Delapan Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Delapan Belas


Drea mengusap airmatanya. Beberapa saat sebelumnya, ia sudah berhenti menangis. Namun airmata itu seolah menemukan kembali jalannya untuk keluar. Ucapan mama yang terekam di otaknya ia putar ulang sampai ia benar-benar lelah. Ia tidak menyalahkan mama untuk pembicaraan yang telah lewat, karena ia sendiri menganggap nasihat mama selalu baik untuknya. Hanya saja, ia terlalu larut dalam perasaannya sendiri. Betapa kehilangan itu telah berlangsung bertahun-tahun, namun ia tidak kunjung merelakan.

Natra masih belum duduk. Ia terlihat ragu. "Ada apa, Dre?"

Drea menelan ludah. Selain bayangan Mahesa, bayangan Natra juga sesekali berkelebat dalam pikirannya tadi. "Lo mau ke mana?"

Natra meliriknya sekejap kemudian duduk. "Gue mau tidur di kamar sebelah."

"Oo." Drea lalu menghela napas.

"Mm, lo masih ada yang mau ditanyain?"

Drea mengulum bibirnya yang terasa kering. "Nggak. Nggak ada."

Natra menggosokkan kedua telapak tangannya. "Kalo gitu gue permisi."

Drea mengangguk. "Oke."

Seusai pamit, Natra tidak langsung pergi. Drea juga tidak tahu apa yang bisa ia katakan untuk meminta Natra tetap di sana. Ia dan Natra mungkin tidak punya alasan apa-apa untuk menjalin komunikasi seperti biasa. Ia masih gengsi, dan Natra seakan mulai menjaga jarak.

Natra memandangnya, masih enggan, meski juga menyiratkan keingintahuan. Hal itu diperjelas saat ia bertanya, meski caranya bertanya malah membuat Drea merasa ia sudah terlalu bersikap buruk kepada Natra selama ini.

"Lo kenapa? Gue liat lo kayak abis nangis." Natra langsung menambahkan. "Lo nggak perlu jawab pertanyaan gue kalo menurut lo pertanyaan gue barusan mengganggu."

"Nggak. Gue cuma lagi pengen nangis aja." Drea tidak yakin akan membahas soal Mahesa kepada Natra untuk saat ini.

"Jadi perasaan lo sekarang, gimana?" tanya Natra.

"Gue baik-baik aja," jawab Drea pelan.

"Oo." Natra menggerakkan tangannya dengan kaku. "Lo istirahat aja kalo gitu."

"Nat, gue jahat banget ya selama ini sama lo?"

"Eh?" Natra bersikap seolah ia sedang mengalami gangguan pendengaran. "Lo bilang apa?"

"Gue udah jahat banget selama ini sama lo," ulang Drea sambil menundukkan wajah.

Natra terlihat kebingungan, saat Drea memerhatikan ekspresi wajahnya lagi. Namun sesaat kemudian, Natra sudah tersenyum.

"Lo nggak pernah jahat sama gue, Dre."

Drea menggeleng. "Nggak. Gue udah jahat sama lo karena keegoisan gue."

"Lo...okelah, kalo lo memang mau ngomong begitu." Natra mengalah. "Jadi, sekarang gimana? Gue harus bersikap gimana sama lo?"

"Ya, biasa aja. Lo sahabat gue, jadi lo bersikap seperti... sahabat gue. Gimana ya? Ya seperti itu."

Natra mengangguk. "Tapi apa gue bisa bersikap seperti sahabat lagi, saat gue sekarang lebih ngeliat lo sebagai sosok lain?"

"Maksud lo, Nat? Lo ngeliat gue seperti sosok lain? Seperti apa?"

"Seperti isteri gue," jawab Natra lugas.

Drea menggerakkan mulutnya, tapi ia kehabisan kata. Cara Natra menekankan kata per kata di kalimat barusan, membuatnya sedikit terintimidasi. Tapi bukan seperti itu juga. Ia hanya berusaha mencari pengandaian yang tepat.

"Karena lo isteri gue." Natra semakin menegaskan.

"Iya, gue tau. Tapi...," Drea menemukan kedua manik mata Natra terpaku pada kedua matanya. "Oke. Terserah lo aja melihat gue kayak apa."

Natra tersenyum lebar. "Terimakasih untuk kesempatannya."

Drea mengangkat alis. "Untuk apa?"

"Untuk mau jadi isteri gue."

***

Natra terus memandangi pergerakan Drea yang sedang mematut dirinya di depan cermin. Hari ini Drea mengenakan dress yang jatuh di atas lutut yang rencananya ia padukan dengan blazer gelap. Tapi blazernya belum ia kenakan. Drea lalu mendekat ke arah cermin, menambahkan lip cream di bibir nude-nya.

"Nat, lo abis nganter gue, mau ke bengkel?"

Natra menggeleng. "Nggak. Aku abis nganter kamu mau ke rumah mama."

"Geli tau nggak, lo ngomong gitu?" Drea tanpa sadar tertawa.

"Kenapa? Aku-kamu itu kedengarannya jauh lebih baik dari ber lo-gue."

"Gue nggak mau."

"Tapi aku mau."

"Iih."

Drea belum mau membiasakan ber aku-kamu dengannya. Natra mengatakan jika ia tidak ingin lagi menggunakan sapaan elo-gue kepada Drea. Dalam rangka mengakrabkan hubungan mereka, ia merasa harus mulai membiasakan diri berperilaku sebagai seorang suami.

"Iya. Kenapa?"

"Nggak. Cuma nanya." Drea masih mendekatkan wajahnya ke depan cermin, memeriksa riasan matanya.

"Lo jangan dandan terlalu cantik kalau keluar rumah."

Drea menolehnya. "Kenapa? Perasaan dandanan gue biasa aja."

"Karena lo cuma boleh cantik buat gue."

Drea hanya melemparkan senyum lalu kembali merias wajahnya. Natra jadi gemas dibuatnya. Ia melangkah mendekati meja rias, dan seketika Drea menyuruhnya menjauh.

"Apa sih, Nat?"

Natra tersenyum. Bayangan wajah Drea yang melihat ke arahnya dalam keadaan masih memegang stik lip cream, ia pandangi tanpa berkedip.

"Dre, gue boleh cium lo?"

"Hah?"

Sebelum Drea sempat mengelak, Natra sudah menempelkan bibirnya ke pipi Drea.

Saat itu, Drea sempat mengelus pipi yang baru saja dicium Natra tanpa mengatakan apa-apa.

***

Sejak kejadian Natra menciumnya di pipi, Drea masih tidak merasakan sesuatu hal yang berbeda. Mungkin karena hanya di pipi, jadi ia rasa biasa saja. Natra masih memandangnya penuh cinta, sementara ia, meskipun mulai menurunkan kadar keegoisannya, namun belum ada perubahan signifikan dalam perasaannya.

Bagaimana mungkin ia bisa mulai menyukai Natra jika hatinya masih juga enggan untuk terbuka?

Apakah memang ia seterusnya tidak akan pernah bisa merasakan perasaan cinta lagi?

Membuang napas kuat-kuat, Drea kembali berkutat pada bundelan disain yang sebentar lagi masuk ke percetakan. Tim redaksi sudah menyelesaikan katalog untuk musim depan. Dan meskipun bulan depan itu masih 3 minggu lagi, ia harus memastikan katalog tersebut sudah ready di pertengahan bulan ini, atau paling lambat minggu ketiga bulan ini.

Setelah mengantarnya ke kantor, Natra bilang akan menjemputnya. Rutinitas tersebut berjalan nyaris dua minggu terakhir ini. Meskipun mobilnya sudah selesai diservice, untuk alasan mendekatkan hubungan mereka, ia setuju Natra mengantar dan menjemputnya pergi dan pulang kantor. Beberapa kali Natra juga mengantarnya untuk keperluan lain, misalnya untuk keperluan belanja bulanan, atau ke salon. Natra menemani dan menunggui dengan sabar. Sebuah kualitas yang tidak pernah berubah dari Natra selama ini.

Tapi mengapa, ia tidak juga mengubah pandangannya selama ini kepada Natra yang tetap ia anggap sebagai seorang sahabat?

***

Natra membuka pintu ruang kerja Drea dan menemukan Drea sedang duduk bersandar di sofa yang biasanya dipakai untuk menjamu tamu yang datang. Ia terlihat santai sambil menatap layar ponselnya.

"Gue nggak datang kecepetan lagi kan?"

"Nggak. Gue beresin kerjaan lebih awal." Drea menjawab masih sambil mengetik di ponselnya.

Natra lalu mengajak Drea untuk pulang. Drea memintanya menunggu sekitar lima menit. Dan sekitar sepuluh menit kemudian, Drea pun beranjak dari duduk dan mengikutinya keluar dari ruangan tersebut.

Mereka berjalan bersisian menuju lift. Suasana sepi karena sebagian besar karyawan memang sudah pulang. Natra sudah terbiasa dengan situasi semacam ini, karena Drea memang lebih sering memilih pulang saat sebagian besar karyawan tidak lagi berada di tempat.

Pintu lift kembali tertutup saat mereka masuk ke dalam. Natra menekan tombol angka yang menunjukkan lantai dasar. Sambil menunggu perjalanan lift sampai ke lantai dasar, Natra memilih berdiri diam sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Drea juga diam, sama seperti biasanya. Mereka baru akan berbicara satu sama lain setelah keluar dari dalam lift. Keluar dari dalam lift, langkah mereka masih harus melintasi area lobby dan selanjutnya Drea akan mengikutinya menuju tempat parkir.

Natra mengemudikan mobil sementara Drea memilih duduk bersandar dan memejamkan mata. Drea memang tidak pernah mengeluh capek, tapi Natra bisa merasakan kelelahan Drea setelah seharian bekerja.

Natra pernah mengusulkan Drea untuk menjauh sejenak dari pekerjaan. Ia bisa membawa Drea ke tempat manapun yang Drea inginkan, selama Natra masih sanggup membiayai perjalanan mereka. Namun saat itu Drea menolak, dan kalaupun mau refreshing, Drea hanya ingin di sekitar Jakarta saja. Ia selalu teringat pekerjaan, dalihnya.

Sampai di rumah, seperti sudah terpola, Drea akan masuk ke pantri untuk mengambil air minum, lalu masuk ke dalam kamar. Berbaring sekitar sepuluh menit kemudian bersiap untuk mandi. Setelah mandi, mereka akan makan malam bersama. Setelah makan malam, Drea biasanya menonton TV, namun tidak lama. Ia kerap tertidur di sofa dan baru akan berpindah ke kamar tidur saat tengah malam. Atau jika tidak menonton TV, Drea akan langsung masuk kamar dan tidur.

Seperti saat ini, Drea sedang tertidur pulas sambil memeluk guling. Suasana kamar temaram dan sunyi.

Natra naik ke tempat tidur, mengusap lembut rambut Drea dan mencium keningnya.

"Mimpi yang indah ya?"

***

Natra mengatakan jika weekend ini ia berencana menghabiskan akhir minggu di kawasan Puncak, Bogor. Ia butuh suasana baru, katanya.

"Ya lo pergi aja," ucap Drea.

"Lo ikut dong."

Drea belum memutuskan akan menolak atau menerima ajakan Natra. Jadi ia hanya mengangkat bahu. "Gue nggak tau."

"Kamu mau lumutan, stay terus di Jakarta?"

"Gue males. Lagian gue tau pasti bakal macet ke sananya." Drea beralasan.

"Ya kita berangkat Jumat tengah malam atau subuh. Beres kan?"

"Gue males aja, pokoknya."

Natra belum menyerah mengajaknya. "Dre, semua orang butuh piknik, refreshing. Beban kerja lo juga udah gila banget kan beberapa minggu ini?"

"Bawel deh," Drea mendengus. "Gue kan bilang terserah lo mau pergi atau nggak."

"Gue batal pergi kalo lo nggak ikut."

Drea mendesah. Natra terlihat jadi pemaksa sekarang. Apakah karena efek ia yang akhir-akhir ini mengurangi sikap judesnya, makanya Natra jadi merasa bisa memaksa jika ia menginginkan sesuatu.

"Lo kenapa nggak mau pergi sendiri?" Drea bertanya lalu mengira-ngira Natra membuat alasan apa.

"Lo pasti udah tau jawaban gue." Natra malah tidak memberikan jawaban.

Menyebalkan.

Drea masih diam saat Natra kembali berbicara. "Kalo gue pergi sendiri, itu sama aja gue nggak merhatiin lo sebagai isteri gue. Kemanapun gue pergi, lo sebisa mungkin bakal gue bawa, Dre."

Drea mendengarkan ucapan Natra sambil menandaskan sisa kopi di cangkirnya.

"Jadi?"

Drea menggumam. "Hmm. Iya. Gue ikut."

***

Next chapter

Natra membuka mulut hendak berbicara, namun Drea mencegahnya.

"Jangan cintai gue sebesar ini, Nat. Karena gue nggak tau kapan gue bisa ngebalas perasaan lo ke gue."

"Lo cuma perlu buka hati lo buat gue, Dre." Natra mengusap lembut kedua pipinya dan menyelipkan sisa rambut yang berantakan di wajahnya ke belakang telinga. "Pelan-pelan. Gue bakal tunggu dengan sabar."

Drea mengangguk.

"Tapi kalo cium lo boleh? Sambil nunggu hati lo terbuka buat gue."

Drea kali ini enggan mengiyakan. Namun hatinya berkata lain yang rupanya didukung oleh gerakan tangannya menelengkan wajah Natra menghadapnya. Natra mengarahkan bibir ke pipi Drea, namun Natra berhenti di sudut bibir Drea.

"May i?"

Drea belum sempat mengangguk saat bibir Natra menyentuh bibirnya. Jantung Drea nyaris melonjak, kali ini Natra melepas ciumannya tanpa isyarat apa-apa.

"Gue siap kapanpun lo mau nyium gue, Dre." Natra kembali melanjutkan menyabuni piring yang sejenak ia abaikan. "Tapi gue nggak jamin setelah itu lo bakal selamat."

"Maksud lo, Nat?"

Natra menyeringai. "Gue udah puasa 3 bulan, Dre. Ciuman sama lo bisa bikin gue nggak bakal bisa nahan nafsu gue."

-2A

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro