III. Nadir Tunggilis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bukannya tadi kamu sama Nadir, ya?"

Anes baru saja memasukan sesendok ice cream ke mulutnya. "Nggak, tuh kalau sekarang aku nggak liat. Tadi, sih di taman pas aku samperin. Eh, anaknya malah kabur."

"Kamu apain sampe kabur gitu?"

Anes mendelik mendengar pertanyaan berikutnya. Memang sejak akad tadi, Ratih tidak melihat keberadaan Nadir lagi. Gadis itu tahu betul temannya tidak suka acara pernikahan. Pikirnya, apa Nadir pulang?

Pengantin perempuan itu terus saja celingak-celinguk mencari keberadaan Nadir. Sebelah tangannya ditarik dengan lembut. "Sayang, udah duduk dulu aja. Mungkin nanti Nadir ke sini."

Ratih menuruti permintaan Roni dan duduk di samping kursinya. Meja bulat dengan enam kursi tinggal tersisa satu yang kosong. Mereka sengaja tidak mengisi. Untuk duduk Nadir, katanya.

Siapa yang mengira bahwa salah satu grossman di pernikahan Ratih dan Roni adalah Baskara, laki-laki yang sedang dihindari oleh Nadir sekarang. Baskara tengah satu meja dengan Anes, Ratih dan Roni. Satu grossman lain bernama Hamdan juga adalah teman Roni.

Sebelum sesi akad tadi, Anes sudah memperhatikan salah satu grossman-nya. Netranya selalu tertuju pada Hamdan.

Namun, sangat disayangkan karena laki-laki itu sudah memiliki seorang anak. Tadinya Anes sempat ingin mendekati, tapi urung setelah diberitahu oleh Ratih.

"Nes, kalau suka orang itu lihat-lihat dulu. Jangan asal ganteng aja." Ratih terbahak dengan perkataanya. Ketiga laki-laki yang berada di meja itu ikut terkekeh.

"Mana tahu kalau udah berbuntut." Anes mencebik pura-pura mengalihkan pandangan. "Udah, ah bahas yang lain aja."

Tak berapa lama, gadis dengan gaun gaun a-line selutut tanpa lengan duduk di kursi yang kosong. Tangannya menyimpan cukup kasar piring yang ia bawa ke meja. Tatapan tajamnya tertuju pada Ratih yang berada di sampingnya.

"Datang-datang melotot, ngajak berantem?"

"Bisa-bisanya pelaminan kosong, apa maksudnya?" Nadir, gadis itu menatap sinis pada Ratih seraya menyilangkan tangan di dada.

Ratih nyengir kuda. "Laper, Wa. Jadi makan dulu di sini."

"Wa, wa, wa. Kamu pikir aku uwamu?!" Nadir menjulingkan mata kemudian menyantap hidangan yang ia bawa sendiri tadi.

Tanpa memperhatikan sekitarnya, Nadir makan dengan lahap. Tak acuh akan gincu yang hampir memudar. Ia asik sendiri. Bahkan, tidak mengetahui ada orang yang sedang dirinya hindari.

"Enak banget ya, Bun? Kayak nggak pernah nemuin makanan enak aja." Anes mencibir, sesekali menggigiti sendok es krim.

"Seenggaknya, makanan ini lebih enak dari sedok yang kamu gigit."

Buru-buru Anes menyimpan sendok itu ke gelas es krim. "Bisa-bisanya."

"Anggun dikit, kek. Udah jadi bridesmaids masa makannya gitu. Jaga image kali."

"Jaga lilin baru bener. Takutnya ketahuan."

"Kamu sana jaga lilin!"

"Iya, aku jaga lilin kalem aja. Kamu ini yang ngider."

Percakapan random Anes dan Nadir tak berhenti sampai makanan di piring Nadir habis.

Ratih hanya menggelengkan kepala melihat tingkah dua temannya itu. Tanpa ia sadari, setitik air mata lolos melewati pipinya.

Senyuman terpatri di wajah Ratih. Netranya bergantian menatap Anes dan Nadir. Tak menyangka akan secepat ini dirinya meninggalkan mereka. Meninggalkan dalam artian tidak tinggal bersama lagi.

Tentu saja, setelah ini Ratih akan keluar dari indekos dan tinggal bersama Roni, suaminya.

Selesai menghabiskan santapan, Nadir meletakan sendok dan garpu menyilang di atas piring. Ia menatap Ratih. "Kamu kenapa, kok nangis?" Gadis itu mencari-cari tisu di meja, tidak berhasil. Matanya justru bertubruk dengan netra Baskara yang menatapnya sejak tadi.

"Kamu!" Sontak ia menunjuk seraya berdiri.

Reaksi terkejut pun serentak ditunjukkan Anes dan Ratih.

"Loh, kalian sudah saling kenal?" Tembak Ratih.

Nadir menbeliakan mata kembali duduk. Ia menggeleng-geleng menghadap Ratih. "Enggak. Enggak kok. Aku nggak kenal sama dia."

"Katanya, kalau tiga kali ketemu dengan tidak sengaja artinya berjodoh." Baskara mengeluarkan suaranya.

Anes tersedak mendengar kalimat itu. Hamdan dan Roni justru terkekeh. Tidak dengan Ratih yang terus mengerutkan alisnya.

Nadir menatap tak percaya. Bisa-bisanya laki-laki itu berkata yang tidak-tidak di depan teman-temannya. Ia menetralkan wajahnya dan menyilangkan dada. Dagunya terangkat kemudian menatap Baskara dengan tajam. "Kata siapa itu?"

Dengan tenang Baskara menjawab, "Kata saya, barusan."

Nadir mendesis lalu memalingkan muka dari Baskara.

Tidak ada yang berbicara lagi setelah itu. Keenamnya sibuk masing-masing.

Hamdan dengan ponselnya. Begitu pun Anes.

Nadir mengambil aster yang ada di vas dan mencabuti kelopaknya satu per satu sambil memikirkan sesuatu, entah apa itu. Kedua sikutnya ditaruh di meja.

Roni sibuk sendiri memainkan hiasan di kepala Ratih sedangkan istrinya itu memperhatikan Nadir yang tak melihatnya sama sekali.

Sesekali juga Ratih menatap Baskara yang menjatuhkan pandangan ke arah Nadir.

Sudah hampir malam dan cukup lama Ratih dan Roni meninggalkan pelaminan. Mereka tidak khawatir karena tamu sudah mulai berkurang. Beberapa menit lagi pun acara usai.

Baskara masih setia memperhatikan Nadir. Sesekali ia tersenyum. "Jadi, namamu Nadir?" katanya tiba-tiba.

Bunga yang sedari tadi Nadir mainkan ia remas. Kepalanya yang tadi tertunduk sedikit terangkat. Kepalanya dimiringkan untuk menatap Baskara yang duduknya hanya terhalang kursi Anes.

Nadir hanya menatap tanpa ekpresi, tapi tatapannya terlihat tajam. Tak sedikit pun gadis itu mengeluarkan kata.

Baskara menunggu jawaban Nadir sambil mempertahankan senyumnya. Lama-lama lesung di pipi kanannya terlihat.

Anes melihat Nadir lalu Baskara kemudian membenahi posisi duduk menghadap Baskara. Ia gemas karena Nadir tak kunjung menjawab pertanyaan laki-laki itu.

"Iya, Nadir. Nadir Tunggilis namanya. Kenapa?" Anes mengangkat dagunya menatap Baskara.

Nadir melotot. "Ish, Nes!" Ia mengepalkan tangan dan memukul pelan bahu kiri Anes hingga mengaduh.

Mendengar Anes yang menjawab, Baskara mengalihkan pandangan dari Nadir.

"Nadir Tunggilis? Nama yang unik." Ia mengangguk-angguk. Bibirnya seakan tak lelah menampilkan senyum.

"Udah nggak penasaran lagi, kan Bas?" Hamdan menurunkan ponselnya.

"Nadir jomlo, loh Bas." Roni menyambung.

Ratih mendengkus mendengar kalimat suaminya. Ia melihat ekpresi tak suka dari Nadir.

Ia baru saja akan membuka suara untuk menghentikan topik pembicaraan karena tahu Nadir tidak akan menyukainya. Namun, urung karena Nadir terlebih dahulu angkat bicara.

"Kok meja ini jadi ajang mak comblang, ya? Nadir kembali mencabuti sisa kelopak aster yang tadi dengan kasar.

"Nggak apa-apa. Baskara juga jomlo, tuh." Hamdan yang daritadi diam kembali berbicara.

Merasa terabaikan, Anes mengacungkan tangan. "Aku juga jomlo!"

"Gak nanya!" Serentak Ratih dan Nadir berseru.

Anes mencebik dan memutar bola matanya. Tatapannya tajam ke arah Nadir dan Ratih. Seakan memberi kode 'Lihat aja nanti!'

Nadir melempar aster yang tersisa batangnya ke piring bekas ia makan tadi. "Dah, ah." Tubuhnya berdiri tegak. Kakinya melenggang begitu saja.

Sebelum pergi jauh Ratih berteriak pada Nadir. "Ke mana, Nad?"

"Ambil tas." Tanpa menoleh Nadir menjawab.

Ratih menyadari, Nadir sedang menghindar. Setelah acara ini ia harus banyak minta maaf pada gadis itu.

[]

Nb: percakapan yang digaris miring adalah percakapan Anes.

Selamat sore~
Terima kasih sudah sampai sini.

Bandung, 19 Desember 2020, 14.50 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro