Tiga Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tiga Belas


"Dre, ini Mbak buatin sup buat kamu."

Diana datang membawa baki kayu, meletakkannya di atas coffee table. Drea sudah bisa beraktivitas seperti biasa, makanya jika Diana datang membawakan makanan, kakaknya itu cukup meletakkannya saja di atas meja. Sebetulnya ia juga sudah bisa makan di meja makan, hanya saja, Drea lebih memilih makan di dalam kamar.

"Dimakan dulu." Diana menghampirinya yang sedang duduk sambil berselimut. Tangan Drea memegang ponsel yang ia anggap sebagai hiburan. Menjadi sakit bukan alasan untuk lepas dari ponsel. Ia benar-benar butuh hiburan.

"Nanti aja, Mbak. Tanggung nih."

"Kamu lagi ngapain sih?" Diana bertanya tanpa berusaha melongok aktivitasnya dengan gadget keluaran Amerika tersebut.

"Baca-baca berita aja, Mbak." Drea membuang napas. Selesai membaca paragraf terakhir dari portal berita online luar negeri, ia berbalik badan dan melepas selimut.

Diana tersenyum. "Tadi Natra bilang mau jemput kamu."

"Mmh, kapan?"

"Barusan. Dia lagi di jalan."

"Ngapain? Aku udah bilang sama dia mau nginap di sini."

"Nggak tau juga. Ya udah, kamu pulang aja sama dia." Diana mengoreksi cepat. "Bukan bermaksud ngusir kamu lho, Dre. Tapi kamu kelihatannya udah sehat. Natra juga kasian sendirian di rumah kalian."

Drea menarik karet pengikat dari rambutnya dan mengikat ulang rambut yang ia rasa berantakan.

"Mbak kok lebih cemasin Natra sih daripada aku? Yang lagi sakit itu aku, bukan dia!" Drea duduk menghadapi sup ayam yang masih mengepulkan asap.

"Iya deh. Terserah kamu aja." Diana mengikuti langkah Drea menuju meja. "Dikurangin dikit dong juteknya, Dre. Akhir-akhir ini kamu jadi lebih nakutin dari biasanya."

"Apa sih, Mbak?" Drea menggerutu sambil mengaduk sup. Aroma wangi sup tersebut membuatnya tidak sabar untuk mencicipi.

"Tuh. Ditegur dikit aja, kamu marah." Diana tertawa pelan.

Drea mengabaikan dan mulai memakan sup. Dimulai dari menyeruput kuahnya. Rasa gurih, asin yang pas, dan sedikit pedas dari merica, serta tekstur ayam dan makaroni yang lembut. Ia bisa menghabiskan semangkuk besar seorang diri. Selain masakan mama, masakan Diana selalu jadi favoritnya.

"Dre."

"Hmm."

"Kamu sama Natra masih gitu-gitu aja?" Diana bertanya lagi. Dari mereka sekeluarga, ia yang paling penasaran tentang hubungan sang adik dengan suaminya. Mereka merencanakan pernikahan dengan seadanya, jadi ia ingin tahu apakah perkembangan yang ada lebih baik atau lebih buruk.

"Nggak ada yang berubah, kecuali dia semakin pengen tau soal hidup aku." Drea menyeruput kuah dan kembali melanjutkan ucapannya. "Aku pikir setelah nikah, Natra bakal lebih mengerti aku. Tapi ternyata nggak. Apa karena dia ngerasa udah punya status suami, trus pantes gitu ngatur-ngatur?"

"Ngatur-ngatur gimana?"

Drea melirik sang kakak. "Ngatur soal sarapan, misalnya. Soal makanlah, umumnya. Ngingetin biar nggak telat makan, istirahatnya harus cukup bla, bla, bla. Mama sama mbak aja perasaan nggak sebawel itu."

Diana menutup mulut, berusaha menahan tawa. Ada perkembangan berarti kalau begitu. Ia jadi bahagia mendengarnya. Natra memang bisa diandalkan.

"Itu tandanya Natra perhatian sama kamu. Dari dulu juga gitu kan?" Diana tersenyum lebar.

"Terserah Mbak deh nilainya gimana." Drea mengibaskan tangan, tanda ia sama sekali enggan untuk peduli.

"Dre. Kamu jangan jutekin Natra terus dong. Dia udah baik banget sama kamu."

Drea mendengus. "Terserah deh mbak mau ngomong apa soal dia."

Diana mendekatkan duduk ke samping Drea. Ia menunggu sampai Drea selesai minum. "Kayaknya Natra udah ada di depan deh. Kamu siap-siap pulang ya?"

"Mbak! Aku udah bilang nggak mau pulang!" suara setengah berteriak Drea sama sekali tidak dipedulikan Diana. Tidak lama ia memekik. "Argh! Apa sih maunya?"

***

Natra begitu bersemangat menjemput Drea pulang. Sudah ada lampu hijau dari Diana yang memberitahu kalau ia boleh membawa Drea. Drea sudah sehat dan mau makan.

"Eh, Nat. Masuk yuk?" Diana mengajak masuk ketika melihat Natra berdiri di teras. Tadinya Natra membunyikan bel, ternyata Diana sendiri yang membukakan pintu.

"Iya, Mbak."

"Drea lagi siap-siap di kamar."

"Oh, oke, Mbak."

***

"Natra udah nunggu tuh di ruang tamu."

Saat Diana datang, Drea masih duduk setengah berbaring di sofa.

"Dre?" Diana lalu mengulang informasi tadi ketika dilihatnya Drea tidak bergerak, apalagi beranjak dari tempat duduk.

"Serba salah banget ya hidup gue?" Jika Drea telah mengeluarkan subyek "gue" dari kosakatanya saat mengobrol dengan Diana, artinya ia sedang dalam keadaan kesal.

Drea berjalan menuju sisi tempat tidur untuk mengambil tas yang ia bawa.

"Dre. Please. Kalo lagi sama Natra jangan marahin dia terus. Dia udah cukup sabar ngadepin kamu."

"Bukan urusan Mbak juga kan?" Drea membalas ketus sambil menjejalkan sweater dan celana jins ke dalam tas. Berikut peralatan mandi dan peralatan make-up yang juga sempat ia bawa ke sana.

"Dre. "

Drea menghela napas. "Maafin aku, Mbak. Aku tambah labil banget ya sekarang?" Drea tersenyum tipis dan menerima uluran tangan Diana untuk menautkan mereka dalam pelukan.

"Ya sudah. Kamu baik-baik ya? Semoga sehat terus. Jangan mikir yang bikin stres. Kerjaan dibawa santai aja. Oke?"

"Panjang banget ceramahnya?"

Diana mencubit pipi Drea. "Yuk."

***

Natra melirik Drea yang duduk di sampingnya. Drea tidak sedang tertidur. Sejak naik ke mobil, Drea tidak berubah posisi. Duduk memangku tas sambil melihat ke luar melalui jendela di sampingnya.

"Gue mau singgah beli makan di Sederhana." Natra menyebutkan nama sebuah restoran Padang terkenal. "Buat makan malam."

Drea diam saja.

"Lo mau makan apa?" tanya Natra sambil melambatkan mobil ketika restoran yang ia tuju tersisa sekitar 50 meter dari posisi mobilnya sekarang.

Drea menghela napas. Setelah mobil benar-benar berhenti di halaman restoran, Drea akhirnya bicara. "Terserah lo."

Natra mengeluarkan dompet lipat dari saku. "Ayam sama sate aja ya?"

***

Drea memerhatikan Natra yang makan begitu lahap di hadapannya. Ia tidak bermaksud perhatian, amit-amit, tapi karena mereka hanya duduk berdua saja menghadapi makan malam ala Padang itu, ia tidak punya pilihan melihat obyek lain.

Ponsel Natra yang diletakkan di atas meja tiba-tiba berbunyi sewaktu Drea mulai berusaha memakan nasi yang diguyur kuah gulai penuh lemak dan kolesterol.

"Oh, lo, Nggi. Iya, ntar gue ke rumah lo. Gue makan malam dulu sama Drea."

Natra menatapnya setelah kira-kira ada balasan dari si penelepon.

"Nggak mungkinlah. Iya, gue siap-siap dulu. Hahaha. Main PS? Kapan-kapan. Gue ke situ kan cuma mau ngambil oleh-oleh gue."

Natra kembali melihatnya.

"Mm. Nggak. Nggak mungkin minatlah. Coba lo bawa oleh-oleh yang mahalan dikit."

Natra tertawa, mengangguk-angguk sebelum akhirnya menutup telepon. Selesai berbicara dengan siapapun itu, Natra kembali melanjutkan makan.

"Gue mau ke rumah Anggi,"

Drea tidak berusaha merespon.

"Lo mau ikut?" tawar Natra. Tidak lama, ia melanjutkan. "Ya udah. Lo istirahat aja. Lo nggak pa-pa gue tinggal?"

"Nggak."

Natra tersenyum. Sambil makan, Natra juga tetap bicara.

"Maaf, Dre kalo gue selama ini nggak bisa jadi suami yang baik buat lo."

Drea enggan menanggapi kalimat Natra yang terdengar memilukan itu. Natra mau menjadi suaminya saja, itu sudah cukup. Ia juga tidak pernah memberi target jika Natra harus menjadi suami terbaik di antara suami lainnya di muka bumi ini. Seharusnya tidak perlu ada permintaan maaf.

"Gue nggak tau bakal pulang jam berapa." Natra ternyata masih melanjutkan obrolan mereka di saat Drea berpikir Natra akan bersiap-siap berangkat. Natra sudah selesai makan, namun ia ternyata merasa masih perlu bicara.

"Kan lo bawa kunci serep."

"Beneran nih lo nggak pa-pa gue tinggal?"

Drea melemparkan tatapan malas, lalu kembali berusaha menghabiskan makanan.

"Lo pergi aja."

Natra mengedikkan bahu. "Oo...oke kalo gitu."

***

Dua buah besek dan tiga kotak kardus berisi bakpia telah terhidang di atas meja makan di rumah Anggi saat Natra tiba di sana. Anggi sedang duduk melihat-lihat lagi aneka oleh-oleh khas kota Jogja tersebut.

"Udah dateng lo?" kata Anggi basa-basi. Ia melihat Natra dengan senyuman lebar. Ia kemudian tertawa. "Isteri lo beneran nggak datang ya?"

"Gue kan udah bilang, Drea nggak bakalan mau gue ajak ke sini."

Anggi masih tersenyum. "Dia nggak tahan kali sama mulut gue."

Natra menepuk kuat-kuat bahu Anggi dengan tenaga seperti menepuk teman laki-lakinya. Anggi menepis tangan Natra yang baru saja memukulnya dan balas meninju lengan Natra.

"Lo kenapa bahas Drea melulu?"

"Iya karena gue nggak suka sama cara dia memperlakukan lo."

"Dasar kepo!"

Anggi menunjuk besek dan kotak yang ia buka tutupnya masing-masing.

"Nah, ini gudeg sama bakpia, oleh-oleh buat lo."

"Sebanyak ini?"

"Ya bukan buat lo semualah. Gue juga punya oleh-oleh buat tante Naira. Nanti besok gue bawain. Gue baru sempat sih besok. Masih awet kok gudegnya, nggak basi." Anggi memberikan keterangan, mungkin supaya Natra tidak mengira oleh-oleh tersebut sudah basi.

"Ya lo ke rumah gue juga," tawar Natra. Ia mencomot satu potong bakpia original dan memasukkannya sekaligus ke dalam mulut.

"Kita ketemuan aja di rumah bonyok lo."

"Kenapa sama rumah gue?"

"Nggak. Males aja."

Natra tertawa pelan. "Lo kok alergi banget ya sama Drea?"

"Iyalah. Gue mana suka sama cewek yang kerjanya manfaatin cowok? Apalagi cowok sebaik lo, Nat. Sial kan gue muji lo lagi? Khilaf gue."

Natra berdecak. "Lo selalu bilang Drea manfaatin gue. Manfaatin gimana maksud lo?"

"Iya. Masa gitu aja lo nggak ngerti, Nat?" Anggi balas berdecak lebih keras. "Ah, udahlah. Pokoknya lo ngertilah maksud gue."

"Apa sih lo? Gak jelas banget." Natra menoyor kepala Anggi. Dalam bayangannya, jika hal yang sama ia lakukan kepada Drea, maka mungkin saja sebuah bogem mentah melayang ke wajahnya. Iya, Drea bisa jadi sekejam itu jika ia mau.

"Lo mana mau ngakuin kejelekan isteri lo? Lo udah cinta mati gitu sama dia."

Natra memilih mengabaikan sebisanya jika Anggi membahas soal Drea beserta segala keburukannya.

Sejak dulu, bisa dibilang Drea dan Anggi tidak bisa menjadi teman. Anggi tidak menyukai sifat Drea yang menurut Anggi bertindak sesukanya. Memang, Drea kerap meminta antar jemput, pesan makanan, atau membeli sesuatu. Harus segera dikerjakan pula yang menurut Anggi sok bossy dan kayak mandor. Natra sih bahagia-bahagia aja, karena ia melakukannya tanpa paksaan. Sekalipun orang lain melihatnya sebagai sebuah perbudakan, jika ia merasa baik-baik saja, semestinya tidak ada masalah kan?

"Udahlah. Gue toh nggak bakal pernah bisa debat soal Drea. Karena di mata lo, dia itu segalanya." Anggi mengibas-ngibaskan tangan. "Ah, gue bisa gila lama-lama mikirin kebodohan lo, Nat. Nggak ngerti lagi gue sama jalan pikiran lo. Sampai lo mau aja nikah sama dia."

"Lo, Nggi. Masih ngebahas hal yang sama juga."

Anggi mencubit pipi Natra, kiri dan kanan serta menariknya kuat-kuat.

"Ya udah. Main PS aja deh."

***

Sekitar pukul 23.00, Natra pulang. Drea belum tidur karena ia memang belum mengantuk. Ia tidak menunggui Natra, pastinya. Tapi wajah Natra begitu sumringah melihatnya terjaga.

"Lo nungguin gue pulang?" tanya Natra antusias sambil setengah melompat duduk di sebelahnya.

"Ada acara TV yang bagus." Drea menuding ke arah TV, sebelum rasa GR Natra semakin menjadi.

"Sambil nungguin gue, makanya lo nonton. Iya kan?"

Drea menatap Natra dengan ekspresi malas. "Terserah lo aja deh."

Natra malah tertawa. Ia mengempaskan badan hingga bersandar pada sandaran sofa.

"Dre, kapan-kapan kita jalan-jalan yuk?" Natra terdengar membuang napas panjang-panjang. "Mm, kita kan belum pernah bulan madu?"

Drea harus tertawa keras kalau perlu. Bulan madu, Natra bilang? Mereka mau ngapain saat bulan madu? Pedekate?

"Di Ragunan?"

"Terserah lo, Dre. Yang penting kita bisa jalan berdua."

Drea menarik napas panjang. Mereka bukannya tidak pernah travelling berdua. Sebelum kehidupannya berubah drastis tanpa Mahesa, mereka beberapa kali menjelajah tempat-tempat wisata. Natra paling suka dengan eksotisme pulau dewata, Bali. Hanya saja, kini Drea merasa asing dengan semua itu. Liburan, tawa bahagia, relaksasi...

"Dre?"

"Gue sibuk."

"Sibuk?"

Drea kembali fokus menatap layar TV. Di sampingnya, Natra masih duduk, menunggu jawaban.

"Dre, kalo selama ini gue ada salah ke lo, gue minta maaf. Tapi, gue selalu bilang ke lo kalo gue bakal bikin lo bahagia. Gue memang nggak bisa jadi sosok seperti bang Hesa yang menurut lo sempurna, tapi kalo lo kasih gue kesempatan, gue bakal ngasih semuanya buat lo."

Drea merasa bergidik mendengarnya. Natra ini, kenapa nggak bisa jadi orang yang pinteran dikit? Begitu mudahnya memberikan semuanya kepada orang lain. Sekalipun orang itu dirinya, dan semestinya ia merasa tersanjung. Tapi tidakkah Natra pernah berpikir jika ia butuh ruang untuk sendiri?

"Dre."

"Ragunan aja, Nat. Next weekend."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro