi sebelum itu di masa lalu pasti jauh lebih parah.

Natra bodoh!

"Ah, ngapain gue pikirin." Drea mengambil sepotong nugget green tea dari dalam kotak dan dikunyahnya sambil mencoba bernapas seperti biasa.

Natra pasti masih sibuk berurusan dengan perempuan itu. Apakah ia mencoba menghalaunya atau malah keasyikan bermesraan di luar sana.

Ia tidak peduli.

TIDAK. IA TIDAK PEDULI SAMA SEKALI!

Drea membuang muka saat melihat bayangan Natra yang baru saja masuk ke dalam apartemen. Untuk saat ini, ia tidak bisa menatap Natra barang sedetikpun. Ia butuh waktu paling tidak sekitar sejam lagi untuk memastikan perasaannya kembali stabil.

Natra duduk di sampingnya, dan refleks Drea menggeser duduknya agak menjauh.

Drea melirik Natra yang ternyata sedang memandanginya.

"Nugget pisang yang cokelat masih ada tuh." Drea menunjuk potongan nugget yang masih tersisa.

Natra menatapnya nanar. Drea tidak tahu apa arti tatapan itu. Tapi ia benar-benar tidak bisa balas menatap Natra lebih lama.

Bisakah untuk sejenak saja mereka tidak usah berkomunikasi dulu?

"How do you feel, Dre?"

Syok, Nat. Gue, syok.

"Maksud lo?" Drea berusaha menelan potongan nugget yang terasa membatu di dalam kerongkongannya.

"Kamu tau maksud aku."

Drea menggeleng pelan. "Gue nggak tau. Dan gue juga nggak mau tau."

"Kayaknya aku yang terlalu berharap kamu bakal cemburu."

"Gue nggak cemburu."

"I know. Kamu bukannya cemburu. Kamu pasti jijik sama aku."

Drea kembali menggeleng. "Gue udah tau kehidupan bebas lo yang dulu. Cuma...baru kali ini gue liat lo...," Drea memutus ucapannya.

"Aku ngerti maksud kamu," desah Natra. "Aku dulunya seperti itu. Bebas."

Drea tersenyum kecut. "Dan harusnya gue juga nggak perlu membebani lo dengan tanggungjawab seperti sekarang. Gara-gara gue, lo kehilangan kesempatan buat...nikmatin kehidupan lo...yang kaya gitu."

"Nggak kaya gitu, Dre."

"Lo manusia bebas, Nat. Lo bisa milih cewek mana yang lo suka, yang juga suka sama lo."

"Dre, please. Dengerin aku. Aku memang udah banyak berhubungan dengan perempuan sebelum kamu. Tapi perempuan yang bisa bikin aku bahagia cuma kamu."

Drea mendengarkan Natra. Terlalu jelas.

"Ng, ya udah. Gue juga udah tau kok." Drea menatap Natra ragu sebelum kembali berusaha menandaskan pisang nugget di tangannya dalam satu kali suapan. Pandangannya terhenti pada garis-garis merah di sekitar kulit dada Natra yang tidak tertutup kemeja. Seperti bekas cakaran. Belum lagi noda-noda lipstick di wajah dan leher.

Sumpah, perempuan itu benar-benar kalap.

"Bersihin dulu gih," Drea mengulurkan tempat tissue. "Dia sampe nyakar juga. Bener-bener deh."

"Mau ke mana?" tanya Natra saat Drea beranjak dari sofa.

"Kotak P3K mana?"

"Di...lupa di mana. Mungkin di pantri," jawab Natra.

Drea mencari-cari di sekitar kitchen set dan akhirnya menemukan kotak berlambang palang merah. Diambilnya kotak itu setelah memeriksa isinya.

"Gimana kalo setelah ini dia nyariin lo?" tanya Drea setelah membuka botol berisi alkohol dan menekankan cairan berbau khas tersebut pada segumpal kapas.

"Nggak akan. Aku udah ancam dia."

"Dia kan cuma mau...senang-senang sama lo. Coba tadi lo nggak ngelawan. Kan jadinya nggak gini."

"Jadi kamu lebih milih aku having sex sama dia biar nggak luka gini?" Suara Natra terdengar kesal.

"Bukan begitu, Nat." Wajah Drea memanas. Mendengar kata-kata vulgar itu dari mulut Natra sendiri membuat jantungnya berdebar lebih kencang.

"Kamu bilang cemburu sekali aja udah cukup buat aku, Dre." Natra terdengar lirih.

"Gimana gue mau cemburu kalo gue nggak...,"

"Nggak cinta?"

"Bukan."

"Jadi kamu cinta."

"Bukan." Drea menekankan kapas lebih kuat ke kulit Natra. "Lo pengen banget gue cemburu? Iya?"

"Sakit, Dre. Pelan-pelan dong. Perih."

"Makanya jangan ngomong yang aneh-aneh deh. Masih syukur gue tolongin ngasih alkohol gini."

Natra tersenyum. Drea sudah mau mengobatinya seperti ini berarti perkembangan yang baik, bukan? Hanya saja ia jadi harus menahan diri untuk tidak bicara atau berbuat yang aneh-aneh selama Drea mengobati luka bekas cakaran Luisa. Setidaknya ia bisa berlama-lama memandangi wajah Drea dari dekat nyaris tanpa batas seperti sekarang.

"Abis ini kita langsung pulang," kata Drea.

"Cepat banget. Nginap aja sekalian."

"Besok gue masih ngantor."

"Pagi deh kita pulang."

"Sekarang aja. Gue nggak mau buru-buru besok pagi." Drea mulai membereskan kemasan rice bowl dan kotak pisang nugget. Satu potong nugget yang tersisa ia selipkan ke mulut Natra. "Nih, abisin. Daripada mubazir."

"Tapi besok nginap di sini ya?" ucap Natra masih dengan mulut yang sedang mengunyah pisang nugget.

"Gimana kalo Luisa dateng lagi?"

"Nggak bakal. Percaya sama aku."

"Lihat besok deh."

Natra tidak bisa menahan senyumnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro