IX. Luka dan Obatnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tumben masak aja main hape, Nad." Anes menegur Nadir seraya menyisir rambutnya yang baru kering.

Nadir nyengir sebentar menatap Anes lalu kembali fokus pada penggorengan di depannya. Tangannya yang lain sesekali mengecek ponsel.

Rutinitas Sabtu pagi Nadir dan Anes kali ini bukan lagi joging. Mereka pun sudah lama tidak lari kecil mengelilingi taman yang tak jauh dari indekos semenjak Ratih menikah.

Keduanya pun sering bangun di atas pukul sembilan kalau hari libur. Jika Ratih masih di sini, Nadir maupun Anes tidak akan ada yang berani bangun sesiang itu.

Ratih akan menjadi sosok ibu yang paling cerewet jika keduanya tidak bangun tepat waktu.

"Udah beres masaknya?"

"Udah."

Mereka siap-siap untuk menyantap sarapan yang baru saja selesai dimasak Nadir. Tidak banyak lauk yang dimasak. Bagi mereka, yang penting kenyang.

Anes terlihat makan tanpa selera. Nadir tidak menyadarinya karena gadis itu terlalu fokus dengan ponsel.

Hening. Tak ada percakapan di antara keduanya sampai Nadir yang menyadari terlebih dahulu.

Ia mematikan ponsel dan menatap Anes yang sekarang memainkan makanannya dengan sendok. "Kenapa ngelamun?"

"Woy!" Nadir melempar kerupuk yang sudah dipotong ke wajah Anes dan mengenai hidung temannya itu.

Anes mengerjap dan mendesis. "Anjir, bikin kaget aja!" Tangannya mengusap-usap dada.

"Ngelamunin apa? Beban hidup? Kan kamu bebannya." Nadir mengakhiri kalimatnya dengan kekehan.

"Sia deui beban. Eh, Nad. Kemarin, mantannya Hamdan nelepon." Anes duduk tegap menatap Nadir di depannya.

Lawan bicara Anes mengerutkan sebelah alisnya. "Nelpon siapa?"

"Nomornya Hamdan."

Nadir mengangguk-angguk. "Iya. Terus hubungannya sama kamu apa?"

Anes menurunkan pandangannya dan mendorong piring berisi sarapan yang tadi ia santap. "Kebeneran hapenya lagi ada sama aku, Nad. Waktu Hamdan anterin aku pulang, hapenya ketinggalan. Sekarang masih ada sama aku." Ia merangkak menuju tas milikinya.

Nadir melihat Anes menunjukkan sebuah ponsel hitam tanpa sampul. Ia tidak berbicara apa-apa lagi menunggu Anes melanjutkan kalimatnya.

"Mantannya bahas soal anak mereka."

Nadir berdeham. Ia tak menyangka Anes akan mengenal pria yang sudah memiliki anak, bisa jadi juga masalah laki-laki itu dengan mantan istrinya belum selesai.

Perasaan Nadir cukup terganggu dengan itu. Pasalnya, Anes belum pernah memiliki hubungan dengan laki-laki yang sudah menikah sebelumnya. Ia rasa, standar Anes cukup tinggi mengenai laki-laki. Namun, tidak juga setelah melihat kedekatan Anes dan Hamdan.

"Nes, kamu serius bakal terusin hubungan kamu sama Hamdan? Kalian pacaran gituh?"

Anes mengulum bibirnya lalu menggeleng. "Aku juga nggak tau, Nad." Ia mengembuskan napas berat.

"Apa yang bisa aku bantu, Nes? Ini pertama kalinya loh kamu jalin hubungan sama orang yang udah punya anak."

"Kami belum meresmikan hubungan, kok. Ah, lupain aja. Paling nanti Hamdan bakal ke sini lagi buat ambil handphone-nya."

"Hm."

Keduanya kembali melanjutkan sarapan.

Anes maupun Nadir tidak memiliki rencana untuk hari libur kali ini. Setelah selesai sarapan dan beres-beres. Mereka kembali rebahan di atas karpet yang digelar Nadir dan sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Kapan pulang, Nad?"

Nadir menurunkan ponselnya. "Tumben nanya itu?"

"Kamu tahu nggak kalau ibu kamu sakit pas aku pulang ke Tasik beberapa bulan lalu?"

"Ibu sakit?"

"Hm. Aku jenguk dia sebelum balik ke Jakarta."

"Dia bilang apa?"

Anes menggeleng.

Tidak mungkin jika ia tak tahu soal sakitnya sang ibu. Nadir sudah yakin, ibunya tidak akan menitipkan pesan apa pun pada Anes.

Nadir memang tidak pernah pulang lagi semenjak pergi. Ia akan tahu keadaan yang terjadi di rumah orangtuanya ketika dibutuhkan saja. Bukan kehadiran Nadir yang dibutuhkan, melainkan uangnya.

Kalau saja ia tak ingat ibunya pernah menjadi seseorang yang membuatnya ada di bumi, Nadir tidak akan mau berhubungan lagi dengan sesuatu yang ada di kampungnya.

Tidak, Nadir bukan kacang yang lupa kulitnya. Mustahil juga ia melakukan itu. Dirinya akan selalu ingat di mana ia berasal.

pro.bi.ty

Cantik sekali, siapa inii?

Nadir membaca chat masuk melalui notifikasi bar ponselnya. Nama Baskara tertera sebagai pengirim.

Ia mengingat-ingat pesan apa yang terakhir dikirim untuk Baskara. Seingatnya, Nadir tidak membalas apa pun lagi karena laki-laki itu hanya mengirim stiker.

Entah sejak kapan mereka mulai saling mengirim pesan. Nadir sendiri tidak ingat siapa yang memulai.

"Ke supermarket yu?" Ajak Anes tiba-tiba saat Nadir tengah memainkan ponsel.

Bahkan sampai menjelang malam, keduanya masih berdiam di kamar. Nadir kira, Anes akan pergi ke luar karena akhir-akhir ini temannya itu jarang di kosan apalagi kalau sedang libur begini.

"Nggak ada yang ngajak malam mingguan, ya?"

Balasan Nadir membuat Anes berdecak. "Ayolah."

"Ini masih tengah bulan, loh. Ntar aja ah belanja bulanannya." Nadir kembali memainkan ponselnya. Ia membuka ruang obrolan dengan Baskara di WhatsApp. Ternyata laki-laki itu memberi komentar pada postingan swafoto dirinya tadi pagi.

Nadir jarang sekali menggunakan fitur yang tersedia di aplikasi itu, kalau saja bukan karena Anes yang memberitahu ia tak akan tahu ada teknologi seperti itu.

Mungkin orang akan mengira Nadir itu kudet atau kurang up to date, tapi memang itu kenyataanya. Sebab Nadir tidak terlalu banyak mengulik aplikasi-aplikasi yang dimiliki ponselnya.

Ponsel baginya asal bisa digunakan untuk menelpon dan mengirim pesan sudah cukup, paling penting bisa membuka surel tanpa perlu menggunakan komputer jingjing.

"Chat sape sih, penting bener?" Anes menutup layar ponsel Nadir dan membalas tatapan sinis gadis itu.

Nadir mengembuskan napas kasar sambil menyingkirkan tangan Anes. "Kepo, ya?" Ia mencibir Anes.

"Ck. Eh, Nad. Akhir-akhir ini aku liat kamu pergi sama Baskara mulu."

Nadir tergeming. Matanya bergulir ke sana-kemari. Darimana Anes tahu soal itu? Pertanyaan yang muncul di kepala Nadir tak ia lontarkan.

"Hayo! Dulu ngindarin sekarang malah deket-deket. Ciee."

"Berisik." Nadir memunggungi Anes.

"Kan, aku bilang juga apa. Baskara itu ganteng. Terpesona juga kan akhirnya."

"Nggak ya! Nggak gitu." Nadir mengambil kertas di depannya dan berbalik untuk melemparkannya pada Anes.

Anes terkejut dan tidak sempat menghindar. "Nggak apa-apa kali Nadirku sayangku. Nggak ada salahnya deket sama cowok. Siapa tahu jodoh."

"Punten. Kami cuma temenan bukan berniat jadi temen hidup."

"Ya, kita kan nggak tahu rencana-Nya bakal kayak apa."

"Sssh! Udah-udah. Mending ke luar aja, yuk cari jajanan." Nadir mengibas-ngibaskan tangannya lalu berdiri dan mencari dompet miliknya. "Buruan!" Ia mendahuli Anes ke luar dari kamar.

"Ck, tadi diajak ke supermarket ogah, sekarang malah mau jajan. Bentar rambut aku berantakan."

Bukan Nadir namanya kalau membeli makanan hanya satu rupa. Apalagi yang dibeli adalah jajanan kesukaannya.

Nadir dan Anes memutuskan untuk membeli makanan ringan yang tidak jauh dari indekos. Sekolah dasar menjadi tujuan keduanya karena tempat itu menjadi surga makanan bagi Nadir.

Hari menjelang malam tapi pedagang makanan anak-anak masih saja banyak di setiap sisi jalan. Hampir semua jajanan yang tersedia adalah makanan kesukaan Nadir.

Anes hanya menggeleng-geleng kepala melihat Nadir habis membayar cireng bumbu, melangkah sedikit berhenti di tukang bakso bakar dan memesannya.

Belum setengah jam berada di sana, Nadir sudah menjinjing lima kantong kresek kecil sedangkan Anes belum membeli sama sekali.

"Duh ... yang katanya uangnya habis, jajannya nggak tahu diri. Eh, nggak tahu dompet," sindir Anes setelah Nadir baru saja memberi uang pada abang penjual  telur gulung.

"Uang masih bisa dicari. Kalau perut kenyang, susah nyarinya kalau nggak dibuat sendiri."

Anes hanya mencibir meniru kalimat yang diucapkan Nadir.

"Pulang, yuk. Udah kan jajannya?" ucap Anes akhirnya.

"Oke. Tapi, kamu nggak jajan Nes?"

Anes menggeleng. "Ntar aja deh, Deket kosan ada kang minuman. Beli itu aja."

"Tuh! Asa kaingetan belum beli minumnya." Nadir mengacungkan telunjuk yang sedikit kesusahan karena tangannya menjinjing beberapa kresek berisi makanan.

"Nad, kapan sih kamu pacaran lagi? Aku udah lama nggak denger kamu curhat soal laki-laki. Hampir nggak pernah lagi malah semenjak lulus sekolah." Sembari melangkah, Anes tiba-tiba menyuarakan isi kepalanya.

Nadir yang sedang mengunyah telur gulung pun berhenti. Matanya melirik Anes yang berjalan di sampingnya. Ia memikirkan kata-kata yang bisa menjadi jawaban pas untuk pertanyaan Anes.

Anes mengembuskan napas lelah. "Gitu deh setiap bahas soal cowok. Nggak pernaaaah dijawab. Nggak ada salahnya membuka hati lagi, Nad. Patah hati dalam percintaan itu wajar, selama ada penyembuhnya."

"Kalau nggak ada penyembuhnya?"

"Nggak mungkin, Nad. Tuhan Maha Baik, nggak mungkin Dia menciptakan luka tanpa obat untuk menyembuhkan."

"Iya juga. Nih!" Nadir menunjukkan kresek-kresek berisi makanannya pada Anes hingga langkah keduanya terhenti.

Kening Anes mengerut menatap yang ditunjukkan Nadir. Netranya melihat kresek-kresek itu kemudian Nadir berulang-ulang. "Hah?"

"Iya, Tuhan kasih luka buat aku, Dia juga kasih obatnya. Ini obatnya. Ma.ka.nan!" Nadir memberi penekanan pada kata terakhirnya.

Anes terperangah kemudian mendecak. "Au ah gelap. Mending ngomong sama batu sumpah!" Gadis itu gemas dan menghentak-hentakan kakinya melangkah kembali meninggalkan Nadir yang malah tertawa mendapat reaksinya.

Anes tak habis pikir dengan pemikiran Nadir. Dirinya yang tak sabaran juga menjadi sasaran empuk menjadi bahan usilan Nadir.

[]

Terima kasih sudah membaca 🤗

Bandung, 22 Januari 2021, 11.46 WIB.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro