II. Pernikahan Ratih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kalau punya rambut kayak nyikun ini, nggak usah sok-sok'an diurai deh. Iya kalau rapi. Berantakan gini, astaga! Pantes aja kamu jomlo, Nad, Nad."

Nadir memutar bola mata mendengar ocehan teman seperkampungan tengah sibuk menata rambutnya. "Hubungan sama jomlo apa? Heran deh, aku mah."

"Iya ada dong. Mana ada cowo yang mau deketin cewek berantakan gini."

"Ini tadi rambutnya diacak-acak angin, makanya berantakan."

"Diacak-acak angin mulu, belum pernah ngerasain diacak-acak sama cowok, ya? Kasian."

"Di antara ribuan topik yang lebih berbobot, berisi, berfaedah dan kamu pilih bahas soal cowok? Apa nggak bosen?!"

"Enggak lah, aku kan normal, suka cowok. Emangnya kamu?"

Berbicara dengan Anes memang tak pernah ada habisnya. Ia heran, bagaimana bisa temannya itu tidak kehabisan kata untuk membalasnya.

Dari ribuan hari, Nadir bersumpah pada dirinya ingin melewati hari ini kalau bisa. Sayangnya, waktu tak dapat ia lompati.

Meskipun tak suka, Nadir tetap harus menjalaninya. Apalagi, ini adalah hari bersejarah bagi salah satu temannya, Ratih.

Kalau saja pernikahan ini bukan milik Ratih, ia tak akan mau menghadirinya apalagi menjadi bridesmaids.

Ia membenci acara pernikahan. Nadir kecil dan acara pernikahan adalah kenangan buruk baginya.

Pernikahan yang diimpikan Ratih sejak lama akhirnya terjadi juga. Tidak mungkin kalau Nadir tidak ada hari ini.

Ratih, Nadir dan Anes-yang membantunya merapikan rambut-sudah sangat lama berteman. Lebih lagi, ketiganya dari kampung yang sama.

Lulus sekolah, mereka memutuskan untuk merantau ke kota orang. Berharap nasib baik bersama mereka. Siapa sangka di kota orang, Ratih terlebih dahulu mendapat jodoh.

Anes yang paling heboh mendengar kalau Ratih dilamar dan akan segera menikah.

"Coba aja waktu itu aku nggak tolak si Roni. Beuh, pasti yang sekarang nikah itu aku. Bukan Ratih." Anes memasang hiasan di kepala Nadir sambil mengoceh.

Nadir hanya memutar bola mata tak acuh. Lebih ke bosan mendengar ocehan temannya itu. Dari semenjak Ratih dilamar sampai sekarang akhirnya menikah, Anes selalu cerita bahwa dirinya juga pernah didekati oleh Roni-calon suami Ratih.

Tentu saja hanya dirinya yang tahu, kalau Ratih mengetahui soal ini mungkin pertemanan mereka tidak akan sampai sekarang.

Setelah rambutnya rapi, Nadir segera ke kamar mandi di ruangan itu untuk berganti baju yang sudah disediakan.

Tak lama pun ia keluar, Anes melongo melihat dirinya.

Nadir mengernyitkan dahi. "Kenapa, sih?"

Anes menggeleng lalu menghampiri Nadir. "Kamu ngaca, deh."

Nadir sedikit melihat ke belakang saat Anes mendorong bahunya menuju cermin. "Ada apa, sih?"

"Kamu kok cantik banget, Nad? Heran deh, bisa-bisanya cewek secantik ini jomlo."

Nadir mendelik mendengar kalimat terakhir Anes.

"Kurang ajar!"

Mendapat respon seperti itu, Anes malah terpingkal-pingkal.

pro.bi.ty•

"Saya terima nikahnya Ratih Harta Gunawan binti Gunawan dengan maskawin tersebut dibayar tunai!"

Satu tarikan napas dan lantang, Roni berhasil mengucap ijab kabul dengan lancar.

Hari ini, Ratih resmi bersuami.

"Heh! Kamu ngapain nangis di sini?" Anes menepuk bahu Nadir yang sedang duduk di bangku taman.

Taman kecil yang berada di gedung tempat Ratih melangsungkan pernikahan.

Nadir terjengit. Melihat siapa yang menepuk, ia mengipas-ngipaskan kedua telapak tangan di depan mukanya. "Huhu, Neeees." Gadis itu kemudian menjulurkan kedua tangannya ke arah Anes.

Anes mengernyitkan dahi, lalu menyambut tangan Nadir dan merengkuhnya. "Kenapa, sik?"

"Aku campur aduk. Mau nangis tapi bahagia, tapi nangis, tapi nggak sedih, ta-"

"Cukup!" Anes membekap mulut Nadir setelah melepas paksa pelukan temannya itu.

Nadir menggumam tak jelas mencoba menarik tangan Anes yang membekapnya.

Anes mengalah kemudian duduk di samping Nadir. "Udah, deh. Nangisnya nanti lagi aja, Nad. Sayang make up kamu. Kita aja belum foto sama pengantin."

Gadis yang diajak bicara mencebik. "Aku masih nggak nyangka kalau Ratih bakal nikah secepat ini gitu, loh. Kok bisa gitu?"

"Pertanyaanmu aneh." Anes mengangkat sebelah bibirnya.

"Heuuheu, Nes." Nadir memeluk bahu Anes dari samping dan menjatuhkan kepalanya di sana.

"Ish!" Anes memukul lengan Nadir. "Udah, ah, ayo masuk. Ngomong-ngomong grossman-nya ganteng-ganteng, tahu!" Gadis itu terbeliak siap bercerita.

"Ish! Dah, ah aku mau masuk." Buru-buru Nadir meninggalkan gadis itu. Padahal, Anes tadi mengajaknya masuk juga tapi diabaikan.

Tentu saja hal itu membuat Anes gemas. Matanya menyipit memperhatikan punggung Nadir kian menjauh dari pandangannya. Pun ia sedikit mengumpat.

Ada beberapa alasan kenapa Nadir berada di taman. Pertama, karena ia menangis tak ingin dilihat orang lain. Kedua, karena ia sedang menghindari seseorang.

Kedatangan Anes yang berujung membicarakan hal tak penting membuat Nadir muak dan memilih pergi.

Takdir seperti mempermainkan Nadir hari ini. Hal-hal yang ingin ia hindari malah terjadi pada dirinya hari ini dalam satu waktu.

Kalau sudah begitu, ia bisa apa selain menghindar yang nyatanya sia-sia juga.

Ia terus misuh-misuh sepanjang langkah menuju gedung pernikahan Ratih.

Nadir hampir saja terjengkang kalau tidak ada yang menahan tangannya. Bisa-bisanya, sepatu dengan hak tinggi 7cm yang dipakai gadis tersebut licin.

Bahkan, dirinya tak menyadari kalau lantai dekat pintu masuk gedung itu basah gara-gara es krim yang jatuh telah mencair. Pasti ulah anak kecil. Kalau tidak ada yang menahan tubuh bagian belakangnya, sudah dapat dipastikan ia akan jatuh kesakitan.

Di tempat ramai begini, sakit karena jatuh tidak masalah, malunya itu yang akan terus teringat.

Ia bersyukur karena ada yang menyelamatkannya. Namun, juga mengumpat dalam hati mengetahui penolongnya.

"Hai! Kita bertemu lagi di sini. Kebetulan sekali, apakah ini yang dinamakan berjodoh?" Seorang laki-laki yang menolong Nadir juga membantu gadis itu berdiri tegak.

Mendengar kalimat barusan, Nadir menampilkan muka jijik. "Apa, deh nggak jelas." Ia berbalik menghadap penolongnya.

"Saya mau menagih hutang sama kamu." Tembak laki-laki itu, tepat saat Nadir menatapnya.

Sekonyong-konyong, Nadir terbeliak. "Hutang apa?! Aku nggak ngerasa punya hutang sama siapa pun di sini, kecuali Ratih."

"Kamu berjanji akan menyebutkan nama lengkapmu kalau kita bertemu lagi. Janji adalah hutang, kan? Ternyata, Tuhan nggak memberi jeda buat kita ketemu yang kedua kalinya, ya?" Laki-laki itu, Baskara. Sosok yang tidak sengaja ditemui Nadir ketika hendak menuju gedung pernikahan Ratih.

"Bukan aku yang mengatakan itu, tapi kamu sendiri. Dasar, aneh!" Baru saja Nadir hendak pergi. Akan tetapi, tangannya ditahan oleh Baskara.

"Kalau gitu, sebutkan saja nomor teleponmu. Biar nanti, saya bertanya lewat sana."

Gadis itu menghentakkan tangan Baskara, buru-buru pergi menyisakan laki-laki yang menolongnya barusan di dekat pintu masuk gedung.

Karena badannya tinggi besar menghalangi jalan ke luar, beberapa tamu yang lewat menegur Baskara. Barulah laki-laki itu menyingkir.

Senyumnya tak lepas. Pun matanya masih setia memperhatikan kepergian Nadir. Tidak berniat mengejar, karena ia tahu pertemuan itu akan terjadi lagi.

[]

Baskara selalu sok tahu 🐍

Hai! Terima kasih sudah membaca sampai sini /peluk dari jauh/

Bandung,
17 Desember 2020, 17.25 WIB.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro