Dua Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua Belas

Kedua bola mata Drea bergerak-gerak sebelum membuka secara perlahan-lahan. Wajahnya langsung dihiasi kerutan di bagian kening dan gerakan mata menyipit. Drea meletakkan tangan di dahinya setelah menyadari apa yang baru saja terjadi padanya. Saat melihat Natra, Drea kembali mengusap dahinya sendiri.

"Lo pingsan," kata Natra sebelum Drea bertanya. Atau kalaupun Drea enggan bertanya karena masih marah padanya, Drea sudah tahu kalau ia baru saja pingsan.

Natra belum hendak beranjak dari duduk, menunggu apa yang saat ini Drea butuhkan pasca menyadari kondisinya sekarang.

Natra membawa Drea menuju klinik milik Atha, salah satu temannya. Atha sendiri adalah seorang perempuan berprofesi dokter kandungan. Ayahnya berprofesi sama, yang mewariskan klinik itu kepada Atha. Ia mengenal Atha sejak kecil. Keluarga Atha juga mengadopsi teman satu pantinya bernama Anggi, yang saat ini masih kuliah S2 di Jogja.

Drea menatap langit-langit putih di atasnya. "Gue mau pulang."

"Mbak Atha bilang, lo harus istirahat dulu. Tekanan darah lo masih rendah."

Drea terdiam. Sikap Drea masih belum bersahabat, tapi Natra tidak memedulikan sikap Drea. Ia sudah sekian lama menghadapi Drea dengan segala sikap yang berubah-ubah. Meski yang ia pahami, perubahan sikap itu terjadi setelah Mahesa meninggal. Dulu, Drea tidak seperti ini. Drea mungkin sudah berubah menjadi orang lain, namun baginya, Drea tetaplah perempuan yang sama seperti dulu. Drea yang manis, lembut, dan tentu saja cantik seperti bidadari.

"Kenapa lo nolongin gue?"

Pertanyaan itu langsung dijawab Natra. "Ya karena lo pingsan, Dre. Kebetulan aja gue yang ada di sana saat itu."

"Nggak usah peduliin gue lagi." Saat itu Drea tiba-tiba saja terisak. Natra mengusapkan airmata yang meluruh di pipi Drea.

"Lo istirahat ya?" ucap Natra lembut. Drea bermimpi jika ia akan meninggalkan Drea dalam kondisi seperti ini. Lemah dan tidak berdaya.

"Kenapa lo harus baik-baikin gue?"

Natra tersenyum. Drea kali ini terlihat menggemaskan di matanya. Entah mengapa.

"Dre. Lo istirahat aja dulu. Lo jangan mikir yang aneh-aneh."

Drea menepis tangan Natra tapi Natra kembali mengusap sisa airmata Drea.

"Aneh apanya? Udah deh, tangan lo nggak usah sentuh-sentuh gue."

Natra tertawa. Tapi larangan Drea tidak membuatnya mundur. Sebaliknya, ia malah ikut naik ke atas brankar tempat Drea tengah berbaring.

"Gue peluk-peluk ya biar cepat sembuh?"

Bantal kepala yang dipakai Drea melayang ke kepala Natra. Drea mungkin sudah sembuh karena ia kini sudah sanggup bangun dan menyerang Natra dengan pukulan menggunakan bantal.

"Turun nggak?!" Drea bahkan sudah berteriak.

"Iyaa gue turun. Gue turun." Natra tidak mengelak saat bantal kembali bersarang ke wajahnya. Drea sudah sehat, berarti.

Suara ribut-ribut di antara mereka terdengar sampai di luar. Atha yang baru saja masuk hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Natra dan Drea masih terlibat perang bantal.

"Naat. Drea memang udah sembuh kamu ajak berantem?" Atha mendekati brankar dan memasang stetoskop. "Aku periksa dulu ya?"

Atha melakukan pemeriksaan dibantu seorang perawat yang tadinya juga membantu Atha saat Drea baru saja dibawa ke sana.

"Tekanan darahnya masih lumayan rendah. Drea, kamu mau nginap aja di sini? Atau mau rawat jalan?"

Drea menggeleng. "Aku mau pulang aja, Dok."

Atha tersenyum. "Oke. Nanti aku resepkan aja obat penambah darah sama vitamin. Yang terpenting, kamu harus banyak istirahat. Jangan mikir yang berat-berat juga ya?"

"Iya, Dok. Makasih."

Atha beralih kepada Natra. "Nat. Kamu ikut Mbak ke ruangan Mbak. Nanti kamu tebus aja resepnya di apotik."

Natra mengiyakan. "Dre. Gue ambil obat dulu. Lo istirahat aja dulu di sini."

Drea mengangguk pelan lalu kembali berbaring.

***

Natra mengikuti langkah Atha yang terus berjalan masuk ke ruang kerjanya. Di dalam ruang tersebut, Atha menuliskan resep untuk obat yang akan ditebus di apotik.

"Tadinya aku pikir Drea lagi hamil lho." Atha mengucapkannya saat mulai menulis di selembar kertas yang ia ambil dari tumpukan kertas di sebuah wadah karton.

"Nggak kok, Mbak." Natra tersenyum keki.

Tadinya, Natra telah menceritakan bahwa saat kejadian Drea pingsan, mereka sedang berada di pemakaman. Atha mengetahui tentang Mahesa karena bisa dibilang hubungan antara Natra dan keluarganya cukup dekat. Atha pun cukup mengenal Mahesa, meski tidak seakrab dengan Natra. Saat Mahesa meninggal, mereka sekeluarga datang memberikan ucapan belasungkawa.

"Mbak doain rumahtangga kalian selalu bahagia." Atha selesai menuliskan resep dan menyerahkan kertas yang selesai ditulisi. "Nih. Kamu langsung ke apotik aja. Nggak usah bayar, Mbak udah kasih tau sama petugasnya."

"Oke. Makasih, Mbak."

Natra beranjak dari kursi.

"Eh, Nat, lupa. Besok Anggi mau ke Jakarta."

"Oh, iya Mbak. Nanti saya jalan-jalan ke rumah."

"Kamu tuh ya? Ada Anggi aja baru mau ke rumah."

***

Anggika Sarah. Cewek tomboy yang punya hobi ngemil pilus sama kacang sukro itu kini duduk santai di atas kap mobil rusak yang baru saja diantarkan ke bengkel. Siang itu, Natra bebas tugas menjaga Drea karena Drea memilih mengungsi ke rumahnya. Lebih memilih dirawat oleh kakaknya. Jadi, daripada bengong di rumah, Natra memutuskan mengunjungi bengkel. Tidak disangka, Anggi ternyata juga datang ke sana.

"Lo ke rumah, Nat. Gue bawain lo bakpia sama gudeg."

"Kenapa lo nggak bawain aja ke sini atau ke rumah gue?"

"Oleh-oleh mesti lo ambil sendirilah. Kenapa? Isteri lo galak ya, ngelarang lo ke rumah gue?"

Natra terkekeh. "Dia nggak sesibuk itu buat ngelarang gue."

"Iya. Kan lo suami yang nggak dianggap."

"Bisa aja lo."

"Fakta ini, Nat. Lo aja bego, mau-maunya nikah sama cewek yang nggak cinta sama lo dan bisanya cuma jadiin lo kacung."

"Lo ya. Datang ke sini cuma buat ngomelin gue."

Anggi mencibir. "Iya karena lo bego."

Natra mengabaikan. Bukan sekali dua kali ini Anggi mengatainya dengan julukan itu. Saat Anggi mengetahui ia akan menikahi Drea, Anggi bahkan memaksanya untuk membatalkan niatan Natra. Tapi Natra tidak mengubah keputusannya. Anggi sempat mendiamkan, dan mengancam tidak akan datang ke pesta pernikahan. Dan Anggi membuktikan ancamannya dengan tidak datang ke acara pernikahan Natra dengan Drea. Sejak itu mereka putus kontak.

"Udahlah. Lo baru dateng udah sibuk komentarin kehidupan gue. Yang jelas gue udah bahagia. Lo kalo mau nikah, buruan cari calon suami. Tapi laki-laki mana juga yang mau sama cewek bermulut tajam kayak lo?"

Anggi menaikkan satu alis. "Tapi gue nggak jahatlah, Nat. Nggak kayak isteri lo."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro