Enam Belas (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pelan-pelan, Drea mengangkat wajah. Kali ini, Natra benar-benar menahannya dengan memegangi kedua lengan atasnya. Dalam keadaan seperti ini, ia seharusnya bisa meminta Natra untuk melepaskannya. Mereka bisa bicara tanpa harus saling bersentuhan. Tapi, ia merasa Natra tidak akan membiarkannya pergi sampai Natra mengatakan apa yang  mau ia katakan.

Mereka memang bisa bicara baik-baik, tapi apa yang mau dibicarakan?

Kedua tangan Natra perlahan lepas dari kedua lengannya. Drea masih diam. Ia tidak ingin menagih apa yang ingin Natra bicarakan.

"Gue rasa, gue sama lo bisa jadi suami isteri beneran, Dre." Natra memulai, meski ia masih terlihat ragu.

Drea bisa memahami dengan jelas maksud Natra, meskipun mungkin itu satu-satunya kalimat yang bisa Natra ucapkan.

Lalu Natra kembali bicara, setelah ia tidak memberikan respon.

"Kita bisa mulai pelan-pelan. Gue nggak meminta lo untuk jatuh cinta kepada gue, Dre. Tapi gue cuma ingin lo melihat gue sebagai laki-laki yang cinta sama lo."

Perempuan lain mungkin akan tersanjung mendengar pernyataan cinta seperti ini. Sekalipun tanpa diiringi rangkaian bunga atau lantunan lagu romantis. Tapi ia bukan perempuan lain. Ia adalah dirinya sendiri. Perempuan yang selama ini menutup pintu hatinya kepada laki-laki lain selain Mahesa. Pintu itu sudah ia gembok dan kuncinya telah ia buang ke laut terdalam hingga mustahil untuk ditemukan.

"Gue udah melihat hal itu dari lo sejak lama, Nat." Drea akhirnya membuka mulut. "Tapi lo juga udah tau jawaban gue sejak dulu."

"Karena abang?" Natra menyahut begitu cepat.

"Itu lo tau, kenapa lo masih nanya?" Drea berusaha menenangkan dirinya sendiri dengan berusaha mengetuskan nada suaranya.

"Tapi abang udah nggak ada, Dre. Gue tau gue nggak bisa gantiin dia di hati lo, tapi gue suami lo sekarang." Natra terdengar menekankan pada kata suami.

Lalu apa? Apakah Natra kini sedang menagih haknya sebagai seorang suami?

"Lo mau nagih hak lo dan meminta gue menunaikan kewajiban gue sebagai seorang isteri?" Drea menatap Natra tajam. "Lo udah lupa kenapa dulu gue mau nikah sama lo? Gue cuma butuh status, Nat. Status! Gue nggak tahan semua orang tau gue gagal nikah karena calon suami gue meninggal! Gue nggak mau orang ngeliat gue selalu sendiri, nggak bakal nikah karena trauma! Dan gue pikir lo bisa jadi solusi. Karena gue tau lo bego, Nat. Lo mau ngabisin waktu lo buat gue, yang jelas-jelas lo tau nggak cinta sama lo."

Natra menggeleng. "Bukan begitu maksud gue, Dre. Gue cuma mau lo kembali seperti lo yang dulu. Lo sama gue dekat, tapi gue ngerasa lo selalu berusaha ngejauhin gue. Gue terima lo jutekin gue setiap hari, tapi gue nggak bisa liat lo...,"

"Udah. Gue nggak mau ngomong apa-apa lagi."

"Tapi gue belum selesai, Dre." Natra kembali memegangi salah satu lengannya, setengah memaksanya berbalik menghadap Natra. Drea enggan menatap kedua mata penuh harap Natra yang terarah padanya. "Sebelum lo tidur, ingat kata-kata gue ini. Gue nggak akan berhenti ngeliat lo sebagai perempuan yang paling gue cintai, Dre. Sekalipun gue nggak dapat balasan. Jika lo nggak bisa melihat gue sebagai seorang suami, paling nggak, lo bisa liat lagi buku nikah kita. Nama gue dan lo ada di situ. Sebagai suami isteri."

Natra kini melepaskannya dan berbalik arah menuju sofa.

Nat, kenapa lo harus mencintai gue saat gue mati-matian nolak lo masuk ke dalam hati gue? Kenapa, Nat? Kenapa?

***

"Tidur lo nyenyak semalam?" tanya Natra saat Drea masuk ke pantri sambil menggelung rambut. Natra sudah ada di sana sejak setengah jam lalu, dan kini ia sedang menyiapkan sandwich untuk sarapan mereka.

Semalam ia tidak bisa tidur. Selain menyadari bahwa ia sudah terlalu banyak bicara, dan jika dipikir-pikirnya lagi terlalu penuh gombalan hingga ia masih cukup malu bertemu Drea pagi itu tanpa terngiang-ngiang kalimat konyol yang ia ucapkan sebelum melepas Drea masuk ke kamar. Sampai ia menemukan ide untuk membuatkan mereka sarapan. Jika Drea tidak menyiapkan sarapan untuknya, Natra bisa menyiapkannya untuk mereka berdua.

"Lumayan," gumam Drea. Diambilnya gelas yang diisi dengan air hangat dari dispenser. Drea meliriknya sekilas sebelum kembali memandangi dinding sambil menghabiskan air hangat di gelas.

"Gue bikin sandwich buat sarapan," Natra memberi keterangan, meski ia tahu Drea tidak buta untuk menyimpulkan jenis sarapan yang ia sajikan dari bahan-bahan yang ada di atas meja.

"Kerajinan," gumam Drea lagi. Ia menyimpan gelas bekas di bak cuci piring. "Gue bisa makan oatmeal."

"Kan bisa lo bungkus buat bekal." Natra tersenyum. Drea tidak akan bisa berpikir jika ia akan menyerah begitu cepat.

"Terserah lo deh kalo gitu." Drea meninggalkan pantri tanpa melihatnya lagi.

Natra menghela napas dan membuangnya kuat-kuat.

Ia merasa sedikit terabaikan.

***

Drea mengerutkan kening saat Natra meletakkan kotak Tupperware ungu di atas meja saat ia tengah makan oatmeal bercampur potongan stroberi dan blueberry.

"Buat bekal," Natra lalu meletakkan lagi sepiring sandwich. Ada dua potong sandwich yang sudah siap disantap. "Kalo yang ini buat gue. Lo boleh ambil yang satunya lagi."

Drea masih asyik memakan potongan stroberi. Natra yang ia lihat saat ini jadi lebih perhatian dari biasanya.

"Mobil lo belum selesai diperbaiki. Gue antar lo ke kantor ya?"

"Lo sengaja molorin servisnya?" tuduh Drea.

Natra melongo sejenak, tapi kemudian tersenyum penuh arti. "Kan biar bisa antar jemput lo terus."

"Gue mau mobil gue secepatnya. Lo ada-ada aja deh." Drea benar-benar merasa Natra ini jadi aneh.

"Enakan gue anter jemputlah, biar lo nggak capek nyetir."

Drea memberikan cibiran yang dibalas Natra dengan senyum kemenangan.

***

Natra melambaikan tangan dari dalam mobil yang dibalas Drea seadanya karena bapak sekuriti di pos piket terus memerhatikannya sejak turun dari mobil. Ada dorongan alam bawah sadarnya yang menyuruhnya balas melambaikan tangan. Pagi itu saldo kebaikan Natra semakin gemuk, dengan beberapa hal yang Natra lakukan untuknya. Menyiapkan bekal, mengajaknya bercanda saat sarapan, dan mengantar ke kantor.

Sesampainya di ruang kerja, Drea mengeluarkan isi tas ; ponsel dan kotak bekal kecil yang muat dalam tas oversize-nya.

Ia tersenyum tipis saat membuka kotak Tupperware itu. Ada secarik kertas bertuliskan catatan cakar ayam Natra.

Dimakan ya, Dre? Jgn dikasih kucing 

Ingatannya mau tidak mau kembali memutar kenangan ketika Mahesa masih hidup. Beberapa bulan sebelum kepergian Mahesa, calon suaminya itu nyaris setiap hari membuatkan bekal untuknya. Drea yang memang malas jika harus membawa bekal, mempertanyakan hal tersebut kepada Mahesa.

"Apaan sih, Yang, aku dibekelin gini?"

"Biar maag kamu nggak kambuh lagi. Kamu kan malas banget sarapan?"

"Tapi kan jadi ngerepotin tante Naira?"

"Bukan. Ini aku buat sendiri kok. Biar aku tenang bawa gih."

"Tenang gimana?"

"Biar aku nggak kepikiran soal maag kamu. Mulai hari ini kamu harus bawa bekal buatan aku, oke?"

"Tapi ini beneran kamu yang bikin? Bentonya cantik gini."

"Wah, jahat pertanyaannya. Iya, aku yang bikin."

Drea menghalau airmatanya yang nyaris saja keluar. Ia mengipas-ngipas wajah dan mengembuskan napas kuat-kuat. Tidak hanya Mahesa yang selalu mengkhawatirkan perihal kesehatannya. Kini ada Natra yang mengambil alih peran tersebut. Meski ia merasa tetap saja rasanya tidak akan pernah sama.

***

Natra menyalakan lampu flatnya. Ia menyempatkan diri memeriksa kondisi flat secara keseluruhan. Drea mengatakan ingin segera pindah ke flat, untuk mengurangi jarak perjalanan menuju kantornya. Drea bertanya apakah minggu ini mereka bisa pindah ke sana. Natra mengiyakan. Jadi ia datang untuk membenahi flat tersebut sebelum ia dan Drea pindah ke sana.

Bukan pindah secara permanen. Karena setiap weekend, mereka akan kembali ke rumah mereka atau menginap di rumah orangtua mereka. Apartemen ini hanya diperlukan untuk memudahkan mobilitas Drea. Sebagai suami yang baik, ia tentunya harus mengakomodir keinginan Drea. Isterinya.

Natra melihat-lihat kondisi pantri dan menemukan tumpukan mangkuk dan piring. Ia lupa mencucinya sebelum meninggalkan apartemen. Lalu di tempat sampah juga mengeluarkan bau kurang sedap. Ia baru ingat jika ia juga lupa membuang wadah bekas makanan ; kung pao chicken, pizza, dan styrofoam bekas mi instant cup. Belum lagi isi kulkas yang super berantakan. Drea bisa gila berada di sana.

Saat sedang beres-beres, ponsel di kantungnya bergetar. Ia masih dalam posisi duduk sambil meng-unlock ponselnya.

Baby, aku udh di depan nih.

Natra membalas secepat yang ia bisa.

Gue lg di bengkel

Boong. Aku tau kamu di dlm. Aku liat mobil kamu. I've missed you.

Natra mendesah kesal.

 Mau ngapain lagi tuh cewek?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro