Dua Puluh Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo belum packing?" tanya Drea yang muncul dari arah balkon kamar.

"Belum. Baru mau packing," jawab Natra.

Ia hanya butuh waktu paling lama sepuluh menit untuk membereskan barang-barangnya karena barang yang ia bawa juga tidak banyak. Dalam hal bepergian, laki-laki selalu jadi lebih praktis dari segi barang bawaan. Berbeda dengan perempuan yang seringkali butuh memboyong isi kamar dan lemari ke dalam koper karena kuatir ada yang ketinggalan.

"Lo sendiri. Udah beres?" Natra balik bertanya.

"Udah. Tinggal barang-barang yang mau dipake besok, kayak sabun mandi, sikat gigi. Handuk. Semacam itu," jawab Drea yang baru saja naik ke tempat tidur.

Natra mengangguk. Ia yang sedang duduk di sudut tempat tidur berbalik melihat Drea.

Mereka akan pulang besok. Dan sampai detik ini tidak ada hal penting lagi yang bisa mereka lakukan saat liburan. Ia juga tidak yakin Drea masih berkenan diajak ikut liburan lagi.

"Dre." Natra menatap Drea yang sedang menggelung rambut. "Gue tau gue nggak bisa berharap soal lo mau ngebales perasaan gue. Tapi gue rasa, gue sama lo perlu bicara sebelum kita balik ke Jakarta."

"Kita masih punya banyak waktu buat ngomong kan?"

"Gue nggak tau, lo juga nggak bakal tau apa besok kita masih hidup atau nggak?"

"Lo ngomong apa sih, Nat? Kayak besok mau kiamat aja."

"Gue cuma mau semuanya jelas."

Drea terdengar menghela napas. "Gue rasa memang udah jelas, Nat. Soal perasaan gue ke lo. Gue nggak bisa cinta sama lo."

"Bahkan sampai saat ini?"

Drea beranjak dari tempat tidur. Balkon menjadi tujuan langkah kakinya. Namun Natra menghadang, setengah memaksa Drea menghadapnya.

"Dre," Natra menyebut namanya setelah menguasai lengannya.

"Gue nggak bisa nyimpan dua nama dalam hati gue, Nat. Nggak bisa."

"Sekali ini saja, Dre."

Drea menggeleng. Natra nampak sedikit frustrasi menghadapi penolakannya. Ia jujur, jika hatinya masih terisi sepenuhnya oleh Mahesa. Tidak ada ruang bagi nama lain, orang lain.

Termasuk Natra.

"Sekali ini saja lo kasih gue kesempatan untuk singgah di hati lo. Setelah ini gue janji, gue nggak akan berharap lebih lagi ke lo."

Drea enggan menatap Natra, ia enggan menatap kedua mata penuh harap itu.

Ia tidak akan bisa.

Ia tidak akan...

Bisa.

Drea hanya diam saat jemari Natra menyusuri permukaan bibirnya.

"Gue nggak bisa," Suara Drea semakin memelan seiring gerakan jemari Natra yang kini bertahan di kedua pipinya.

"Lo bilang sambil natap mata gue, Dre. Lo bilang kalo lo sedikitpun nggak mencintai gue."

"Nat. Nggak. Gue nggak cinta sama lo. Cinta gue cuma buat Mahesa."

"Tapi abang Hesa sudah mati, Dre."

"Nggak. Dia nggak pernah mati. Dia selalu hidup dalam hati gue."

"Sampai kapan? Sampai kapan lo sadar kalau bang Hesa sudah mati. Lo milih mencintai orang mati daripada gue yang jelas-jelas hidup di hadapan lo dan cinta mati sama lo, Dre?"

Drea mendorong Natra dengan sekali sentakan.

"Maksud lo apa, Nat? Maksud lo apa ngomong kayak gini ke gue? Lo pikir...lo pikir lo bisa ngancurin perasaan gue dengan ngasih tau gue kalo Mahesa sudah mati??? Lo benar-benar jahat, Nat! Lo jahat sama gue!!"

Drea menutup wajah dengan kedua telapak tangan, sementara airmata mulai mengalir di kedua matanya.

"Maafin gue, Dre." Natra mengabaikan Drea yang menyuruhnya menjauh. Sebaliknya, dengan satu gerakan cepat, ia menarik tubuh Drea dan membawanya dalam pelukan. Drea menangis tanpa bicara apa-apa lagi.

****

"Udah pulang, Nat?" tanya mama basa-basi saat melihat Natra menjejakkan kaki di teras.

"Nyampe jam sembilan tadi, Ma." Natra melepaskan sepatu dan melangkah masuk ke dalam ruang tamu. "Ini ada sedikit oleh-oleh buat Mama sama papa." Natra menunjukkan cireng dan asinan yang ia bawa.

"Drea mana?"

Pertanyaan mama itu seketika menusuk langsung ke jantungnya. "Ada kok, Ma. Tadi Drea ke rumahnya dulu. Nanti abis dari sini Natra jemput lagi, trus langsung pulang ke rumah."

Mama tersenyum tipis. "Ya udah. Kamu pasti capek abis nyetir. Kamu istirahat aja dulu. Udah sarapan kan?"

"Iya, Ma. Udah." Natra menunjuk ke arah tangga. "Ma, Natra ke kamar dulu ya?"

"Iya."

"Ma."

"Iya, Nat. Kenapa lagi?"

"Kalau dulu bang Hesa nggak meninggal, trus gantinya aku yang meninggal, pasti nggak bakal banyak orang yang kehilangan ya, Ma? Nggak kayak bang Hesa, semua orang sayang sama dia."

"Nat, kamu ngomong apa sih? Mama nggak ngerti deh. Kamu ya datang-datang langsung ngomongin soal meninggal."

Natra tersenyum tipis. "Ya, dijawab aja, Ma."

"Natra, ah. Mama nggak pernah mau kehilangan siapapun. Cukup abang kamu aja yang ninggalin mama sama papa, jangan kamu juga." Mama mengelus rambut Natra penuh kasih sayang. "Baik kamu sama abang kamu, sama-sama orang baik, Nat. Kalian selalu bahagiain Mama sama papa."

"Tapi kenapa orangtua aku nelantarin aku ya, Ma? Apa dulu waktu kecil Natra bandel banget ya sampai orangtua kandung Natra ngebuang Natra?"

Mama menggeleng-geleng. "Nat. Kayaknya kamu kecapean deh, Sayang. Tidur dulu, gih. Nanti kalo udah makan siang, Mama bangunin."

***

Drea mendengarkan suara pintu kamar yang dibuka. Ternyata Diana.

"Natra udah datang tuh."

Drea bergerak malas-malasan bangun dari tempat tidur. Ia merapikan kuncir kuda yang tidak dilepasnya sejak tadi sebelum berbaring dengan sisir di meja rias.

Natra menunggu di ruang tamu ditemani mama. Drea melirik sekilas kepada Diana dan memberinya kecupan di pipi. "Pulang dulu, Mbak."

"Hmm." Diana mengusap punggungnya.

Seusai berpamitan dengan mama, Drea langsung berjalan menuju mobil. Baik mama maupun Diana berdiri menunggu di teras sampai mobil yang dikemudikan Natra keluar dari halaman rumah.

Drea mengembuskan napas kuat-kuat, kemudian duduk memerosot dan mulai memejamkan mata. Selain suara dengung mesin, ia mendengar suara dalam dirinya.

Apa kamu mau diemin Natra lagi setelah ini?

Ia menyadari satu fakta. Ia begitu mudah membenci jika segala sesuatu berkaitan dengan Mahesa. Siapapun yang mengingatkan dirinya akan kepergian Mahesa adalah musuhnya.

Dan Natra adalah musuhnya sekarang. Ia memang tidak melemparkan tatapan tajam ataupun kata-kata penuh amarah. Hal terbaik yang bisa dilakukan Drea adalah mendiamkan Natra. Kemarin Natra sudah meminta maaf, tapi bukan berarti ia akan secepat itu memaafkan Natra.

"Masih mau diemin gue, Dre?" tanya Natra. Mereka bertahan tidak saling bicara di pertengahan jalan menuju rumah, dan Natra selalu tidak pernah betah berada dalam situasi seperti itu.

Natra tahu ia tidak benar-benar tidur, jadi Natra bicara lagi.

"Gue bakal terus ngajak lo ngomong sampai lo mau ngomong lagi ke gue."

Teruskan saja, Nat. Teruskan saja sampai lo puas. Lo memang jahat. Lo udah kelewatan ngomong soal Mahesa ke gue. Gue berusaha nggak benar-benar benci sama lo, jadi gue memilih diam. Kenapa lo nggak diem juga? Kenapa lo terus ngomong ke gue? Lo segitu perhatiannya ke gue? Dasar bodoh.

"Dre, lo pasti dengar gue."

Trus kenapa? Kenapa kalo gue denger? Apa gue harus jawab?

"Dre?"

Drea menggeram pelan.

"Drea?"

Drea tetap mendiamkan mulutnya sampai mobil berhenti di halaman rumah tepat di depan garasi. Ia melompat turun secepat mungkin. Membuka pintu depan juga dengan cepat, menyusuri rumah hingga tiba di dalam kamar dan membanting sekuat mungkin pintu di belakangnya.

Natra mengetuk-ngetuk pintu kamar yang baru saja ia kunci.

"Dre, gue emang bodoh. Tapi tolong lo dengar gue. Buka pintunya. Gue benar-benar butuh ngomong sama lo."

Natra mengetuk pintu berkali-kali dengan intensitas lebih tinggi. Drea menutup telinga dan masuk ke kamar mandi sampai ia tidak lagi mendengar suara apapun yang tidak ingin ia dengar.

Drea keluar dari kamar setelah tidak lagi mendengar suara ketukan dan suara Natra yang memanggil namanya. Natra mungkin saja sudah pergi lagi.

Ah, apa pedulinya?

"Dre."

Suara itu berasal dari sofa ruang TV. Seharusnya Drea bisa menebak jika Natra mungkin saja menunggunya di sana.

Natra mengikutinya sampai ke dalam pantri. Drea tertawa miris.

"Gue tau mungkin menurut lo ini nggak penting. Tapi gue harus tetap ngomong. Gue hanya butuh dengar keputusan lo soal gimana hubungan kita sekarang."

Drea mengambil gelas dan meletakkannya di atas meja berikut botol berisi air dingin.

"Gue rasa, gue akan berhenti memperjuangkan lo, Dre."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro