Bab 25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tanpa berpikir panjang, Rehan segera memberitahukan pacarnya mengenai hal itu. Sebenarnya pria itu tidak mau menjelekkan atasannya. Namun, semuanya terasa ganjal dan pacarnya harus tahu itu.

"Halo, Mbak," ucap Rehan sesaat setelah panggilan teleponnya diangkat oleh Vera.

"Halo, kenapa, Re?" tanya Vera dengan nada pelan. Pacarnya tersebut sekarang tengah disibukkan dengan beberapa berkas di hadapannya.

"Mbak, sibuk nggak? Saya mau cerita," ucap Rehan dengan nada serius. Vera pun memutuskan untuk menunda pekerjaannya dan memfokuskan dirinya pada pembicaraannya dengan pacarnya.

"Ada apa? Kayanya serius?"

Rehan mengangguk pelan, padahal pria itu tidak di hadapan Vera saat ini. "Hmm, begini Mbak. Beberapa hari ini saya liat sesuatu yang aneh."

"Aneh, apa itu?"

"Mbak tau nggak, pak Heldi sudah nikah atau belum?"

Wanita itu terdiam sembari berpikir sejenak, "kayanya belum sih. Kenapa?" jawab Vera dengan ragu.

"Beberapa hari ini, saya lihat beliau jalan bersama karyawan di sini."

"Cuman jalan doang. Apa salahnya?"

"Masalahnya, pak Heldi selalu merangkul mesra mereka."

"Mereka?"

"Iya, tidak hanya satu dua orang, tapi terhitung sampai hari ini ada lima orang. Saya sudah memperhatikan beliau selama lima hari ini, Mbak. Setiap hari pasti berbeda."

***

Setelah perbincangan dengan Rehan ditelepon, Vera dan Rani memutuskan untuk berdiskusi mengenai hal tersebut. Mereka pergi ke cafe dekat kantor untuk membahas hal tersebut sekaligus untuk makan siang.

"Aku yakin kok dia sudah nikah," ujar Rani dengan pasti. Sebelumnya Vera bertanya tentang status Heldi pada wanita itu karena dia tidak yakin akan ingatannya.

Pria itu sudah sangat lama bekerja di hotel milik Vera. Namun, wanita itu tidak terlalu tahu detail mengenai kehidupan pribadi Heldi.

"Kalau sudah menikah, kenapa dia mesra-mesraan sama karyawan dihotel."

"Coba deh, kamu datang ke sana untuk memastikan sendiri."

Vera terdiam sembari menatap tajam ke wajah tak berdosa Rani.

"Kamu enggak percaya sama Rehan?" tanya Vera dengan alis terangkat.

"Bukan begitu, tapi memang lebih baik kamu liat sendiri bagaimana kondisinya. Mungkin semua itu ada hubungannya dengan masalah kemarin, tentang penggunaan kamar hotel secara ilegal," jelas Rani dengan santai sembari menyeruput minuman yang sebelumnya dia pesan.

"Iya deh, besok aku ke sana"

***

Tanpa kabar, Vera datang ke hotel miliknya. Hal itu tentu membuat semua karyawan yang ada terkejut. Wanita itu berjalan dengan anggun saat masuk ke dalam hotel. Dia ditemani oleh dua orang karyawannya, Raka dan juga Vela.

Mereka adalah karyawan yang cukup dipercaya oleh Vera selain Rani.

Rani sengaja tidak ikut ke hotel tersebut, karena dia akan menemani anaknya terapi rutin.

Raka dan Vela juga adalah asisten Vera. Namun, mereka baru bekerja dengan wanita itu karena Vera membutuhkan mereka. Wanita itu sekarang memiliki lebih banyak pekerjaan dan Rani tidak mungkin bisa mengurus semua itu apalagi anaknya tengah sakit.

"Silakan duduk, Bu," ucap seorang karyawan bername tag Wiwit.

'Oh, ini yang namanya Wiwit,' ujar Vera di dalam hati. Wanita itu segera duduk di kursi yang telah disediakan. Dia masih berada di lobi hotel karena dia hanya ingin bertamu di hotel tersebut.

Tak lama kemudian Heldi datang dengan wajah penuh kebahagiaan, pria itu langsung menyapa Vera dengan semangat.

"Wah, Ibu Vera. Apa kabar, Bu?"

"Baik," jawab Vera dengan singkat.

Mereka berbincang cukup lama mengenai hotel tersebut. Namun, di tengah pembicaraan mereka Rehan tiba-tiba berlalu dihadapannya dan melemparkan senyuman manisnya pada pacarnya tersebut.

Hal itu tentu membuat Vera sedikit bersemu, dia tak menyangka bahwa pacarnya itu terlihat sangat menarik saat bekerja.

Memang, wanita itu sudah bilang pada Rehan akan datang ke hotel. Namun, dia tidak memberitahukan waktunya.

***

Seakan kehabisan pembicaraan Heldi menawarkan diri untuk mengajak Vera mengelilingi hotel sekaligus melihat beberapa tempat yang baru saja dibangun.

"Bagaimana kalau kita melihat-lihat sekitar, Bu. Oh iya, untuk tempat spa sudah jadi Bu. Mari kita ke sana."

Heldi membawa Vera ke arah tempat Spa, tempat itu akhirnya dibangun juga setelah banyak pertimbangan.

Tempat yang luas itu dapat menampung lebih dari 10 tamu eksklusif dengan ruangan yang berbeda-beda. Hal itu tentu membuat fasilitas hotel miliknya lebih baik lagi.

"Bagaimana, Bu. Bagus kan ruangannya?" tanya Heldi yang langsung dibalas anggukan pelan oleh Vera.

Wanita itu kini tengah memperhatikan semua sudut diruangan tersebut sembari melipat tangannya di depan dada.

"Mau ke mana lagi, Bu?"

"Tidak, sudah cukup buat lihat-lihatnya. Apakah saya bisa melihat data tamu selama seminggu ini?" tanya Vera yang langsung membuat Heldi terlihat bingung.

"Ada apa ya, Bu? Apa laporan kami sebelumnya ada masalah?"

Vera mengeleng pelan, "Tidak. Hanya saja, karena saya sedang di sini. Saya mau lihat. Apa tidak boleh?" tanya Vera sembari mengangkat salah satu alisnya.

"Boleh kok, Bu. Mari kita ke ruangan saya."

Ruangan pria itu berada dilantai dua. Lantai yang sama dengan tempat Spa sebelumnya.

***

Sesampai di ruangan Heldi, Mereka segera duduk di sofa yang ada. Tak lama kemudian salah satu karyawan hotel masuk ke ruangan itu dan memberi sebuah map berisi berkas mingguan hotel.

"Ini, Pak," ucap karyawan wanita itu sembari meletakkan map yang sebelumnya dia bawa di meja.

"Terima kasih," ucap Vera pada karyawan tersebut. Wanita itu langsung mengambil berkas tersebut sembari langsung membaca beberapa lembar di dalamnya.

"Karena ini masih hari sabtu, jadinya berkas tersebut belum direkap, Bu," jelas Heldi pada Vera. Pria itu terlihat sangat gugup saat melihat Vera yang tengah fokus pada berkas di tangannya.

"Nih, coba analisis." Vera memberi berkas tersebut pada Raka yang tengah duduk di samping kanannya.

Pria itu memang baru saja bekerja dengannya. Namun, dia cukup andal dalam hal mengurus berkas. Hal itulah yang membuat Vera yakin mempekerjakan Raka sebagai asistennya.

"Saya lihat beberapa bulan ini ada beberapa kamar yang selalu kosong."

Vera meletakkan tangannya dipaha, wanita itu memajukan duduknya untuk sedikit mendekat ke arah Heldi yang tengah duduk dihadapannya.

"Kenapa kamar itu kosong?" tanya Vera sembari melempar wajah seriusnya pada Heldi.

Heldi terlihat meneguk liurnya dengan pelan, hal itu tentu membuat Vera mengulas senyum tipis diwajahnya.

"Masalah kamar itu, karena memang tamu enggak suka, Bu."

"Nggak suka? Memangnya kenapa dengan kamar itu? Apa ada masalah?"

"Tidak, saya pun tidak paham."

"Baik, mari kita cek kamarnya."

Vera tiba-tiba berdiri dan hal itu membuat kaget Heldi. Pria itu langsung ikut berdiri dan menahan kepergian Vera.

"Mau ke mana, Bu?"

"Ke kamar itu, biar kita cek bersama."

"Jangan, Bu," tahan Heldi yang langsung membuat Vera memberikan tatapan tajamnya.

"Kenapa kamu larang saya?"

"Kamar itu... Lagi rusak, Bu. Masih ada perbaikan."

"Perbaikan? Katamu sebelumnya kamar itu enggak papa. Cuman tamu tidak mau saja memilih kamar itu."

***

Siapa yang berani menahan kepergian Vera, tentu tidak ada. Wanita itu berhasil sampai di depan kamar yang dia maksud.

"Buka kamar ini," pinta Vera pada Heldi. Pria itu yang memegang kunci kamar itu, padahal seharusnya kunci tersebut berada di meja resepsionis jika tidak ada yang memesan.

Dengan pelan, pria itu membuka kamar tersebut.

Clek.

Kamar itu terbuka dengan lebar dan betapa terkejutnya Vera saat melihat kamar itu. Kamar hotel yang telah disulap menjadi kamar pribadi oleh Heldi.

"Apa-apaan ini!" pekik Vera dengan kesal.

Heldi hanya dapat menunduk tanpa berani mengeluarkan sepatah kata pun.

Dengan kasar, Vera masuk ke dalam kamar itu. Suara heels yang dia gunakan mendengung di seluruh sudut kamar itu.

Ada rasa kesal di dalam hatinya saat melihat banyak barang di dalam kamar itu, bahkan lemari kamar itu dipenuhi dengan baju. Meja di sisi kasur pun tak luput dari barang milik Heldi.

Pria itu meletakkan vas foto disana. Fotonya dengan keluarganga.

"Mengapa semua barangmu ada di sini?" tanya Vera dengan sedikit berteriak.

Heldi masih belum berani mengeluarkan suaranya dan hal itu berhasil membuat Vera kesal.

"Kenapa tidak menjawab?"

"Maaf, Bu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro