VIII. Menebak Nama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hampir setiap hari sepulang kerja, entah datang darimana Baskara selalu muncul.

Hal itu menjadi sebuah kebiasaan tiga hari terakhir ini semenjak mereka duduk di meja yang sama untuk mengisi perut. Nadir pun tidak lagi menghindari Baskara, karena rasanya sia-sia saja lari dari laki-laki itu. Toh, akhirnya bertemu juga.

Baskara memiliki seribu cara untuk menemui Nadir, sedangkan gadis itu mulai kelelahan menghindari. Percuma. Laki-laki itu terus berusaha untuk menemui dirinya.

Nadir mulai jarang pulang bersama Anes. Itu menjadi sebuah celah yang mudah untuk Baskara. Pulang sendiri tidak lagi asing bagi Nadir. Ia hanya bertemu Anes di kamar saja.

Entah apa yang membuat temannya berubah, tapi Nadir tidak ingin mengambil pusing daripada ujungnya mereka hanya adu mulut.

Terakhir kali Anes dan dirinya berbicara banyak adalah sejak dua hari lalu ketika temannya itu pulang tengah malam.

Pintu terbuka saat Nadir tengah memainkan ponsel sambil tengkurap. Kedua sikutnya bertumpu pada bantal miliknya agar tidak terlalu pegal. Netranya begitu fokus menatap layar ponsel.

"Tumben belum tidur." Anes masuk dan mengunci pintu kamar. Tanpa menunggu jawaban Nadir, ia pergi ke kamar mandi.

Nadir mengalihkan pandangannya sekejap lalu kembali dengan ponsel. Ia tidak berniat menjawab karena kondisi kamar mandi yang berisik.

Anes selalu mandi setiap pulang. Entah jam berapa pun itu, ia selalu membersihkan tubuhnya sebelum tidur. Hal yang jarang Anes lakukan menjadi sebuah kebiasaan semenjak gadis itu kembali jatuh cinta. Tidak aneh lagi menurut Nadir.

Gemercik air tak terdengar bertanda Anes sudah selesai dengan ritualnya. Nadir menyimpan ponsel untuk diisi daya.

"Tumben adus mulu. Habis ngapain hayo?" Nadir iseng menanyai hal tersebut.

Anes mencebik. "Habis 4646 di taman." Ia menatap jam dinding. Waktu menunjukkan pukul satu malam.

"Hah! Serius? Omo! Omo!" Nadir menutup mulutnya yang terbuka dengan tangan kiri. Pura-pura kaget ceritanya.

Handuk bekas tubuh Anes melayang tepat di kepala Nadir. "Nggak usah lebay!" Gadis itu sudah berbalut daster semenjak ke luar dari kamar mandi.  Anes mengambil posisi duduk di samping Nadir.

Nadir melempar handuk tadi pada Anes. "Anjir." Matanya menatap sinis.

"Habis darimana, sih. Pulang jam segini mulu sekarang. Beda, ya yang udah jatuh cinta mah lupa temen."

"Ya nggak gitu lah!" Nadir mengaduh mengusap bahunya. Pukulan Anes tidak pernah main-main. "Eh, Nad. Kira-kira kalau nikahan itu mending adat Sunda atau modern kayak Ratih kemarin?"

Kening Nadir berkerut. Ia memundurkan duduknya. "Belum dilamar ujug-ujug bicarain pernikahan. Parah kamu."

"Dih, ini kan cuma persiapan." Anes menggedikan bahu.

"Emang mau nikah sama siapa?"

"Sama cowok atuh." Gadis itu mengambil bantal yang digunakan Nadir tadi dan memangkunya.

"Iya, iya sih. Cowok. Terus siapa cowoknya?"

"Iya bisa siapa aja. Jodoh mah siapa yang tahu."

Nadir menarik bantal yang berada di pangkuan Anes dan melempar ke wajah gadis itu dengan gemas. "Heran deh. Kirain ngomongin pernikahan karena udah ada calonnya."

"Hamdan kayaknya serius, Nad."
Anes memeluk bantal dan tersenyum setelahnya.

Nadir menggulirkan matanya. "Hamdan udah kasih pernyataan serius? Kalian kenal belum dua minggu malah."

Anes memikirkan perkataan Nadir seraya menggigit-gigit kuku ibu jarinya. Netranya berlari ke sana-kemari. "Belum, sih. Tapi Hamdan perhatian banget, dia juga kadang bahas soal pernikahan. Kayak hal-hal serius gitu dia bahas. Tapi, tapi dia belum bilang apa-apa soal perasaanya ke aku."

Nadir mengusap kepala Anes dengan lembut. "Jangan terlalu menganggap serius kalau dia belum meyatakan apa-apa. Nanti kamu dipatahkan harapan sendiri."

pro.bi.ty

"Kamu kenal Hamdan sejak kapan?" Pertanyaan itu meluncur tiba-tiba saat obrolan dengan Anes kemarin melintas di kepalanya.

Baskara mengajak Nadir ke taman sepulang kerja tadi. Gadis itu tidak menolak karena percuma.

Keduanya duduk di salah satu kursi dekat pohon rindang. Baskara memiringkan duduknya untuk melihat Nadir. Laki-laki itu menautkan alis. "Kenapa tiba-tiba membahas laki-laki lain?"

Nadir memasukan setusuk telur gulung ke mulutnya yang dibeli tadi. Ia baru menjawab setelah menghabiskannya. "Kalau kamu nggak mau jawab, ya terserah. Itu bukan urusan aku juga. Toh, aku bisa tanya Roni." Ia memakan telur gulung yang lain.

"Bukan begitu maksud saya. Baiklah. Saya mengenal Hamdan satu tahun lalu."

"Oh." Nadir memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di hadapannya tanpa berhenti mengunyah. Baru kali ini ia pergi ke taman sepulang kerja.

Gadis itu pun tak mengira taman akan seramai ini di sore hari. Ada yang menarik perhatiannya daritadi. Seorang anak perempuan tengah tertawa karena candaan sang ayah sedangkan sang ibu tak melepas senyum di wajahnya melihat mereka.

Kedua mata Nadir terasa panas melihat mereka bertiga. Dalam hatinya berdoa agar anak tersebut mempertahankan tawa itu sampai dewasa tanpa mengetahui masalah orangtua yang akan dihadapi di masa depan.

Baskara berdeham membuat Nadir mengerjapkan matanya. "Saya penasaran."

Nadir melirik Baskara tanpa memiringkan kepalanya untuk menatap laki-laki itu lebih jelas. "Untuk?"

"Untuk tahu arti dari nama unik kamu. Saya belum pernah mendengar nama Nadir Tunggilis sebelumnya."

Nadir melirik tanah di bawahnya, ujung bibirnya terangkat sedikit. "Unik? Aku malah benci seseorang menyebut nama belakangku."

"Kenapa?" Baskara cukup terkejut mendengar jawaban Nadir.

"Ngomong-ngomong, aku nggak tahu nama asli kamu. Namamu emang Baskara?"

Laki-laki itu terkekeh. "Menurutmu?"

"Baskara itu artinya matahari?" Nadir mengabaikan pertanyaan Baskara.

Senyum merekah ketika Nadir menyebut namanya sembari menatap Baskara. Tatapannya tak lepas dari gadis dengan rambut terurai itu. "Hmm. Kamu tahu artinya?"

"Tahu. Makanya aku sebutin." Nadir mengalihkan pandangan. Ia menyandarkan punggung di kursi taman seraya menyilangkan tangan di dada setelah meletakan plastik berisi telur gulung yang tersisa di sampingnya.

Tak ada percakapan lagi setelahnya. Mereka menikmati silir-semilir yang memanjakan wajahnya di sore hari. Pilihan tepat duduk di bawah pohon rindang seperti ini. Nyaman dan membuat tenang.

Beberapa kali Nadir mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskanya perlahan. Salah satu cara untuk membuat pikirannya ternetralkan.

Nadir duduk tegap dan menatap Baskara tiba-tiba. Tanpa ia tahu, laki-laki itu tidak memalingkan muka sama sekali sejak tadi.

"Kenapa?"

"Kamu memiliki nama panjang, kan?"

Baskara mengangguk, "Hmm."

Gadis itu memicingkan mata. "Apa nama panjang kamu?"

"Tebak. Salah satu tokoh pewayangan."

Nadir mendengkus daripada penasaran ia menjawab juga tantangan Baskara. "Tokoh wayang yang aku tahu cuma Cepot."

"Itu loh, kisah Mahabharata."

"Oh. Nakula Sadewa?" Nadir menjentikkan ibu jari dan telunjuknya.

Baskara menggeleng. "Salah."

Nadir menggaruk kepala belakangnya yang sama sekali tak gatal. "Ish! Terus apa, dong?"

"Tebak lagi dong."

"Ah, malah jadi tebak nama ini. Apa ya?" Rasa penasaran masih membuat Nadir terus berpikir.

"Yang bawa busur panah." Baskara kembali memberi petunjuk.

Bibir Nadir melengkung ke bawah kedua bola matanya melihat ke atas. Meski sedikit kesal, ia berusaha mencari jawaban lagi. Tak mau berpikir lama, dirinya mengambil ponsel di saku blazzernya dan mengetik sesuatu di mesin pencarian setelah benda itu menyala.

Sebutkan tokoh pewayangan yang membawa busur panah

Saat pencarian paling atas keluar, senyumya merekah menampakkan gigi-gigi kecilnya yang berjajar rapi. "Oh! Arjuna?"

"Kurang tepat."

Nadir mengerutkan hidunganya dan membanting ponselnya ke paha. "Kok kurang tepat sih?!"

"Nama lain dari Arjuna."

"Nggak tahu, ah!" Nadir mendengkus sambil menyilangkan tangan di dada.

"Parta. Baskara Parta. Nama lengkap saya." Matanya sedikit menyipit ketika bibir bawah Baskara tertarik ke atas.

Tangan Nadir turun ke kedua sisi tubuhnya. Matanya melirik laki-laki itu. "Kok bisa-bisanya nama kamu diambil dari tokoh pewayangan?"

"Ayah menyukai Arjuna."

"Hm, terus?"

"Ayah pernah mengatakan soal arti nama saya. Beliau bilang, Baskara itu artinya matahari sedangkan Parta itu nama lain dari tokoh wayang yang ayah suka; Arjuna. Parta memiliki arti pahlawan perang.

"Ayah mendefinisikan nama saya sebagai pahlawan dalam keluarga yang kelak mampu menerangi seperti matahari. Nama saya juga menjadi harapan beliau."

Nadir mengerjap-ngerjapkan matanya mendengar penjelasan cukup panjang dari Baskara. Ia cukup terpukau. "Wauw. Kamu beruntung memiliki ayah seperti beliau. Udah kebayang si kalau dia sayang keluarganya."

"Iya. Kami semua sayang ayah. Saya, ibu, kakak dan adik-adik saya sayang beliau. Doa kami tidak pernah lepas untuk ketenangan beliau di sana." Baskara tersenyum di akhir kalimat.

Nadir merasakan perbedaan dari senyum yang ditampilkan Baskara. Ia sedikit merasa bersalah karena hal itu. "Maaf, aku-aku ti-tidak tahu. Aku minta maaf soal itu. Semoga ayah kamu tenang di sana."

Nalurinya menggerakkan tangan Nadir untuk menepuk-nepuk pelan bahu Baskara beberapa detik.

[]

Padahal nulisnya kemarin. Tapi baru up sekarang 🤝

Terima kasih sudah membaca.

Bandung, 14 Januari 2021, pukul 18.22 WIB.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro