Bab 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Loh. Kok diam, Ver?" Ibu Ratih kembali bertanya pada Vera. Wanita itu jelas tidak mungkin mengatakan bahwa Rehan adalah pacarnya. Namun, apa yang harus wanita itu katakan sekarang?.

Rehan mendekat kearah Vera dan merangkul wanita tersebut. Tanpa takut pria itu mengatakan hal yang sebenarnya. "Mba Vera pacar saya, Bu."

Jawaban spontan Rehan berhasil membuat Ibu Ratih juga Vera terkejut. Keduanya sampai terdiam tanpa tau harus bereaksi seperti apa.

"Ibu enggak percaya?" Rehan mengulas senyumnya sebelum melanjutkan ucapan yang sengaja dia potong. "Mba Vera beneran pacar saya, Bu. Ya walaupun kita baru pacaran. Iya kan, Mba?"

Rehan menatap hangat kearah Vera, pria itu seakan meminta respon pada Vera yang masih tak percaya akan situasi saat ini.

"Iya, Bu. Kami pacaran." Dengan sekuat tenaga Vera mengucapkan hal tersebut. Tidak, Vera tidak membenci statusnya. Namun, usia menjadi faktor utama Vera tidak mau hubungannya diketahui orang lain.

Dia takut, Rehan malu. Namun ternyata, malah Vera yang malu.

"Ahh, seperti itu. Baiklah, semoga kalian langeng ya." Ucapan Ibu Ratih seakan terasa aneh ditelinga Vera dan Rehan. Entah wanita paruh bayah itu gugup atau bagaimana.

***

Tidak ada percakapan setelah kejadian tersebut. Vera dan juga Rehan masih terdiam sembari berjalan menuju mobil yang mereka parkiran tak jauh dari ruangan dosen tersebut. Walau langkah kaki Vera terasa berat. Namun, wanita itu tetap harus berjalan hingga sampai di mobil mereka.

Rehan sedikit mencuri pandangannya pada Vera yang masih terdiam, seakan jiwanya telah dibawa lari entah kemana.

Mereka sudah berada didalam mobil dan langsung menuju ke kantor Vera.

"Hmm, Mba enggak kenapa-kenapa kan?" tanya Rehan membuka pembicaraan. Pria itu jelas tidak tenang jika harus berada disituasi seperti ini.

Vera menanggapi pertanyaan Rehan dengan gelengan. Namun, wanita itu masih enggan untuk melihat kearah Rehan.

Citt.

Mobil itu berhenti tiba-tiba disebuah jalanan yang tak jauh dari kantor Vera. Vera menatap bingung kearah Rehan, seakan meminta penjelasan.

"Mba kenapa sih? Kalau saya ada salah ngomong dong." Rehan menahan emosinya agar tidak menyakiti hati Vera.

"Aku nggak papa kok, Re," lirih Vera.

"Kalau enggak papa, kenapa diemin aku gini sih?" Tidak ada jawaban dari mulut Vera, sebenarnya Vera bingung harus menjawab apa. "Tentang masalah tadi? Kita kan memang pacaran, Mba. Jadi apa salahnya?"

"Enggak salah, Re. Kamu nggak salah. Aku yang salah-." Vera menahan ucapannya dan menatap dalam mata Rehan. "Aku masih belum siap sama status ini," bisik Vera.

Tanpa balasan, Rehan langsung memeluk Vera. Pelukan hangat yang terasa amat menyusahkan karena mereka tengah berada didalam mobil.

Lama pelukan itu berlangsung, ada sedikit sesak didalam dada Vera yang akhirnya membuat tangis wanita itu turun.

"Hiks, hiks. Maafin aku ya, Re."

"Enggak, Mba. Saya yang minta maaf."

***

Selang sepuluh menit berlalu, Vera dan Rehan telah sampai didepan kantor Vera. Sebelum turun, Vera kembali menatap wajah Rehan yang tengah melempar senyum terbaiknya pada wanita tersebut.

"Nanti saya jemput ya, Mba."

"Iya, kamu hati-hati dijalan ya."

Vera keluar dari mobilnya dan memberi lambaian tangan pada Rehan. Pria itu membalasnya kemudian langsung menjalankan mobil dan pergi dari pandangan Vera.

Sekarang sudah pukul sepuluh lewat empat puluh menit, Vera sudah terlambat dari waktu yang sudah dia janjikan. Namun, siapa yang bisa memarahi Vera. Toh, perusahaan itu adalah milik Vera sendiri.

Vera melangkah dengan tegas, masuk kedalam gedung perusahaan miliknya. Semua mata terpaku pada dirinya yang baru saja masuk. Entah apa yang karyawannya pikirkan sekarang. Wanita tersebut tidak peduli.

Entah kenapa, setiap sesuatu yang berhubungan dengan perusahaan. Vera akan lebih tegas dan juga dingin menghadapinya. Tidak dengan kehidupan pribadinya, dia tampak tegar diluar. Namun, tidak untuk hatinya.

"Loh, Ver. Baru datang," tanya Rani saat bertemu dengan Vera. Wanita itu juga mau memasukilift, sama sepertinya.

"Iya," jawab Vera dengan nada pelan.

Rani menatap kearah jam tangan yang dia gunakan dan beralih ke wajah Vera. "Ini sudah hampir jam sebelas loh."

Vera tak menjawab, dia malas menjelaskan apapun sekarang. Harusnya Rani bersyukur, sahabatnya itu masih tetap masuk kantor walaupun jelas dia telat.

"Dari mana saja kamu?" tanya Rani dengan wajah penuh penasaran. Untungnya lift tersebut hanya ada mereka berdua, sehingga Rani berani untuk berbicara santai pada sahabatnya tersebut.

Lagi-lagi Vera tidak menjawab pertanyaan Rani. Hal itu tentu membuat Rani kesal."Hey, aku bertanya padamu. Kamu-."

Lift tersebut tiba-tiba terbuka dan hal itu berhasil membuat Rani menahan ucapannya.

Beberapa karyawan lain masuk kedalam lift dan keheningan pun mulai terasa.

"Aku butuh penjelasanmu nanti," bisik Rani pada Vera. Wanita itu tentu penasaran dengan sahabatnya. Tidak biasanya Vera telat masuk kantor, kalau pun wanita itu telat. Pasti karena suatu alasan dan Rani harus tau itu.

***

Sampai dilantai sepuluh, Vera terlebih dahulu keluar dari lift dan Rani mengikutinya dari belakang. Kegiatan itu sama halnya dengan keseharian mereka, karena Rani adalah sekretaris Vera. Maka, wanita itu akan mengikuti Vera dari belakang setiap waktu.

Clek.

Pintu ruang kerja Vera terbuka, wanita itu tidak langsung duduk di kursi kerjanya melainkan duduk di sofa depan meja kerjanya.

Rani mengikuti wanita itu duduk tepat disampingnya.

"Kamu nggak papa?" tanya Rani dengan nada pelan. Jujur, wanita itu takut dengan suasana hati Vera yang sepertinya tidak cukup baik.

Vera membuka matanya dengan pelan. Iya, sebelumnya wanita itu menutup matanya dengan lekat karena pusing yang dia rasakan setelah berdebat dengan Rehan.

"Aku nggak papa kok, Ran," jawab Vera, wanita itu jelas tidak mau Rani mengkhawatirkannya, cukup dia dan Rehan yang tau masalah sebenarnya. Walaupun, sampai sekarang Vera belum pernah bisa menutupi apapun dari Rani.

"Beneran?" tanya Rani lagi, sahabatnya tersebut jelas tidak percaya akan jawaban Vera sehingga akhirnya dia kembali memastikan jawaban Vera.

Vera menegakkan tubuhnya dan menatap dalam kearah Rani. Tatapannya berubah sendu saat akan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

"Aku bingung, Ran," lirih Vera. Mata wanita itu sudah berkaca-kaca, tangisnya tentu saja sudah siap untuk turun dan membasahi pipi tirusnya.

"Bingung kenapa?"

"Aku bingung sama situasi saat ini."

"Maksud kamu?"

"Apa aku pantas buat jadi pacar Rehan?" Mendengar ucapan Vera, Rani pun paham permasalahan apa yang tengah Vera hadapi. Namun, Rani tetap bertanya pada Vera tentang kebenaran yang terjadi.

"Memangnya kenapa, Ver?"

"Rehan terlalu baik untukku, Ran."

Kerutan di dahi Rani jelas menunjukan kebingungan pada ucapan sahabatnya itu.

Pantas? Terlalu baik. Apa maksud semua ini?.

"Tadi, aku bertemu dosenku saat menemani Rehan ke kampusnya dan Rehan mengatakan bahwa dia adalah pacarku-"

"Terus, apa masalahnya?"

"Kamu tau kan, umurku dengan Rehan sangat jauh dan aku jelas tau bagaimana pikiran dosenku itu saat mendengar ucapan Rehan."

Rani menarik tubuh Vera untuk masuk kedalam pelukannya. "Hey, kamu sama seperti dulu ya. Masih saja perduli sama omongan orang. Dalam hidup kamu, kamu yang menjalani dan orang lain hanya bisa melihat dan mengomentari. Semua ucapan mereka, tidak perlu kamu dengarkan, Ver."

"Tapi, tetap saja, Ran-."

"Kamu jelas tau apa maksud ucapan aku, Ver. Kamu ingat, dulu kamu mendengar ucapan orang lain bahwa hubunganmu dan Sam akan berakhir baik. Kamu dan Sam, sama-sama seorang CEO perusahan dan juga kalian juga tampak serasi. Bahkan kalian berdua sangat tampan dan cantik. Tapi apa yang terjadi? Semua tidak semenarik pandangan orang dari luar, kan."

Rani menggantung ucapannya, wanita itu melepas pelukannya pada Vera dan mengusap bulir air mata di pipi Vera.

"Kamu bertahan dengan Sam pun, karena ucapan orang lain kan? Hasilnya apa? Kamu malah disiksa luar dalam dengan Sam. Please Ver, dengerin kata hati kamu. Jangan peduli dengan omongan orang lain. Kamu yang menjalaninya. Jelas, kamu lebih tau mana yang terbaik untukmu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro