29

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sabtu depan usia pernikahan kita tepat empat bulan, Dre. Gimana kalau kita ngadain perayaan?"

"Ngapain harus dirayain?"

Drea mengetukkan pulpen ke dahinya. Saat ini ia tengah duduk di kursi kerjanya ketika bayangan percakapan dengan Natra di apartemennya beberapa malam lalu kembali terbayang di benaknya.

Ia tidak pernah suka dengan perayaan. Apalagi jika perayaan tersebut adalah perayaan usia pernikahan.

Nyaris empat bulan. Bukan angka yang spesial. Untuk sebuah ikatan, hitungan bulan adalah hal kecil. Bisa dibilang nyaris tidak dianggapnya sama sekali.

Namun demikian, ia tidak bisa begitu saja melupakan percakapan mereka waktu itu. Berbeda dengannya yang selalu skeptis, saat itu Natra justru sangat bersemangat. Matanya berbinar-binar. Jenis mata yang menunjukkan pemiliknya tidak pernah merasakan kesedihan. Seolah ada bintang-bintang yang berkerlip indah di sana.

Ia tidak pernah berniat memerhatikan sorot mata Natra yang senantiasa ceria itu. Semuanya berjalan seperti biasa, ia dan Natra berkomunikasi setiap hari, dengan Natra yang selalu berusaha membuatnya tertawa atau sekadar tersenyum mengamati tingkah lakunya yang terkadang aneh bin ajaib.

Drea lantas memutar kursi hingga kembali menghadap meja kerja. Ia masih harus memeriksa katalog produk bulan depan yang sudah ada di mejanya sejak dua hari lalu.

Sepertinya tidak ada masalah. Katalog bergambar Clara Tan mengenakan jumpsuit kuning dan tas biru elektrik sudah cukup memberi excitement lebih. Clara adalah salah satu model Indonesia yang pernah mengikuti ASNTM. Meski tidak keluar sebagai juara, namun Drea menyukai kepribadiannya yang rebel. Apa adanya meski menurut banyak orang, penuh drama dan menyebalkan. Ia tidak tahu kepribadian model tersebut, tapi segera menemukan bahwa mereka sedikit memiliki kesamaan kepribadian.

Cuek? Semaunya?

Apakah ia yang sesungguhnya memang cuek dan seakan tidak peduli pendapat orang lain?

Jika iya, lalu mengapa ia harus memikirkan penilaian orang lain, jika ia hanya seorang perempuan gagal menikah yang terus meratapi nasib dan pada akhirnya memilih menikah sekalipun tanpa perasaan cinta?

Mungkin banyak pasangan di luar sana yang telah hidup bersama selama puluhan tahun dan masih tidak mencintai satu sama lain lalu  memilih untuk tetap bersama dengan alasan yang beragam. Karena anak, karena takut sendiri, atau karena memang tidak punya pilihan lain.

***

Untuk kesekian kali, Drea mendengar Natra bersin dan sesekali batuk-batuk. Kata Natra kemarin ia kehujanan ketika tengah melihat-lihat kebun di belakang panti asuhan tempatnya dulu dibesarkan.

Natra memang sesekali masih ke sana jika ia sempat atau memang karena ia ingin bernostalgia. Katanya.

Tapi Natra sempat mengatakan jika ia ke sana karena katanya ada seseorang yang mengaku ayah kandungnya. Drea tidak terlalu memerhatikan hal tersebut. Yaah karena ia memang sekurang perhatian itu.

"Makan buburnya dulu baru minum obat." Drea meletakkan nampan berisi semangkuk bubur yang baru dibuatnya juga segelas air dan sebutir Paracetamol.

Natra memandangnya tanpa berkedip lalu kembali merapatkan selimut yang sejak tadi ia lilitkan ke tubuhnya. Natra memilih berbaring di sofa depan TV ketimbang di dalam kamar karena tidak ingin terlihat benar-benar sakit, meskipun sekujur tubuhnya menggigil dan kepalanya terus berdenyut-denyut.

"Lo beneran mandi hujan?" Drea terdengar tidak yakin dengan ucapannya. "Masa kecil lo emangnya kurang bahagia?"

Natra tersenyum tipis. Kepalanya yang sakit membuat semangatnya memudar. Ia benci sakit. Selain menyusahkan dirinya, juga menyusahkan orang lain.

"Bahagia banget sampai pengen aku ulang," jawabnya dengan suara pelan.

Drea terdengar membuang napas dan kini memilih duduk di sampingnya.

"Mau nyuapin ya?" tanya Natra saat Drea mengambil mangkuk dari nampan.

"Nungguin lo makan sendiri kelamaan." Drea menyendok bubur sedikit di ujung sendok dan mengarahkan ke depan mulut  Natra yang masih tertutup.

"Pahit, Dre."

"Makanya makan dikit trus minum obatnya."

Natra masih enggan membuka mulut. Ia benar-benar tidak berselera.

"Makan dong. Gue jarang-jarang lho sebaik ini. Harusnya lo manfaatin sebaik mungkin." Drea kembali mencoba menyuapi Natra.

Natra akhirnya membuka mulut, meskipun ia tidak bernafsu merasakan bubur tersebut hingga lekas menelannya.

"Iya, jarang-jarang kaya gini. Mumpung ada kesempatan. Nggak akan selamanya kaya gini."

Suara Natra sengau karena pilek. Tapi fokus Drea bukan ke situ, melainkan kata-kata Natra.

"Badan lo panas banget makanya mulai ngigau." Drea mengusap dahi Natra yang dipenuhi keringat dingin. "Kita ke dokter aja ya? Atau gue teleponin dokternya?"

"Males."

"Gue takut aja lo kenapa-napa." Drea beranjak dari sofa. Ia tidak mau mengambil risiko sekecil apapun. Lagipula Natra sudah berkali-kali merawatnya ketika sedang sakit. Hal yang ia lakukan saat ini adalah bentuk balas jasa.

"Sakit panas doang. Sini obatnya." Natra menelan sebutir Paracetamol berikut dua teguk kecil air putih.

Drea membuang napas panjang dan segera menghubungi dokter sambil berharap semoga dokter segera datang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro