Enam Belas (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

 Enam Belas (1)


Drea menekan-nekan pelan dadanya di bagian ulu hati. Sepertinya memang tidak sekeras kemarin. Rasa mual juga berangsur-angsur hilang. Ada rasa sesak, tapi ia sudah mampu bernapas dengan baik.

Natra masih menemaninya di rumah mama. Ya berkat kegigihan Natra untuk tetap tinggal, Diana malah menganjurkan jika sebaiknya Natra tetap di sana. Kini mereka sedang berada di dalam kamar. Ia beristirahat dan Natra menemaninya. Natra memilih duduk-duduk di balkon. Drea mengamati Natra sekilas, sebelum kembali berbaring.

Mengapa Natra harus sebaik ini padanya?

"Udah benar-benar enakan perutnya?" tanya Natra saat mereka berada di dalam perjalanan pulang ke rumah sore itu.

"Iya, udah."

Natra lalu mengatakan sesuatu semacam undangan.

"Dre, masih ingat teman SMA kita yang namanya Agus? Sekelas dengan gue di IPS 4."

Drea mengingat-ingat sampai memorinya berhenti pada sosok siswa laki-laki bertubuh jangkung dan berkacamata tebal. Kalau tidak salah, Agus dulunya juga memakai behel.

"Iya ingat. Yang kacamata sama behel kan?"

"Iya, yang suka gue tumpangin naik motor Vespa."

Sewaktu SMA, ia dan Natra memang sekelas di kelas X dan XII. Namun di kelas XII, mereka berpisah, Drea di IPA 2 dan Natra di IPS 4. Hal tersebut tidak menghalangi persahabatan mereka, meski Drea sibuk sebagai pengurus OSIS dan Natra sudah sibuk bekerja di bengkel milik ayah temannya yang sekolah di SMK. Sebenarnya pilihan sekolah lanjutan Natra lebih condong ke SMK karena ia sudah suka mengutak-atik mesin motornya, namun demi menemani Drea pula, Natra akhirnya memilih SMA.

"Dia mau nikah. Isterinya orang Riau. Kan si Agus orang Lamongan. Trus undangan resepsinya Sabtu malam." Natra menolehnya. "Gue liat lo ada undangan juga Sabtu malam kan?"

"Nggak tau. Gue nggak merhatiin."

"Gue udah cek undangan yang datang minggu ini. Kan lo nggak sempat ngecek. Seingat gue yang Sabtu malam ada dua undangan. Yang hari Jumat juga ada, tapi sore," kata Natra panjang lebar.

"Gue nggak sempat dateng yang Jumat sore. Kalo yang Sabtu malam, gue bisa."

"Kalo yang sama Agus, lo bisa kan bareng gue?" tanya Natra.

Drea mengangguk. "Oke."

Natra tersenyum. "Makasih ya?"

***

Drea mengenakan kebaya biru tosca dipadankan songket warna senada hanya saja lebih gelap untuk menghadiri undangan resepsi pernikahan Agus, teman Natra. Undangan satunya lagi selain undangan dari Agus, akan mereka hadiri setelah dari tempat Agus karena ternyata tempat resepsinya juga tidak terlalu jauh. Jika dua undangan tersebut berada di tempat berjauhan, mereka terpaksa harus menghadiri kedua undangan sendiri-sendiri.

Tuhan, kenapa Drea cantik sekali malam ini?

Natra merasa tidak mampu mengalihkan pandangan sekalipun dari Drea. Ia bisa menabrakkan mobil yang ia kendarai saking tidak fokusnya.

Saat sampai di lokasi pesta mereka jalan beriringan. Pasangan lain datang sambil bergandengan, saling menggenggam tangan satu sama lain. Sedangkan mereka...

"Nat, kenapa lo bengong? Buruan."

"Eh, iya, Dre?"

Drea menatapnya malas dan menarik lengan atasnya. "Lo ngalangin orang lewat."

Natra menegakkan badan dan memerhatikan orang yang berdiri di belakangnya. Mereka berdiri memasuki pintu, namun ia malah menghalangi undangan lain. Ia pun lekas menyingkir sambil tersenyum keki.

Mereka kembali berjalan memasuki ruang resepsi. Resepsi pernikahan Agus digelar di sebuah ballroom hotel. Tamu sudah banyak berdatangan. Natra melihat ke sekeliling sebelum kembali fokus berjalan sambil tetap melihat ke depan.

Ia menoleh sejenak kepada Drea setelah yakin tidak akan menabrak atau menghalangi orang lain yang akan lewat. Drea membuka clutch hitamnya dan mengeluarkan amplop undangan.

"Lo aja yang pegang amplopnya," kata Drea.

Natra menerima amplop tersebut dari tangan Drea. Ia sengaja menyentuh telapak tangan Drea dan berhenti ke pergelangan tangannya.

Natra menelan ludah. "Dre, gue gandeng ya?"

Drea bermaksud menarik tangan, tapi Natra sudah mengurung kelima jarinya, merangkumnya dalam satu genggaman yang terlihat lembut, namun sesungguhnya Natra menekankan jemarinya, menghindari upaya Drea menepis tangannya.

Natra menarik tubuh Drea hingga merapat. Wajah Drea menunjukkan penolakan, tapi Natra tidak peduli. Alhasil, mereka pun bergandengan tangan saat naik ke pelaminan.

Selama ini, Natra tidak pernah bersikap seposesif ini kepada Drea. Namun sekali ini saja, ia ingin malam ini terlihat seperti suami dengan isterinya.

Natra melepaskan genggaman saat mereka tiba di depan pengantin. Agus yang langsung mengenali Natra, buru-buru menyambut jabatan tangan Natra dan menepuk-nepuk lengan Natra.

"Selamat ya, Gus."

"Terimakasih, Nat." Agus melihat Drea. "Wow, Drea."

Sewaktu ia dan Drea menikah, mereka memang tidak mengundang Agus. Natra baru mengatakan kepada Agus jika ia dan Drea telah menikah ketika Agus datang membawakan undangan. Agus cukup terkejut dan ia mengatakan jika ia tidak menyangka Natra akan menikahi Drea.

Turun dari pelaminan, Drea memandangi Natra dengan tatapan tajam. Ia berjalan tergesa-gesa menuju meja prasmanan.

"Dre, Drea." Natra memanggil Drea dengan suara sepelan mungkin.

Drea tidak menjawab dan memilih segera mengantri di gubuk bakso.

Natra tahu risiko dari tindakannya tadi. Tapi ia tidak menyesali apa yang ia lakukan kepada Drea.

"Gue nggak bakal minta maaf soal tadi, Dre. Karena gue memang pengen gandeng lo."

Drea tidak menanggapi. Setelah menerima mangkuk berisi 3 butir bakso yang disiram kuah bening, Drea menyingkir ke tempat yang lebih sepi. Natra menunggu gilirannya mengantri bakso dan berdiri di samping Drea.

Natra berkonsentrasi pada mangkuk bakso di tangannya. Drea kesal, ia tahu pasti.

***

Drea benar-benar kesal. Sepanjang perjalanan pulang dari pesta, ia terus mengunci mulutnya.

Ngapain Natra gandeng-gandeng tangan segala? Dia pikir dia siapa?

"Dre. Gitu aja lo marah."

Drea nyaris melemparkan clutch di tangannya hingga mengenai wajah Natra. Tapi urung. Konfrontasi akan jauh lebih baik bagi mereka.

"Lo isteri gue, Dre. Lo cantik banget malam ini. Gue nggak nyesal soal gandengan tangan itu, dan gue terima kekesalan lo ke gue." Natra menyusulnya masuk ke ruang tengah. "Gue...gue cinta sama lo."

Drea berbalik dan mendorong Natra. "Lo tidur di luar."

"Wow. Nggak adil banget, Dre." Natra masih tetap mengikutinya memasuki kamar. Drea berusaha menutup pintu kamar, tapi Natra dengan sigap membukanya lebih lebar.

"Lo...," Drea mengurungkan niatnya untuk bicara. "Oke. Kalo lo nggak mau tidur di luar, gue yang tidur di luar."

Natra membuang napas. "Dre, gue mohon. Lo jangan kayak gini."

"Kayak gini, gimana? Gue udah pernah bilang ke lo, Nat. Jangan pernah sentuh gue, tanpa persetujuan gue! Lo ngerti nggak sih!!"

"Cuma gandengan tangan, tapi reaksi lo udah berlebihan gini."

"Lo bukan siapa-siapa gue, Nat."

"Gue suami lo, Dre. Suami. Dan lo isteri gue."

Drea membuang muka dan saat itu juga, Natra menahannya.

 "Bisa kan Dre, kita bicara baik-baik?"

---------------------------------

Hehehe...target minimal 2000 wordsku per chapter gagal, makanya satu chapter ini kubagi dua :DDDD

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro