Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa kali Drea menarik dan mengembus napas kuat-kuat. Terapi itu ia lakukan jika perasaannya dalam keadaan kurang nyaman. Di sampingnya, Natra tertidur dalam posisi menyamping, memunggungi sambil memeluk guling.

Bukan. Bukan karena Natra yang tidur di sampingnya. Perasaan yang ia rasakan saat ini karena ia terbangun tiba-tiba. Dalam keadaan gelap ia meraba sampai menemukan tombol lampu tidur. Keringatnya sampai menetes di dahi, jatuh hingga ke pelipis.

Ia juga tidak sedang bermimpi buruk. Hanya saja napasnya tiba-tiba saja sesak dan ia merasa akan mati jika ia tidak segera bangun dan mengambil posisi duduk.

Setelah sedikit lebih tenang, ditepuknya tubuh Natra, sambil sesekali ia goyang- goyangkan.

"Nat. Natra."

Tidak butuh waktu lama untuk membangunkan Natra. Sekalipun ia sepertinya tertidur pulas, Natra bisa bangun dan membuka mata dengan cepat.

"Mm, Dre. Lo bangun?"

"Gue sesak."

Natra menyingkirkan guling dan perlahan bangun dengan menjadikan kedua tangannya sebagai penyangga.

"Gue ambilin obat sama air hangat ya?"

Natra menawarkan. Natra sudah tahu di mana letak obat-obatan jika mereka memerlukannya. Obat-obatan diletakkan dalam sebuah laci khusus di night stand, yang cukup mudah dijangkau dari tempat tidur. Hanya saja untuk air minum hangat, ia harus mengambil di dispenser yang diletakkan di salah satu sudut kamar. Drea tidak menghalangi Natra untuk mengambilkan obat karena dalam keadaan sesak napas seperti sekarang, ia pun tidak mampu mengambil sendiri air hangat maupun obat.

Saat kembali, Natra datang dengan segelas air hangat yang suhunya dirasa pas untuk minum obat. Obat sesak ia letakkan di atas telapak tangannya yang membuka.

"Sering kayak gini, Dre?" tanya Natra setelah Drea selesai meminum obat dan terlihat cukup stabil untuk bicara.

"Jarang. Nggak tau kenapa kambuh lagi," jawab Drea, lalu meminum lagi sisa air putih di gelas. "Gue baik-baik aja kalo itu yang lo mau tanyain."

"Lo nggak abis dapet nightmare?"

Drea menggeleng. "Nggak juga."

"Mungkin lo lupa baca doa tidur."

Drea segera menutup wajah Natra dengan telapak tangannya yang bebas.

"Sembarangan,"

"Siapa tau kan?" Natra mengusap dahi Drea, entah dari mana ia dapat kekuatan untuk melakukan hal tersebut. Hanya bertahan dua usapan,   Drea menghentikannya.

"Udah lo tidur aja lagi." Drea memalingkan wajah untuk kembali mengatur posisi tidur. Natra masih begitu terpana, bagaimana cantiknya wajah Drea sekalipun dalam pencahayaan minim. Ia tidak keberatan dibangunkan setiap malam jika bisa puas memandangi wajah sang pujaan hati.

Dan sekaligus juga telah menjadi isterinya.

Tuhan memang Maha Baik.

"Goodnite, Dre."

Untuk kedua kali di malam yang sama, Natra mengucapkannya.

"Hmm."

*** 

Bagi Drea, bekerja di kantor menjadi  rutinitas wajib untuk membunuh waktu sekaligus melampiaskan keinginannya mengerjakan pekerjaan sebanyak mungkin. Perusahaan keluarga yang bergerak di bidang retail pakaian jadi, menuntut kreativitas dan inovasi yang tiada henti. Sementara gempuran produk impor juga semakin banyak. Sebagai presiden direktur, ia harus bekerja sebaik mungkin jika tidak ingin posisinya digantikan oleh orang lain.

Bukan Natra yang ia khawatirkan untuk menggantikan posisinya, tapi kehadiran Dion, sepupunya. Tidak butuh waktu lama bagi Dion untuk masuk dalam jajaran direksi. Lulusan master bisnis di Texas itu tidak semata mengandalkan garis keluarga untuk bisa masuk ke perusahaan, namun ia memang kompeten. Papa Drea saja mengakui hal tersebut, meskipun beliau tetap saja masih terus mengusulkan nama Natra untuk dimasukkan dalam dewan direksi.

Sebetulnya, Natra tidak bisa dianggap remeh soal bisnis. Sekalipun hanya bisnis bengkel, namun ia berhasil membangun usahanya dari nol. Lima tahun lalu, Natra bersama dua rekan kerja yang juga teman-teman sesama pecinta otomotif membuka bengkel dengan modal patungan. Dan sekarang usaha bengkel itu semakin berkembang menjadi distributor onderdil, car wash, kafe. Sesekali Natra juga menjadi makelar penjualan mobil antik. Rentetan bisnisnya itu memang tidak jauh-jauh dari hobinya. Satu contoh nyata, bahwa dari hobi bisa menjadi pekerjaan tetap dengan hasil yang menjanjikan.

Tapi tetap saja, kapasitas pebisnis seperti Natra belum cukup untuk mengendalikan perusahaan keluarga. Drea selalu pesimis soal itu, dan selamanya rasa pesimis itu tidak akan hilang. Ia akan selalu menilai Natra sebagai seorang laki-laki sederhana yang lucu, konyol, dan tidak begitu tertarik dengan persaingan. Sementara yang dibutuhkan di perusahaan adalah orang-orang dengan karakter ambisius, lihai, bahkan cenderung licik bila diperlukan. Orang seperti Natra hanya akan membuat perusahaan tidak bisa berkembang dengan sikapnya yang terlalu santai.

Intinya, Drea malas jika harus terus-menerus menyanggah keinginan papa yang masih terus menawarkan posisi presdir kepada Natra.

Dikiranya memimpin perusahaan itu gampang, apa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro