34

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Yah, Kenapa Ayah memberi tatapan seperti itu kepada Vera?" tanya Rehan saat dia tepat berada di belakang ayahnya.

Ayahnya terdiam tanpa mampu menjawab dan berani membalikkan tubuhnya.

"Ayah tahu? Vera dari keluarga yang berantakan, Yah. Ibu dan ayahnya bercerai karena perselingkuhan. Dia cuman punya aku sebagai pegangannya sekarang. Dia memimpikan untuk memiliki keluarga utuh. Tapi ... ." Rehan menghentikan ucapannya karena tiba-tiba saja dirinya terbawa suasana. Pria itu bahkan sekarang tengah terisak. "Tapi ... Ayah malah enggak mau menerima dia," lanjutnya dengan sekuat tenaga.

Rehan sangat jarang menangis, seperti sekarang sepertinya hatinya terluka karena sikap yang diberikan ayahnya.

Tak lama kemudian, Ibu Rehan datang. Wanita paruh bayah itu melangkah menuju sang suami.

"Yah, sampai kapan kamu begini. Rehan sudah menemukan wanita pilihannya, kita harus bisa menerima," bela sang ibu sembari mengusap lengan suaminya.

Sang suami masih tetap diam tanpa tau harus menjawab apa. Di dalam pikirannya kini, ada rasa bersalah yang amat mendalam.

"Yah ... ."

"Terserah, terserah pada keinginanmu," potong Ayah Rehan pada ucapan sang putra.

"Yah, Vera tidak mau menikah denganku jika Ayah tidak bisa menerima dia," jelas Rehan.

Iya, Vera ingin Ayah Rehan menerimanya tanpa paksaan sehingga nantinya pernikahan mereka bisa berjalan dengan lancar.

Ayah Rehan membalikkan tubuhnya, menatap ke arah putranya yang kini berdiri dengan wajah sedih.

Dia melangkah dengan pelan menuju putranya, tangannya kemudian terangkat dan mengusap bahu putranya itu.

"Ayah restui pernikahan kalian," ujar pria paruh bayah itu dengan pelan.

Wajahnya kini tidak segarang sebelumnya. Namun, pria itu mengulas senyuman tipis yang jarang dia tampilkan.

"Beneran, Yah?" tanya Rehan memastikan, wajah pria itu langsung bersemangat.

Ayah Rehan mengangguk pelan, "Iya, Ayah restui. Semoga pernikahan kalian berjalan lancar ya."

Semua orang di dalam rumah ikut bahagia dengan jawaban Ayah Rehan, begitupula dengan Vera dan Fani yang tengah menguping.

"Syukurlah," ujar Fani dengan gembira.

Di sisinya kini, Vera tidak dapat menahan senyumnya setelah mendengar ucapan calon ayah mertuanya.

"Selamat ya, Mbak," ucap Fani pada Vera.

Vera mengangguk pelan sembari mengulas senyum bahagianya, "Iya, Makasih."

Rehan berbalik ingin menuju ruang tamu. Namun, nyatanya Vera sudah berada tepat di belakangnya.

Tanpa berpikir panjang, pria itu langsung memeluk hangat pacarnya.

"Mbak, kita akan menikah!" serunya dengan semangat.

***

Tanpa mereka sangka, ada banyak hal yang perlu dilakukan untuk persiapan pernikahan. Hal itu membuat mereka sering kali bertengkar seperti sekarang.

"Saya mau warnanya silver, Mbak," ujar Rehan dengan lantang.

Kini mereka tengah bertengkar tentang warna pakaian pernikahan yang akan mereka gunakan nanti.

"Tidak, saya maunya warna putih, Re," jelas Vera, tak mau mengalah.

Mereka kini tengah berada di rumah Rani dan pertengkaran mereka membuat sang pemilik rumah ikut bingung.

"Bagaimana kalau keduanya saja? Putih dan silver," tawar Rani, jujur dia sudah tidak sanggup mendengar pertengkaran pasangan tersebut.

Vera dan Rehan terdiam sesaat, "Deal," ucap mereka berdua bersamaan.

***

Ke empat orang itu kini tengah mendatangi gedung yang akan Vera dan Rehan gunakan dalam pernikahan mereka. Pernikahan akan dilakukan dalam satu bulan lagi.

Gedung yang sangat luas itu berhasil memanjakan mata keempat orang tersebut. Selain karena luas, gedung tersebut juga sudah cukup indah walau belum ada dekorasi apapun dan hal yang paling menarik bagi mereka adalah langit-langit gedung tersebut yang transparan sehingga mereka dapat melihat langit cerah di luar sana.

"Bagus ya," puji Rani dengan pelan.

Di sisinya, Sam kemudian menatap wanitanya itu dengan tatapan mendalam.

"Kamu suka?" tanya Sam yang langsung dibalas anggukan oleh Rani.

"Bagaimana kalau kita menikah di sini juga?" tawar Sam yang langsung membuat Rani menjauh darinya.

"Menikah?"

"Iya."

"Tapi, kita bukan pasangan? Kita bahkan belum pacaran," sanggah Rani dengan cepat.

Iya, mereka berdua sebenarnya belum memiliki status yang jelas.

"Ya sudah, yuk kita pacaran," ajak Sam dengan enteng.

Rani tertawa kecil saat pria itu mengajaknya berpacaran. Namun, Sam terlihat serius dalam ucapannya. Dia kini tengah menatap dalam ke arah Rani dan hal itu cukup membuatnya gugup.

"Kamu serius?" tanya Rani memastikan.

"Memangnya aku terlihat bercanda?"

Rani terdiam sembari memikirkan hal yang perlu dia ucapkan.

"Tapi, aku janda."

"Aku tidak masalah, toh selama ini aku selalu bersamamu bahkan Lea juga sudah dekat denganku."

Iya, Sam sudah sangat dekat dengan Lea, putri Rani. Mereka sering kali bersama, San juga sering mengajak Lea bermain dan juga menemani putri cantik itu belajar.

"Bagaimana? Kalau tidak mau pacaran, kita nikah saja," tawar Sam yang berhasil membuat Rani membelalakkan matanya.

"Menikah? Tidak, jangan dulu," tolak Rani dengan cepat, kemudian wajahnya sedikit memerah saat mau melanjutkan ucapannya. "Oke, aku mau kok pacaran sama kamu."

Entah kenapa, rasanya seperti kembali ke masa-masa remaja dulu. Jatuh cinta kembali, rasanya memang begitu menakjubkan.

"Hei, kenapa kalian masih di sana!" seru Vera dengan cukup keras.

Saat ini, Sam dan Rani tertinggal cukup jauh dari Vera dan Rehan karena sebelumnya mereka menghentikan langkahnya saat berbincang.

"Iya, sebentar," balas Rani dengan suara tak kalah keras.

Kini, dia sudah berani untuk melingkarkan tangannya pada lengan Sam. Walau sedikit malu. Namun, entah kenapa wanita itu mau melakukannya.

Keduanya berjalan cepat menuju sepasang calon suami istri itu.

"Kalian bicara apaan sih di sana?" tanya Vera dengan penuh penasaran. Namun, pertanyaannya itu tidak dijawab oleh keduanya.

Mereka sekarang ini malah tengah saling melirik sembari tersenyum kecil bahkan pipi Rani kini tengah memerah karena malu.

***

Setelah melihat gedung, ke empat orang tersebut beralih untuk melakukan rapat mengenai rencana pernikahan Rehan dan Vera disebuah cafe yang jaraknya tidak terlalu jauh dari gedung pernikahan.

Iya, Sam dan Rani masih ikut bersama mereka. Hitung-hitung sekalian belajar untuk pernikahan mereka nanti.

Ke empat orang tersebut memilih meja yang cukup besar karena nantinya akan ada pegawai dari wedding organizer yang akan bergabung. Entah ada berapa orang yang datang nanti.

"Silakan, Mas, Mbak. Mau pesan apa?" tanya pegawai cafe tersebut. Wanita muda itu kemudian bersiap menuliskan pesanan dari ke empat orang tersebut.

"Saya mau Matcha Latte, Mbak," ucap Rani setelah melihat sekilas buku menu yang dimiliki cafe tersebut.

"Saya Strawberry Milkshake deh, Mbak," ucap Vera dengan semangat.

"Saya Americano, Mbak."

"Saya juga," potong Rehan dengan cepat. Pria itu bingung ingin memesan apa sehingga dia menyamakan pesanannya dengan Sam.

Tidak, mereka sudah tidak saling bermusuhan bahkan ke duanya sudah sangat akrab sekarang. Mereka juga sering asik berbincang tanpa mengajak pasangan mereka. Hanya mereka berdua.

Tak lama kemudian, dua orang berjalan mendekat ke arah meja mereka. Seorang wanita muda dan juga pria yang mungkin memiliki umur yang sama dengan wanita di sampingnya.

"Maaf ya, Mas, Mbak. Jadi nunggu lama, tadi kami kena macet di jalan," jelas wanita muda tersebut.

"Iya, enggak papa kok. Silakan duduk," tawar Vera dengan ramah.

Keduanya pun duduk tepat dihadapan Vera dan juga Rehan.

"Oh iya, Perkenalkan, Mbak, Mas. Saya Manda dan pria di samping saya adalah Alvin. Kami adalah perwakilan dari Wedding Organizer yang, Mas dan Mbak hubungi," jelas wanita bernama Manda itu.

"Iya, kenalin juga saya Vera dan ini calon suami saya Rehan," ucap Vera memperkenalkan dirinya dan juga calon suaminya.

"Baik, Mas, Mbak. Kita mulai saja ya pembahasannya, ini kami ada membawa beberapa katalog desain pernikahan yang sudah pernah kami buat."

Manda menyodorkan dua buah buku yang cukup tebal kepada Vera dan Rehan. Keduanya kemudian membuka buku tersebut.

"Hmm, sebelumnya pernah buat konsep pernikahan dengan penuh bunga nggak, Mbak?" tanya Vera tanpa melihat ke arah Manda. Wanita itu masih sibuk membuka setiap lembar buku yang diberikan padanya.

"Pernah, Mbak," jawab Manda dengan ramah.

Tangan Vera pun berhenti membuka buku tersebut dan dia kemudian fokus menatap wanita di hadapannya.

"Saya mau itu," jawab Vera dengan enteng.

"Boleh, Mbak."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro