Delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Natra memandang gedung tinggi yang berdiri kokoh di hadapannya. Ia baru saja selesai memarkirkan mobil dan kini ia berdiri di depan gedung bercat krem yang nyaris keseluruhan bagian depannya ditutupi kaca berwarna hitam. Tampilan gedung perkantoran yang tinggi dan kokoh membuatnya membayangkan aktivitas manusia di dalamnya. Sibuk pada bagian masing-masing. Terperangkap dalam gedung yang sama nyaris selama berjam-jam, dari pagi sampai sore, atau bahkan sampai malam, nyaris setiap hari. Sebuah pekerjaan yang tidak akan membuat betah. Untuk orang dengan gaya hidup bebas tanpa dituntut harus selalu bangun pagi, dengan jadwal kerja yang selalu sama, ia tidak akan mampu.

Setelah terhenti sejenak di meja resepsionis yang mengatakan jika Drea ada di kantor, Natra mengayun langkah menuju lift. Ruangan kerja Drea berada di lantai 17. Di tangannya menenteng bungkusan berisi ketoprak yang ia belikan khusus untuk Drea. Pagi itu Drea sudah berangkat kerja sebelum ia bangun. Dan sepertinya Drea juga belum sarapan.

Niat awalnya ia hanya ingin makan ketoprak. Tapi keisengannya muncul. Bagaimana jika ia mengunjungi Drea di tempat kerjanya sekaligus membawakan sarapan? Sudah lama juga ia tidak jalan-jalan ke sana. Sengaja ia tidak memberitahu Drea soal kunjungan mendadak kali ini. Beruntung Drea juga ada di kantor.

Sampai di lantai 17, suasana di sekitar sana cenderung sepi. Hanya dua orang yang berpapasan dengannya, seperti berasal dari ruangan Drea.

"Huh belagu banget ya? Disain gue yang classy gini dibilang kayak disain baju obralan. Sebel gue."

"Iyee, sok banget. Mana bikin disainnya berhari-hari, udah dibawa begadang juga. Punya gue dibilang terlalu rame, norak apalah. Malesin banget."

"Gue lama-lama males kalo harus konsul produk sama dia. Padahal kan soal ginian bukan urusan dia juga? Buat apa ada meeting divisi produk kalo ujung-ujungnya dibabat juga sama dia."

"Sok kecantikan lah."

"Bossy."

"Yah, semoga aja dia cepat lengser dari kursi presdir, digantiin sama pak Dion."

"Amiin."

Natra menebarkan senyum kepada dua perempuan sebaya dengan dandanan modis yang kini bergerak melaluinya. Mereka saling berpandangan sejenak sebelum membalas senyuman Natra. Salah satu dari mereka bahkan berbalik dan melambaikan tangan dengan gaya manja.

"Siapa sih?"

"Nggak tau."

"Ih jangan-jangan suaminya."

"Njir. Emangnya udah nikah?"

"Mana gue tau? Iya kali."

"Udah nikah. Cuma privat. Sejak ditinggal meninggal tunangannya...,"

Natra tidak tahu lagi kelanjutan obrolan dua perempuan tadi. Dari respon mereka, sepertinya mereka tidak mengetahui tentang pernikahannya dengan Drea. Baik ia dan Drea tidak pernah muncul bersama di kantor dan mengumumkan pernikahan mereka kepada karyawan perusahaan. Hanya beberapa orang di perusahaan itu yang tahu jika ia dan Drea telah menikah. Sebuah hal yang terdengar tidak masuk akal. Merahasiakan sebuah kabar bahagia seorang petinggi perusahaan yang memiliki banyak karyawan. Meski rahasia itu disebabkan baik Drea maupun keluarganya tidak ingin orang luar mengetahui kehidupan Drea kini setelah pernikahannya dengan Mahesa batal. Padahal rencana pernikahan itu telah diketahui semua orang lewat undangan pernikahan yang sudah terlanjur disebar. Saat pertunangan Drea dan Mahesa dihadiri banyak undangan dari perusahaan, mulai kalangan petinggi  hingga seluruh karyawan. Setelah Mahesa meninggal, kabar pernikahan yang batal pun ikut tersebar dengan sendirinya.

Kini, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa kini dialah yang menggantikan posisi Mahesa dalam kehidupan Drea. Sebagai seorang suami. Meski hanya sebagai status belaka.

Natra membuyarkan pikirannya yang tertaut pada masa lalu saat ia telah berdiri di depan ruang kerja Drea. Umi, sang sekretaris baru saja keluar dari ruangan tersebut saat ia akan masuk ke dalam. Dari cara Umi memandangnya, Natra masih belum bisa menduga apakah Umi tahu ia suami Drea atau tidak.

"Eh, pak Natra." Umi merapikan poni saat mata mereka saling bertatapan.

"Bu presdir ada?" tanya Natra sekadar basa-basi. Ia telah melongok ke dalam dan melihat Drea sedang duduk di balik meja kerja.

"Ada, Pak. Bapak masuk aja."

"Bu Presdir nggak lagi sibuk kan? Takutnya saya ganggu."

"Nggak. Masa suami sendiri ganggu sih, Pak?" Umi tersenyum.

Oh, ternyata Umi sudah tahu. Tapi tahu dari siapa.

Seolah bisa membaca pikirannya, Umi lantas menjelaskan dengan singkat.

"Saya dateng kok di acaranya bapak sama ibu. Jadi saya tahu bapak suaminya ibu."

"Kok saya nggak lihat kamu, Mi?"

"Lah? Kan saya jadi bridesmaid hehehe..." Umi terkekeh sendiri. "Saya  balik ke meja saya dulu, Pak. Semoga langgeng terus ya sama ibu."

Natra mengangguk pelan.

Ternyata Umi diundang juga.

Mengapa ia baru tahu hal seremeh ini?

***

Drea mengangkat kepala saat mendengar ketukan di pintu. Rasanya baru saja Umi meninggalkan ruangan itu.

Pasti ada yang terlupa lagi.

Drea baru saja membuang napas panjang dan bersiap mengomel saat sosok lain masuk ke dalam ruangannya.

"Pagi."

Natra? Ngapain dia di sini?

Natra tersenyum sambil mengacungkan kantung kresek putih yang entah berisi apa.

"Gue bawain sarapan buat lo," ucap Natra sambil membuka plastik putih tersebut berikut wadah styrofoam berisi ketoprak.

"Lo iseng banget deh." Drea menggeleng-geleng. "Ke kantor bawain gue sarapan."

"Iya dong. Kan gue perhatian sama lo."

Drea tersenyum tipis. "Sayangnya gue udah sarapan roti sama kopi. Gue nyuruh Umi tadi singgah beliin."

"Tapi kan roti doang, Dre. Lo mana kenyang?"

"Lo bawa pulang aja tuh ketoprak. Lumayan buat makan siang lo."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro