Dua Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua Puluh


Drea memerhatikan Natra yang tengah memotong steak medium done pesanan mereka. Natra tahu jika Drea melihatnya, tapi Natra tidak bertanya mengapa sepasang mata Drea tertuju kepadanya. Natra hanya menuding piring steak di hadapan Drea, memberi isyarat bagi Drea untuk memakan steak berlumur lada hitam itu. Drea kemudian memotong daging dalam potongan kecil dan menusuknya dengan garpu. Ia mengunyah sambil mencoba mengabaikan pikirannya yang masih dipenuhi tanya tentang bagaimana ia akan menghadapi Natra setelah serangkaian kemesraan yang mereka lalui.

Sebenarnya, keputusan apa yang akan diambilnya setelah membiarkan Natra melakukan apa yang ingin Natra lakukan padanya sejak dulu? Apakah ia akan memarahi Natra karena Natra berani menciumnya? Atau menganggap apapun yang telah terjadi di antara mereka sebagai angin lalu?

Atau menjauhi Natra?

Drea terlalu bermain dengan pemikiran sendiri, sementara yang ia lihat, Natra nampak biasa-biasa saja. Natra tidak terlihat canggung. Sebaliknya, ia yang merasa canggung menghadapi Natra. Ia sempat ingin mengurungkan rencana mereka makan malam di luar dan menyiapkan alasan jika ia kurang enak badan. Tapi jika begitu, Natra akan bertanya berkali-kali dan pada akhirnya ia sendiri akan luluh jika Natra meminta dengan penuh permohonan.

"Lo nggak suka steaknya?" tanya Natra.

Drea langsung menggeleng. "Enak kok. Nggak ada masalah."

"Dre."

"Hmm."

"Soal yang tadi...,"

Drea menahan napas beberapa saat lalu mengeluarkan suara yang ia rasa tidak wajar karena nada dan volumenya yang tidak santai. "Oh! Nggak apa-apa. Santai aja!"

"Kalo lo merasa nggak nyaman, gue minta maaf."

Drea mengembuskan napasnya sedikit demi sedikit sambil memandangi Natra yang sedang menyorongkan potongan daging ke dalam mulutnya. Tidak lama, Natra kembali mengunyah.

"Nat, gue nggak mau ngomongin soal itu lagi."

"Lo marah?"

"Gue nggak marah," jawab Drea cepat. "Mungkin lo yang marah karena gue...nolak lo."

"Nolak gue saat gue pikir...lo akhirnya mau gue."

Drea menunduk, mencoba memusatkan perhatian pada garpu dan pisau di tangannya. Potongan daging seberat 2 ons di atas piringnya begitu menggiurkan untuk segera dihabiskan.

Mereka tidak akan duduk bersama di sana dan membicarakan soal yang terbilang rahasia itu. Ia tidak mau ada yang mendengar, meski ia tidak yakin pengunjung lainnya peduli tentangnya dan Natra.

"Gue memang nggak bisa."

"Ya, gue tau. Tapi gue tetap mau minta maaf."

Drea mengangguk tidak menentu. "Terserah lo, Nat. Meskipun menurut gue nggak perlu."

"Lo bakal benci banget sama gue," Natra menyimpulkan.

Drea mendesah. "Nat, gue nggak sedang benci, kesal atau marah sama lo. Gue cuma ingin lupa soal itu."

Meski ia tahu ia kedengaran membual pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia melupakan apa yang terjadi antara dirinya dan Natra jika kontak fisik antara mereka sudah lebih dari batas yang pernah mereka sepakati? Ciuman dengan Natra. Mimpi pun ia tidak pernah membayangkan mencium Natra, sahabatnya sendiri. Meskipun mereka sudah menikah, tapi tetap saja baginya hal itu terasa sangat ganjil.

"Dan gue nggak akan mau lupa."

Drea mendesah lebih kuat mendengar ucapan Natra. "Gue nggak bisa mengontrol perasaan lo ke gue kan? Jadi lo mau lupa atau nggak, itu terserah lo."

"Oke."

Drea terus makan dan makan. Menyusutkan jumlah potongan daging di atas piringnya hingga habis dan hanya menyisakan sisa saus. Ajaib, ia bisa makan dengan lahap meski saat itu mereka sedang membicarakan hal yang bisa dibilang bukan hal yang cocok dibicarakan saat sedang makan.

Natra selesai makan lebih dulu. Ia memanggil waitress untuk menanyakan bill, membayarnya secara non tunai kemudian memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku celana. Drea meminta ijin sebentar menuju toilet dan di saat yang sama, Natra juga mengatakan akan ke toilet. Jadilah mereka berjalan bersama-sama menuju toilet.

Drea tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini.

Namun entah mengapa, ia malah ingin menangis.

****

Keluar dari kamar mandi, Natra mendapati Drea sedang duduk di tepi tempat tidur sambil memegang ponsel. Drea sudah lebih dulu bersih-bersih, sementara ia memilih duduk-duduk di balkon sampai ia melongok jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tadinya mereka pulang dari restoran sekitar jam setengah sembilan dan tidak ada tujuan lain selain kembali ke resort. Sebenarnya masih ada agenda lain, berkeliling, atau mencari jagung bakar sambil menunggu sampai tengah malam. Tapi, Drea bilang ia ingin segera pulang untuk beristirahat.

Selesai menyeka wajahnya dengan handuk, Natra memilih duduk di dekat Drea yang sedang duduk bersandar pada night stand. Mereka tidak bisa meninggalkan Puncak, mengakhiri liburan dengan perasaan ibarat benang kusut seperti sekarang. Drea sudah mengatakan jika ia tidak kesal, marah atau benci kepadanya, tapi tetap saja, ia jadi terusik untuk memperjelas klarifikasi Drea tadi.

Drea rupanya sudah menebak maksud Natra duduk di dekatnya.

"Lo kenapa lagi? Gue udah bilang kan kalo gue nggak apa-apa?"

Natra tersenyum. "Cuma pengen liat lo ngomel."

Drea mendengus. "Buruan tidur sana."

***

Hari terakhir liburan, taman bunga Nusantara menjadi pilihan menghabiskan waktu. Butuh waktu sekitar dua jam untuk mengelilingi taman meski tidak seluruh bagian. Waktu mereka banyak dihabiskan di Secret Labyrinth karena ternyata tidak mudah untuk menemukan jalan keluar dari sana.

Natra mengembuskan napas lega ketika melihat Drea keluar dari labirin setelah menunggu nyaris setengah jam. Ia seharusnya menyusul masuk, tapi Drea ngotot ingin menemukan jalan keluar sendiri. Drea sepertinya selalu tahu cara membuat dirinya khawatir.

"Gue baik-baik aja," ucap Drea saat Natra menyodorkan sebotol air mineral.

"Iya, tapi muka lo pucat," kata Natra.

"Biasa aja deh." Drea mengusap sisa air mineral di sekitar mulutnya, dan segera melangkahkan kaki menuju bangku yang tersedia di dalam terowongan. Sambil duduk, Drea meminum lagi air mineral hingga nyaris habis sebotol.

"Minum gue masih ada kalo lo mau nambah." Natra menyodorkan sebotol lagi air mineral yang tadi sengaja ia bawa. Mereka masing-masing membawa satu botol air mineral, tapi ia sempat membeli sebotol lagi sebagai cadangan.

"Lo bisa kan nggak terlalu perhatian sama gue?" Drea berkata sambil menyeka dahi dan pelipisnya yang dibasahi keringat dengan menggunakan punggung tangan.

"Kenapa? Lo keberatan?"

"Iya. Lo biasa aja ke gue. Gue jadi ngerasa sikap lo berlebihan ke gue."

Natra mengakui dalam hati jika ia memang berlebihan. Ia hanya terlalu menuruti kata hatinya untuk selalu memberikan yang terbaik bagi Drea. Apapun yang akan membuatnya aman, meski kedengarannya Drea menjadi tidak nyaman karenanya.

"Oke, kalo itu yang lo mau."

Natra pun beranjak lebih dulu dari bangku demi memberikan ruang bagi Drea. Ia memilih duduk di bangku lain. Saat ia menoleh ke arah terowongan, dua remaja perempuan berjalan sambil tertawa-tawa. Mereka sama-sama terlihat kelelahan tapi rasa lelah tidak mengurangi antusiasme mereka.

Dari tempatnya duduk, Natra mengamati Drea yang melihat-lihat sekeliling. Ia akan memastikan Drea berjalan lebih dahulu dan ia akan mengikuti dari belakang.

Sekitar lima belas menit kemudian, Drea bangkit dari bangku. Setelah berjalan lumayan jauh, barulah Natra mengikuti. Drea berbalik menolehnya lalu kembali melanjutkan langkah kakinya yang berjalan santai.

****

Natra melihat jam dinding.

Ia ingat jika ia seharusnya sudah mengepak tas karena besok pagi-pagi sekali mereka akan kembali ke Jakarta. Drea sudah mengajukan cuti untuk hari Senin jadi sekalipun mereka pulang lebih awal, Drea mengatakan jika ia akan masuk kantor di hari Selasa.

Koper Drea masih tergeletak di sisi lemari. Di atas benda berbentuk kotak hitam tersebut, Drea meletakkan sebuah bungkusan plastik yang entah berisi apa dan belum sempat ia masukkan ke dalamnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro