Sembilan Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Royal Tulip Gunung Geulis resort. Pilihan yang menarik, batin Drea.

"Suka?" tanya Natra sambil mengeluarkan handuk dari dalam koper. Drea sedang berdiri menghadap jendela saat Natra menanyakan hal itu.

"Gue sih pengen bilang lumayan suka, tapi tempatnya bagus begini."

Natra melemparkan senyum dan menyampirkan handuk di pundaknya. "Gue mandi dulu. Tapi kalo lo mau ikutan...,"

Drea berbalik, melemparkan tatapan tajam sementara Natra terdengar tertawa-tawa sambil berjalan menuju pintu kamar mandi.

Drea kembali menatap pemandangan gunung Geulis yang terlihat jelas dari tempatnya kini berdiri.

Saat di jalan, Drea bertanya mengapa mereka tidak menginap saja di villa pribadi milik keluarganya. Menurut Natra, ia memang sudah pernah menginap sekali di Royal Tulip, hanya saja waktu itu ia hanya sempat menginap semalam bersama salah seorang teman, dan ia masih penasaran dengan resort tersebut, jadi pilihannya menginap di tempat itu memang telah direncanakan sejak jauh-jauh hari.

Suara berisik di belakangnya, membuat Drea mau tidak mau berbalik. Natra baru saja selesai mandi. Ia sendiri juga bersiap untuk mandi, hanya saja pemandangan indah dari balkon begitu menyita waktu dan perhatian. Ditambah hawa yang sejuk, membuat Drea malas jika harus bersentuhan dengan air.

"Dre, giliran lo."

Drea bersedekap. "Males banget gue mandi."

"Lo bilang aja kalo mau gue mandiin. Gue sih sukarela."

Drea menoyor kepala Natra yang kini berdiri di belakangnya. Natra balas menjawil hidungnya. Menatapnya dalam.

"Pake handuk gue?"

"Ogah!" Drea melemparkan handuk yang tadi diselipkan Natra ke tangannya. Lagi-lagi Natra tertawa. Usil memang.

***

Drea selesai mandi dan berpakaian sekitar tiga puluh menit kemudian. Natra berbaring santai di tempat tidur, memainkan ponsel di tangannya.

Sore itu, mereka hanya akan beristirahat saja di kamar menunggu waktu makan malam tiba. Natra sudah merancang tempat-tempat apa saja yang akan mereka datangi selama masa liburan singkat itu. Yang pasti, ia ingin membuat kesan baik di mata Drea selama perjalanan kali ini.

"Besok mau ke mana, Nat?" tanya Drea. Ia duduk di sisi sebelah ranjang berukuran lumayan luas itu, sambil menatap ke arah jendela. Cahaya di luar sana mulai meredup seiring pergantian waktu dari sore menuju malam.

"Kebun raya." Natra sendiri tidak yakin dengan tempat itu. "Atau lo mau tempat lain? Curug Cilember, misalnya."

"Kebun raya aja dulu. Gue males lagi kalo mau ke air terjun."

"Sekali ini doang, Dre. Dulu lo gue bawa ke mana aja juga oke, nggak banyak protes."

Drea mengabaikan dan memilih berkeras hanya ingin ke kebun raya.

"Yaah, gue bisa bilang apa lagi kalo lo udah mutusin." Natra mengangkat bahu.

"Lo sih, argumen lo gampang aja gue patahin."

"Iya karena lo kan ngambekan. Gue nggak mau lagi asyik liburan, lo minta pulang gara-gara ngambek sama gue."

Drea protes. "Gue nggak gitu."

"Kayaknya lo amnesia deh." Natra tergelak.

"Lo kali." Drea menunjukkan muka kusutnya dan beranjak dari tempat tidur. Ia mengambil tas, terlihat mencari-cari dan mengeluarkan ponselnya yang sedang bernyanyi-nyanyi. "Iya, Ma. Aku udah di resort. Di Royal Tulip. Nggak nginap di villa keluarga. Nggak tau nih Natra."

Natra mendengarkan percakapan Drea dengan mamanya, dan sedikit banyak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, dari apa yang dikatakan Drea. Drea sesekali menyebutkan namanya, seolah mengatakan ia yang punya andil soal trip weekend itu.

Dan memang iya sih.

"Oke, Ma. Bentar ya." Drea berjalan mendekati tempat tidur, dan menyodorkan ponsel kepada Natra. "Mama mau ngomong."

Natra mengangkat alis, mengubah posisinya dari berbaring menjadi duduk setelah menerima ponsel dari tangan Drea. Pasti wejangan dari mama Drea.

"Iya, Ma. Pasti aku jagain anak mama yang paling manja."

Drea langsung mendelik tajam. Dasar judes.

"Iya. Nanti aku bawain oleh-oleh. Oke, Ma. Sayang mama juga. Mhuuah."

Natra masih memegang ponsel Drea. Ia masih ingin memegang benda itu berlama-lama, mungkin ia bisa melihat-lihat isi galeri fotonya. Pasti banyak foto Drea yang cantik-cantik.

"Ponsel gue." Drea menggerakkan tangan.

"Iya, ntar. Gue liat-liat dulu."

"Apa sih, Nat?"

"Liat-liat doang, Dre."

"Natra apaan sih?"

"Lo pasti nyimpan video bokep ya makanya gue nggak boleh liat?"

"Ih, nggak kebalik? Bukannya lo yang suka ngoleksi? Gila aja lo nuduh gue." Drea dengan bernafsu menarik ponselnya dari tangan Natra.

"Kok tau? Lo pernah iseng liat ponsel gue?" Natra mengacungkan ponselnya. "Nonton bareng gue yuk?"

"Najis!" Drea setengah berteriak dan bergidik saat mengatakannya.

"Ntar lo ketagihan masih lo bilang najis juga. Sok-sokan."

"Issh," desis Drea lalu meluncur pergi dan memilih duduk di balkon.

Natra menyeringai. Ia ingin mencium Drea sepuasnya, saking gemas dengan sikap Drea. Beberapa hari ini Drea memang terlihat "jinak". Sikapnya lebih melunak dari biasanya. Ya, sejak pulang dari rumah orangtuanya, Drea yang waktu itu pulang dengan mata sembab, terlihat cukup rapuh. Sosok itu bukan Drea yang dulu. Drea yang dulu adalah sosok lain. Sosok yang ceria dan cerewet. Sosok yang ia rindukan kembali, meski ia tidak yakin akan kembali.

Natra menghela napas.

Ia mencintai Drea dan akan selalu mencintainya.

***

Pilihan berjalan-jalan di kebun raya tidak begitu buruk. Oke, Drea akan meralatnya. Tempat yang menjadi salah satu destinasi wisata favorit keluarga ketika berlibur ke Puncak itu, sungguh memanjakan seluruh inderanya. Memang benar kata Natra, ia butuh liburan. Refreshing. Penyegaran dari hidup penuh beban kerja dan pikiran yang ia jalani selama ini di Jakarta. Jika berwisata ke Ragunan kemarin lumayan menyenangkan, maka liburan ke kebun raya kali ini terasa sangat menyenangkan. Suasana di sekitar sini begitu sejuk, hijau, damai. Ia bisa membaui aroma khas pepohonan juga gemerisik dedaunan. Tarikan napasnya jadi terasa lebih panjang, tanpa khawatir akan menghirup udara penuh polusi seperti di Jakarta.

Natra terus menemaninya berjalan mengelilingi kebun raya. Sesekali Natra memotret dirinya, yang entah dibiarkan saja oleh Drea. Ia lebih fokus menikmati pemandangan ketimbang sibuk menghalau kamera Natra agar menjauh darinya.

"Dre. Liat ke sini dong. Senyum," pinta Natra. "Viewnya bagus. Pas, nggak banyak orang juga."

Drea mengeluarkan senyum yang ia rasa cukup lebar dan mengatur posisi berdirinya menjadi lebih santai meski ia sedang berjalan. Terlihat seperti sedang berjalan di dalam foto lebih terlihat natural ketimbang ia hanya berdiri diam menunggu jepretan kamera selesai.

Selesai memotretnya entah dalam beberapa kutip, ia dan Natra kembali berjalan, meski kali ini kakinya mulai terasa pegal. Drea memutuskan akan berjalan beberapa ratus meter lagi sambil mencari tempat duduk.

"Dre, cari sarapan yuk?" ajak Natra. Sebelum berangkat menuju kebun raya, mereka memang sudah sarapan. Namun berjalan sejauh tadi mau tidak mau mengharuskan mereka makan lagi, menggantikan kalori yang telah terbakar. Kurang tepat sih jika namanya sarapan, karena saat itu jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang.

Natra mengarahkan mereka ke salah satu tempat makan yang menyediakan aneka jajanan hingga makanan berat yang cocok untuk menu makan siang. Natra menanyakan makanan apa yang ingin ia pesan. Setelah berpikir cepat, Drea menyebutkan siomay dan soto mie. Natra menyamakan pesanan mereka ditambah sepiring batagor, sepiring asinan serta sepiring pentol pedas.

Selera makan Natra yang besar memang tidak pernah berubah. Natra hanya melemparkan pandangan malu sambil tersenyum. "Gue laper banget. Sekalian wisata kuliner kan?"

Dasar tukang ngeles.

Saat pesanan mereka datang, tanpa diminta, perut Drea bergolak karena lapar. Seluruh hidangan pesanan mereka begitu menggugah selera. Ditambah minuman es teh manis, makan siang mereka kali ini begitu sempurna.

"Gue selalu kangen makanan-makanan ini sewaktu di Jakarta," ucap Natra setelah mengunyah sepotong batagor yang masih cukup panas. Drea sendiri memilih mencicipi dulu kuah soto mi-nya. Daging sapi di dalam soto mi sangat melimpah. Rasanya sesuai dengan harga yang tertera pada daftar menu.

"Gue curiga lo ke sini cuma buat nyari makanan aja," simpul Drea. Potongan daging sapi yang lembut benar-benar pas dengan kuahnya yang segar.

"Ada misi itu juga. Tapi yang utama memang buat bawa lo menjauh sejenak dari Jakarta."

Drea mendengarkan Natra sambil tetap serius memakan soto mi yang luar biasa enak itu.

"Dre,"

"Hmm."

"Sejauh ini lo cukup enjoy kan sama trip kita kali ini?"

Drea tanpa ragu mengiyakan dengan anggukan. Dibawa menikmati pemandangan yang memanjakan mata lengkap dengan makanan yang memanjakan lidah, bagaimana mungkin ia tidak menikmati semuanya?

"Gue senang," tambahnya.

Natra tersenyum padanya. "Terimakasih ya, Dre?"

Drea kembali mengangguk. "Gue yang makasih, Nat."

Mulut Natra menganga dalam beberapa detik. Drea merasa geli dan lantas dengan cepat menyuapkan batagor ke mulut Natra. Natra terlihat kaget tapi beberapa detik kemudian ia tersenyum sambil menguyah batagor yang tadi ia suapkan.

"Lagi dong, Dre."

"Ogah!"

"Gue yang nyuapin kalo gitu." Natra balas menyuapkan siomay dan mau tidak mau Drea membuka mulut karena posisi siomay itu sudah begitu dekat dengan mulutnya.

Mereka sama-sama tidak saling bicara karena sibuk mengunyah makanan. Drea enggan menyuapi Natra lagi, selain karena ia menganggap hal itu cukup norak, ia juga tidak mau jadi perhatian pelanggan lainnya.

Tapi Natra sama sekali tidak peduli akan hal itu. Ia masih minta disuapi.

"Udah ah. Malu tau. Suap-suapan kayak anak kecil." Drea beralasan. "Mending makanan lo cepet diabisin."

***

Setelah menghabiskan waktu di kebun raya, mereka kembali ke resort. Drea bilang ia ingin beristirahat karena semalam ia mengaku kurang tidur. Hari masih siang saat mereka kembali ke resort. Sesuai rencana, malam harinya mereka akan kembali jalan-jalan, sekadar menghabiskan malam Minggu bersama. Drea mengatakan kalau ia ingin makan jagung bakar. Menurut Natra, rencana itu cukup sempurna. Setidaknya Drea mau bermalam Minggu bersamanya.

"Mau gue pijitin, Dre?" Natra menawarkan diri saat melihat Drea tengah berbaring sambil memukul-mukul betisnya menggunakan tinju.

"Nggak usah."

Tapi Natra sudah lebih dulu meraih salah satu kaki Drea dan mulai memijiti di bagian betis.

"Nat, apa-apaan sih? Nggak usah," tolak Drea, meski ia juga tidak langsung menjauhkan diri.

"Santai aja."

Drea akhirnya diam saja sambil memerhatikan Natra memijiti area betisnya.

"Lo emangnya nggak pegel?" tanya Drea.

"Lumayan." Natra memindahkan pijatan tangannya ke paha Drea. "Kenapa? Lo mau mijitin?"

Drea hanya menyeringai tipis. "Kayak gue kurang kerjaan aja."

"Nggak tau terimakasih itu, namanya."

"Yang nyuruh lo mijitin gue siapa?" Drea mengucapkannya dengan ketus. Meski yang Natra tangkap, keketusan itu hanya semacam cara Drea menjawab secara spontan. Tidak benar-benar dari hatinya.

"Kan gue sayang sama lo, makanya gue pijitin," Natra merasakan pipinya tertarik saat mengatakan hal itu.

"Itu namanya modus."

"Modus sama orang yang kita sayang nggak ada salahnya kan?" Natra berhenti memijit dan memajukan duduknya di dekat Drea.

Drea menatapnya ragu dan saat itu mereka sama-sama diam, sampai kemudian Natra kembali berbicara.

"Gue nggak akan pernah bosan bilang ke lo kalo gue cinta sama lo. Semakin lo menghindar, semakin gue kejar. Karena yang gue tau gue akan selalu memperjuangkan cinta gue ke lo. Selamanya."

Drea tersenyum tipis. "Lo nggak serius."

"Gue serius, Dre. Semua hidup gue, cinta gue, cuma buat lo. Sejak dulu, dan nggak pernah berubah."

Drea membuang napas.

Natra membuka mulut hendak berbicara, namun Drea mencegahnya.

"Jangan cintai gue sebesar ini, Nat. Karena gue nggak tau kapan gue bisa ngebalas perasaan lo ke gue."

Natra tersenyum.

"Lo cuma perlu buka hati lo buat gue, Dre." Natra mengusap lembut kedua pipinya dan menyelipkan sisa rambut yang berantakan di wajahnya ke belakang telinga. "Pelan-pelan. Gue bakal tunggu dengan sabar."

Drea mengangguk pelan.

"Tapi kalo cium lo boleh? Sambil nunggu hati lo terbuka buat gue."

Drea kali ini enggan mengiyakan. Namun hatinya berkata lain yang rupanya didukung oleh gerakan tangannya menelengkan wajah Natra menghadapnya. Natra mengarahkan bibir ke pipi Drea, namun Natra berhenti di sudut bibir Drea.

"May i?"

Drea belum sempat mengangguk saat bibir Natra menyentuh bibirnya. Jantung Drea nyaris melonjak, kali ini Natra melepas ciumannya tanpa isyarat apa-apa.

"Gue siap kapanpun lo mau nyium gue, Dre. Tapi gue nggak jamin setelah itu lo bakal selamat."

"Maksud lo, Nat?"

Natra menyeringai. "Gue udah puasa 3 bulan, Dre. Ciuman sama lo bisa bikin gue nggak bakal bisa nahan nafsu gue."

Drea menatap kedua mata Natra beberapa saat. Natra yang ia kenal sejak dulu selalu berkata jujur. Si bodoh yang mau saja menghabiskan waktunya untuk perempuan yang tidak lebih bodoh seperti dirinya.

Natra setengah melongo saat Drea memajukan wajah dan menciumnya.

Damn it. Drea benar-benar menciumnya.

"Dre, gue bisa khilaf," bisik Natra saat ciuman singkat mereka berakhir.

"Anggap aja ujian." Drea menepuk pipinya. "Udah ah. Gue mau tidur."

Natra benar-benar tidak bisa melepaskan Drea setelah Drea berhasil mengacaukan pikiran dan perasaannya.

Drea tersentak saat tangan Natra menggapai dagu dan pipinya. Rasa penasaran rasanya nyaris membunuh Natra. Ia terlihat semakin butuh pelampiasan.

"Kalo nyium lo adalah ujian bagi gue, maka gue rela nggak lulus ujian itu selamanya."

Napas Natra terdengar memburu saat mengucapkannya.

"Lo keliatan nggak sabaran."

"Apa gue masih bisa bersabar? Keliatannya gimana?"

"Keliatannya lo bentar lagi bakal nelan gue hidup-hidup." Drea menggumam.

"Salah lo." Natra mendudukkan Drea di pangkuannya. "Salah lo udah bikin hidup gue merana karena lo."

"No." Drea menggeleng.

"Say yes," Natra menyatukan bibirnya dengan bibir Drea, memaksanya membuka hingga ia bisa merasakannya. Ia tidak tahu apakah Drea akan membunuhnya setelah ini, tapi ia benar-benar membutuhkan Drea saat ini. Tidak terbayang jika ia membiarkan Drea pergi tanpa pernah menyempatkan diri merasakannya sedekat ini.

Sekarang pun ia sepertinya harus meralat kata-kata jika ia akan bersabar menunggu Drea membuka hatinya sementara yang ingin ia lakukan sekarang adalah melucuti pakaian Drea dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang laki-laki sejati untuk menunjukkan keperkasaannya.

Bahasa tubuh Drea mulai menunjukkan penolakan. Natra masih separuh jalan memperdalam ciumannya saat Drea menarik wajahnya tanpa peringatan. Ia bisa mendengar suara ciuman mereka yang terlepas seperti bunyi segel botol sampanye yang terbuka.

"Gue nggak bisa, Nat."

Natra tahu ia tidak bisa mempertanyakan motivasi Drea menginterupsi ciuman mereka.

Karena ia selalu tahu jawabannya.

Dan ia memang tidak bisa memaksa.

***

Wow, udah pada jamuran dan lumutan ya nunggunya? lol

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro