Tujuh Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Hai, Baby."

Luisa menyapa Natra tepat setelah Natra membuka pintu. Tanpa disuruh, Luisa langsung masuk dan menutup pintu di belakangnya.

"Ngapain ke sini?" tanya Natra saat sudah kembali berjongkok di depan lemari es yang sedang ia bersihkan.

"Ya mau ketemu kamulah, Baby." Luisa mendekati pantri dan berdiri di dekat lemari es. "Kamu ngapain sih?"

"Beres-beres. Isteri gue mau tinggal di sini sama gue." Natra mengangkat sebatang sawi hijau layu dari dalam tempat penyimpanan sayur. Ia juga tidak habis pikir mengapa ia harus membeli sayuran yang ia tahu tidak akan sempat ia masak.

"What??? Kamu udah nikah???"

Natra beranjak untuk membuang sayuran-sayuran layu di tangannya.

"Sori nggak ngundang lo."

"Kamu suka gitu deh, bercanda."

Natra segera mengangkat telapak tangan dan menunjukkan cincin di jari manisnya. "I'm officially married."

Luisa bersikap tidak acuh, namun tetap saja ia bertanya. "Sama siapa?"

"Adalah." Natra kembali menghadapi kulkas yang sejauh ini sudah lumayan bersih. Setidaknya menurut standarnya. Entah menurut Drea.

"Tapi masih bisa main sama aku kan?"

Natra menaikkan alis. "Lo nggak ngerasa udah godain suami orang?"

"Aduh, Natra. Jangan sok suci deh. Biasanya juga kamu oke-oke aja diajak main." Luisa bersedekap. "Ayo dong."

"Gue cuma main sama isteri gue."

"Really? Seberapa hebat dia muasin kamu? Oh, c'mon. Natra. Dari semua cewek yang udah tidur sama kamu, i'm the best. Kamu juga nggak mungkin bisa ngelupain cara aku bikin kamu...,"

"Luisa, gue udah nikah. Apapun yang gue lakuin dulu sama lo, sama cewek lain, gue anggap sebagai masa lalu gue." Natra kembali membuang sisa remahan roti tawar berjamur ke dalam keranjang sampah. Ia lalu bergerak cepat menuju bak cuci piring untuk mencuci tangan.

"Memangnya kamu bisa nolak?"

Luisa menghampiri Natra dan menelengkan wajah Natra setengah paksa untuk menerima ciumannya. Natra menarik napas dan menyelesaikan aktivitasnya mencuci tangan. Luisa kembali menempelkan bibirnya, kali ini dengan lebih agresif. Mendorong Natra hingga bokongnya menempel di pinggir bak cuci piring. Memulai eksplorasi.

"Gue udah nik...," Ucapan Natra terpotong oleh gencarnya gerakan bibir Luisa. Semakin ia menolak, semakin menambahkan gairah menggebu Luisa untuk mencecapi bibirnya.

Berbulan-bulan tidak merasakan kenikmatan seperti ini membuat Natra cukup kagok. Atau mungkin kemampuan Luisa yang semakin meningkat?

"Luisa, we need to stop." Natra mengucapkannya setengah hati karena kini ia membiarkan Luisa membuka kancing kemejanya satu-persatu. Sementara Luisa dan dirinya saling memagut seperti kelaparan, kehausan, mencari cara menawarkan dahaga.

Mereka berpindah ke ruang tengah mencari sofa terdekat yang bisa mereka jangkau. Natra kini membantu Luisa menurunkan tube dress yang menjadi favorit Luisa karena jenis baju itu gampang dilepaskan, dari atas ataupun dari bawah.

"Favorit banget ya bajunya?" gumam Natra.

"Tau aja kamu," Luisa tertawa kecil sambil membimbing tangan Natra melucuti pakaian dalamnya. "Kan biar gampang kalo mau ngapa-ngapain?"

Natra memandangi wajah Luisa. Ia melamunkan jika wajah yang ia lihat saat ini adalah wajah Drea.

Mengapa Drea dan dirinya tidak bisa sedekat ini? Mengapa justru Luisa, seseorang yang bukan isteri, namun kini berbagi kemesraan dengannya?

Dulu ia memang pemburu wanita, berkelana mencari definisi cinta dan kebahagiaan semu. Asal bisa senang-senang.

Tapi sekarang? Ia adalah seorang suami. Janji pada dirinya sendiri untuk setia kepada Drea apapun yang terjadi kini coba ia langgar hanya karena nafsu dan dahaga akan kebutuhan biologis.

Tidak. Ini harus dihentikan.

Kecamuk itu semakin meliar dalam batinnya.

Ia memang harus berhenti sebelum terlambat.

"Natra?" Luisa memanggil, dengan kilat nakal di kedua mata.

Gerakan bibirnya kembali ganas, gerakan tubuhnya semakin menggoda.

"Gue rasa kita harus berhenti."

"Tapi kenapa, Natra?" Luisa masih berusaha memenuhi hasratnya yang menggebu.

Natra tidak menjawab. Ia hanya mendesah kuat-kuat dan menggeser badannya sambil memposisikan tubuh Luisa merapat ke sandaran sofa.

"Natra! Kamu kenapa sih?!" seru Luisa. Ia tidak langsung mengejar Natra karena masih bersusah payah merapikan pakaian sebelum beranjak.

"Mendingan lo pulang sekarang."

Luisa membelalakkan mata. "Maksud kamu? Kamu ngusir aku? Tapi kita bahkan masih pemanasan, Sayang."

Natra menepis tangan Luisa sebelum sempat menyentuh wajahnya. Belaian Luisa jika dibiarkan menjelajah bisa sangat berbahaya. Meskipun keindahan surga dunia hanya tinggal di depan mata dalam wujud perempuan cantik dan seksi seperti Luisa, namun Natra memilih mengabaikan. Karena janji yang tidak ingin ia ingkari. Meskipun janji itu hanya diutarakan kepada dirinya sendiri. Drea tidak pernah tahu soal itu.

Ia tidak mau menjadi suami sampah. Karena ia berharga meski harga diri itu hanya terlihat oleh dirinya sendiri.

"Lo pulang sekarang."

Bahasa tubuh Natra terbaca oleh Luisa. Ia menarik napas dalam dan mengembuskan dengan kuat. Luisa benar-benar terlihat kesal.

"Payah!" Luisa mulai mengoceh. Ujung atas tube dress hitamnya dirapikan ketika dilihatnya masih menyembulkan dalaman. "Kamu bakal nyesal, Natra. Mana ada cewek yang mau ngasih service sebaik yang aku punya?"

Penolakan itu jelas baru saja menghancurkan harga diri Luisa.

Luisa menyambar tas tanpa pernah menolehnya lagi.

***

Natra menyugar rambutnya yang masih basah sehabis mandi. Ia baru menyadari jika cincin nikah yang tadi masih ia gunakan, kini sudah lenyap entah ke mana. Ia tidak ingat melepaskannya di mana. Kebersamaan dengan Luisa membuatnya lupa sejenak akan dunianya. Yang ia rasakan hanya rasa senang, bahagia, kenikmatan, rasa dicintai dan dibutuhkan, meski hanya sebagai partner seks.

Masih mengenakan handuk, ia mulai mencari-cari. Mula-mula di sekitar tempat tidur, sampai menjelajah seluruh kamar, namun benda logam mulia itu tidak juga ditemukan.

***

Drea masih sedang membereskan meja kerja saat Natra datang menjemput.

Tadinya, ada suara ketukan di pintu ia jawab dengan teriakan menyuruh masuk, yang ia sangka sekretarisnya. Lalu terlihat sosok Natra dari balik pintu. Setelah itu, Drea kembali menyibukkan diri, namun saat melihat Natra lagi, Natra malah terus-menerus menatapnya tidak berkedip. Dan Drea mengabaikan tatapan itu sebisanya sambil tetap merapikan meja.

"Gue datang kecepetan ya?" tanya Natra yang memilih berdiri di dekat meja. "Gue bisa bantu lo apa?"

Aroma Natra pun wangi sekali, seperti baru saja selesai mandi.

"Sebenarnya gue harusnya pulang setengah jam lagi. Tapi karena lo udah dateng...,"

"Nggak pa-pa, Dre. Gue tunggu."

Drea mengangkat bahu, canggung di bawah tatapan mata Natra. "Oke deh. Lo, bikin kopi aja atau mau minum apa. Ada di kulkas."

"Gue udah minum tadi."

Drea kehabisan ide mengobrol dengan Natra jadi ia memilih diam. Natra mengambil sebuah map plastik dan membacanya sebentar. Saat meletakkan map itu kembali ke atas meja, suara Natra terdengar lagi.

"Dre. Cincin gue hilang," kata Natra tiba-tiba.

"Cincin apa?"

"Cincin nikah gue."

Drea terdiam sesaat. Berpikir. Ia tahu cincin nikah adalah hal sakral, sama seperti arti pernikahan itu sendiri. Orang-orang susah mungkin akan menggadaikannya sebagai alternatif terakhir jika tidak ada jenis perhiasan lain lagi yang bisa digadaikan atau dijual. Jika hilang, dengan mudah kita bisa memesannya kembali dengan model dan berat yang sama persis. Namun bukankah nilainya akan berbeda?

"Hilang di mana?"

"Di apartemen."

Drea tersenyum tipis. "Keselip aja itu."

"Kalo hilang, lo bakal marah ke gue, Dre?"

"Lo mau gue marah?" balas Drea.

Natra terdiam, antara perasaan bersalah atau malah takut?

"Gue aja bisa jaga cincin nikah gue, Nat." Drea menggumam. "Padahal lo yang lebih serius dalam pernikahan ini. Malah lo yang ngilangin."

"Lo mau bantu gue nyari?"

***

Drea tidak tahu apakah ia sedang kurang waras hingga mau mengikuti Natra menuju apartemennya. Kata Natra mereka bisa istirahat sejenak dan ia bisa mandi di sana sebelum kembali ke rumah.

Natra membukakan pintu untuk mereka. Ia melangkah masuk lebih dulu dan duduk di single sofa. Drea mengenyakkan posisi duduknya, karena punggungnya serasa tidak kuat lagi ditegakkan lebih lama saking capeknya.

"Lo mandi aja dulu." Natra mulai mencari-cari lagi di sekitar sofa termasuk di lipatan-lipatan dudukan sofa.

"Lo emang nggak ingat terakhir lo pake di mana?" Drea mengamati Natra yang sedang mencari sambil menggerutu dalam hati, mengapa Natra bisa seteledor itu.

"Nggak pernah gue lepas," jawab Natra singkat. "Lagian buat apa gue lepas? Mandi aja nggak pernah gue lepas tuh cincin."

"Pasti pernah lo lepas? Buktinya bisa hilang." Drea menyimpulkan. Jelas sekali, benda seperti cincin hanya akan hilang jika sengaja dilepas.

"Gue nggak lagi mabuk dan gue yakin cincinnya nggak pernah gue lepas."

Drea menggeleng malas. "Kalo gitu pasti ada yang sengaja lepas tuh cincin dari tangan lo."

Natra berhenti mengorek-ngorek permukaan karpet. "Maksudnya?"

"Lo ketemu cewek hari ini?"

Natra enggan mengiyakan, tapi ia juga enggan membantah. Kedua kombinasi itu membuatnya memilih diam.

"Gue nggak akan bantuin lo nyari karena itu keteledoran lo. Tapi gue butuh mandi sekarang." Drea beranjak dan bergegas menuju kamar.

Natra memang tidak berharap banyak jika Drea akan membantu mencari cincin tersebut. Memang salahnya, dan ia bertekad akan menemukannya.

***

Drea membungkus kepalanya dengan handuk. Saat keluar dari kamar mandi, ia menemukan Natra sedang merangkak di sekitar tempat tidur. Mungkin memang terselip di sekitar situ.

Tenggorokan Drea terasa kering selesai mandi. Air dingin dari dispenser ia tuangkan ke dalam gelas yang lalu dibawanya ke dalam kamar.

"Ini airnya masih layak minum nggak?"

"Masih. Baru minggu lalu gue ganti galonnya," jawab Natra sebelum kembali menyurukkan kepala ke bawah tempat tidur.

"Lo serius?"

"Serius. Kapan gue bohong sama lo?" Natra mengingatkan, dan Drea cukup malas untuk ikut mengingat-ingat.

Sumpah. Ia tidak akan meminum air galon berusia seminggu itu. Ia bisa diare.

Natra kemudian berteriak jika ia masih menyimpan air mineral kemasan botol di dalam lemari es. Drea mendengarnya dengan jelas, namun air dalam gelas yang dipegangnya harus disingkirkan dulu.

Saat meletakkan gelas ke dalam bak cuci piring, matanya tertuju kepada cincin yang tergeletak di dalam bak cuci piring.

Cincin nikah Natra.

***

"Cincin lo udah ketemu."

"Di mana?"

"Di bak cuci piring."

Drea membawa masuk botol air mineral yang ia letakkan di nakas. Tangan satunya lagi menggenggam cincin yang susah payah Natra cari sejak berjam-jam lalu.

"Makasih ya?"

Drea hanya menggumam. "Hm."

"Pakein dong, Dre."

Mulut Drea langsung mengerucut. Mencibir, tepatnya.

"Gue nggak peduli apa yang sedang lo pikirin tentang permintaan gue." Natra menggerakkan jari-jarinya sebagai isyarat bagi Drea untuk segera memasangkan cincin.

"We are not in a wedding ceremony, ngerti?" Drea masih menolak, namun Natra menyerahkan kembali cincin itu ke tangannya untuk dipegang.

"Makein cincin sesulit itu ya, Dre?" Natra balik mencibirnya. "Waktu kita tukeran cincin aja lo senyum."

"Kayak lo nggak ngerti aja itu buat dokumentasi."

"So?" Natra masih menunggu.

Drea menatap Natra kesal, tapi akhirnya dipasangkannya juga cincin itu ke jari manis Natra.

Ada perkembangan yang cukup signifikan dalam hubungan mereka meskipun itu hanya sekadar momen sesederhana ini. Natra berpikir untuk menggelar acara tumpengan besok-besok.

"Cincin lo sering lo lepas nggak, Dre?" tanya Natra iseng setelah Drea duduk di tepi tempat tidur sambil menekan-nekan handuk di kepalanya.

"Mau tau banget?"

"Lo sesekali jawab aja kenapa sih, Dre? Kayak pertanyaan apapun yang gue ucapin haram buat lo jawab," protes Natra sambil tersenyum-senyum memandangi cincin yang sudah kembali ke jari manisnya. Ia enggan memikirkan alasan mengapa cincin itu bisa berpindah dari tangannya ke bak cuci piring.

Drea menjawab. "Gue lepas kalo lagi mandi."

"Kenapa? Takut cepat pudar?"

"Apa sih, Nat? Pertanyaan lo nambah lagi."

Natra ikut duduk di tepi tempat tidur. Meski bersebelahan dengan Drea, jarak posisi duduk mereka masih berbatas dua jengkal. Ia tidak mau mengambil resiko Drea menendangnya karena posisi duduk mereka terlalu dekat. Mungkin tidak seseram itu juga, namun ia hanya menjaga Drea tetap dalam kondisi nyaman.

"Ya udah kalo lo males jawab." Natra menatap Drea sambil mengelus-elus cincin yang baru saja ia pakai. "Jadi jam berapa lo mau pulang?"

"Lo nanya lagi kan? Diem aja kenapa sih?"

Natra tertawa melihat Drea yang terus protes.

"Lo selalu bilang gue bawel. Faktanya lo juga bawel," kata Natra.

"Suka-suka guelah."

Natra tersenyum. "Gue nunggu kapan lo nggak jutek lagi, Dre."

Drea diam saja. Ia melepas handuk yang tadinya membungkus kepalanya.

"Dre. Gue boleh nanya sesuatu ke lo?"

Drea menggosok-gosokkan handuk ke rambut lembabnya. "Soal apa?"

"Gue kan udah sering nyatain perasaan gue ke lo. Gue nggak tau apa perasaan gue itu bakal lo bales atau nggak. Atau gini, maksud gue tuh gini. Perasaan lo ke gue selama ini gimana? Gue nanya ini ke lo biar ada kejelasan buat gue."

"Harus gue jawab sekarang?" tanya Drea.

"Kalau bisa."

"Gue milih nggak jawab."

"Kenapa?"

"Ya karena gue nggak harus jawab." Drea berkeras. "Terimakasih untuk segala pengorbanan lo selama ini buat gue, Nat. Hanya itu yang gue bisa bilang."

***

Hari Minggu ini dilewatkan Natra dan Drea di rumah orangtua Drea. Perkembangan hubungan mereka kembali statis saat Natra mencoba kembali mengungkapkan perasaan. Drea merasakan pertanyaan-pertanyaan Natra semakin memaksanya untuk memberikan jawaban.

"Drea, gimana. Kamu belum hamil juga, Nak?" tanya mama saat mereka hanya berdua di dalam kamar Drea. Mama mencari-cari Drea dan menemukannya di dalam kamar. Bukannya langsung pergi, mama malah mengajak Drea mengobrol.

Anggota keluarga lainnya duduk berpencar di lantai bawah sambil menikmati rujak. Diana dan beberapa kerabat dekat duduk melantai beralaskan tikar dan ada juga yang memilih duduk di halaman belakang sambil mengobrol seperti papa dan Natra.

"Masih belum diprogramkan. Drea kan udah pernah ngomong soal ini ke mama?"

Mama mengangguk pelan. "Kamu belum siap?"

"Iya, Ma. Drea belum siap secara lahir dan batin."

"Kamu mau sampai kapan begini, Dre? Mama sama papa yakin Natra itu suami yang sangat baik. Apa kamu masih kepikiran sama Mahesa?"

Ragu Drea menjawab. "Iya, Ma."

"Drea. Kamu nggak bisa selamanya bersedih karena kepergian Mahesa. Kamu bilang kamu udah berusaha ikhlasin semuanya."

Drea memandangi mama dengan perasaan luka. Mama jelas tidak bermaksud membuatnya bersedih, namun mama dan keluarga mereka selalu berusaha menyemangatinya untuk memulai lembaran baru, tidak hanya terpaku pada masa lalu.

"Mama ngomong gini bukan karena Mama udah pengen nimang cucu. Tapi Mama ingin melihat kamu bahagia, Sayang. Mama lihat, Natra itu sayang banget dan perhatian sama kamu. Kamu bisa mulai kehidupan baru kamu dengan membuka hati kamu untuk dia. Toh kamu juga kan yang milih Natra sebagai suami kamu?"

"Apa Natra pernah ngadu ke mama?"

Mama mengerutkan kening. "Mengadu soal apa? Natra nggak pernah ngomong apa-apa soal rumahtangga kalian. Tapi Mama bisa merasakan antara kamu sama Natra masih terbentang jurang yang sangat lebar. Yang Mama lihat, Natra selalu berusaha ngedeketin kamu, tapi kamu yang jaga jarak. Drea, dia suami kamu. Bukan orang lain."

"Drea butuh waktu."

"Berapa lama lagi, Sayang?"

Drea menggeleng. Mama membawanya dalam pelukan dan saat itu juga tangis Drea pecah. Mama menangis bersamanya.

"Kehilangan itu nggak pernah mudah, Sayang. Dulu, sewaktu nenek kamu meninggal, Mama juga sedih, terpukul. Mama pikir, Mama nggak bisa hidup tanpa nenek kamu. Tapi seiring waktu berjalan, Mama menyadari, ikhlas dan bersabar adalah obat dari segala kehilangan. Takdir Tuhan jelas adanya, Drea. Tuhan mengambil orang yang kita sayangi karena Dia tahu yang terbaik untuk kita dan orang yang kita sayangi."

"Ma...," Drea tercekat. Berbicara dengan mama dari hati ke hati selalu saja menghadirkan perasaan haru yang teramat dalam.

Dulu, mama yang paling bersemangat ikut turun tangan mempersiapkan pernikahannya dengan Mahesa dan beliau pula yang terlihat tidak kalah terpukul saat Mahesa meninggal. Saat itu mama mengatakan ia seakan baru saja kehilangan anaknya sendiri. Mama juga sampai susah makan berhari-hari. Terbayang kebahagiaan mereka yang pupus bahkan sebelum dirayakan.

Mama menghapuskan airmata yang tumpah di wajah Drea.

"Mama, papa, Diana, semua sayang sama kamu, Dre. Kamu harus bahagia. Bukan bahagia untuk kami, tapi untuk diri kamu sendiri."

***

Natra membuka pintu kamar dengan hati-hati. Sepulang dari rumah orangtua Drea, Drea lebih banyak diam. Lebih diam dari biasanya. Natra sempat memerhatikan mata Drea yang sembab saat makan malam bersama di rumah orangtua Drea sebelum mereka pulang ke rumah mereka. Tapi ia menahan diri untuk tidak bertanya sejak Drea memintanya untuk berhenti mengurusi hidupnya.

Selesai bersih-bersih, Natra berhenti di dekat tempat tidur untuk memastikan Drea baik-baik saja.

Drea memang sedang berbaring, tapi ternyata ia tidak sedang tidur. Natra berusaha mengabaikan dan memilih melangkah menuju pintu. Ia akan tidur di kamar sebelah.

"Nat."

Suara lirih Drea terdengar memanggil namanya.

 Natra pelan berbalik. "Iya, Dre?"

____________________________________

Semoga chapter ini gak ngebingungin ya hehehe... jadi ini aku post revisi chapter 17 yang udah sempat kupost lalu kuapus lagi karena ada yang bikin aku gak sreg. Doain aku nulisnya lancar dan hasilnya bisa diterima. Nggak mau minta yang muluk2 :) 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro