VII. Restoran Sunda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua hari terakhir ini, Nadir selalu pulang sendiri. Ini dikarenakan Anes yang selalu pulang terlebih dahulu. Tidak, sebenarnya tidak pulang ke indekos melainkan untuk pergi bertemu seseorang.

Hamdan. Entah apa yang membawa laki-laki itu kembali ke Jakarta. Anes sendiri belum menceritakannya, Nadir pun tidak mencari tahu. Pasalnya, setiap Anes pulang dirinya sudah tertidur.

Anes semakin sibuk dengan ponselnya, bertemu di tempat kerja pun hanya sesekali. Makanya mereka tidak banyak memiliki percakapan.

Nadir tidak mengambil pusing sikap Anes untuk saat ini, karena hal itu dirasa wajar bagi dirinya. Ratih dan Nadir pun sudah sama-sama tahu bagaimana sikap Anes jika sudah dekat laki-laki baru.

Hiruk-pikuk Jakarta seperti tak ada habisnya. Apalagi jam pulang kantor yang membuat Nadir muak menaiki kendaraan umum. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan sekitaran kantornya sambil mencari-cari tempat makan yang belum pernah ia kunjungi.

Nihil. Tanpa Nadir sadari, sudah satu jam ia berjalan. Namun, tak ada satu pun tempat yang ingin ia singgahi. Kalau sendiri begini, dirinya menjadi pemilih dalam perihal tempat makan. Sebelum menemukan yang pas, ia tak akan berhenti berjalan sampai sekarang.

Berkali-kali ia mengecek ponselnya yang tidak ada apa-apa sambil sesekali menengok kanan dan kiri.

Keteledorannya kali ini hampir berbuah malang. Ponselnya terjatuh dari genggaman ketika badannya sedikit terhuyung akibat salah langkah. Entah sejak kapan bebatuan itu ada di trotoar.

Nadir berjongkok untuk mengambil ponselnya yang nahas. "Deuh, make ditolonjong sagala[1]. Ya kali Ibu bakal hamil lagi?[2]" Ia berdiri dan mencari tempat duduk di sekitar untuk memeriksa keadaan ponselnya.

"Syukurlah hapenya masih nyala." Nadir bermonolog lagi sambil duduk di kursi taman yang ia temukan.

"Handphone-nya baik-baik saja?"

Nadir menatap lamat-lamat ponselnya kemudian mengangkat kepala. Ia tidak menemukan siapanpun di depannya. Jadi, siapa yang berbicara? Pertanyaan itu hanya bertengger di kepalanya. Ia kembali fokus pada ponselnya.

"Saya izin duduk, ya."

Pendengarannya tidak salah, ia mendengar suara seseorang. Jarinya masih senantiasa menari-nari di layar ponsel.

Seperti teringat sesuatu, Nadir mengerutkan keningnya. "Ah, kayak kenal suaranya." Tanpa menyuarakan kalimat itu, matanya masih terfokus pada satu benda. Ia pura-pura tak menyadari kehadiran seseorang di sebelahnya.

"Fokus sekali sama handphone-nya." Laki-laki itu kembali bersuara.

"Tidak berniat untuk melepas?"

Barulah Nadir mengangkat kepalanya lagi. Ia duduk menyamping untuk melihat laki-laki itu. "Benar dugaanku, dia Baskara," ucapnya dalam hati.

Nadir menatap Baskara naik-turun perlahan lalu menunjuk dirinya sendiri. "Kamu bicara sama aku?"

Baskara menaikkan sebelah alisnya.

Tak mendapat jawaban, Nadir berbicara lagi, "Serius kamu bisa lihat aku?!" Ia menutup mulut dengan kedua tangannya sampai ponsel yang tadi dipegang jatuh ke pangkuannya. "Astaga! Akhirnya ada yang bisa lihat aku!"

Tidak mendapat reaksi apa-apa. Nadir mencebik. "Kok nggak kaget sih aku ngomong gitu!"

Baskara terkekeh, tanpa sadar tangannya mengusap-usap rambut Nadir dengan gemas sampai gadis itu memundurkan kepalanya. "Saya bahkan bisa menyentuhmu. Artinya, kamu tidak invisible, kan?"

Nadir menepak tangan Baskara yang masih berada di atas kepalanya. "Apa, sih nggak sopan!" Tangannya merapikan rambut yang diacak-acak Baskara. Sebenernya tidak terlalu berantakan, tapi Nadir ingin saja merapikannya.

Melihat Baskara di sini sekarang, ia jadi teringat kata-kata Anes beberapa waktu lalu. Apa mungkin ini saatnya ia coba  untuk memberi Baskara kesempatan mendekatinya?

"Ada yang salah?" Pertanyaan Baskara meluncur bertepatan dengan mata mereka yang saling tatap.

"Ng-nggak." Nadir menggeleng-geleng dan mengalihkan pandangan dari laki-laki itu. "Kamu kayak jelangkung, ya. Selalu muncul tiba-tiba."

"Bukannya jelangkung akan muncul jika dipanggil? Jangan-jangan kamu panggil saya dalam hati, Itu sebabnya sekarang saya muncul?"

Nadir menahan napas seraya menaikkan sebelah bibirnya mendengar kalimat Baskara. "Dih."

Seperti tidak pernah bosan, lagi-lagi Baskara tersenyum. Tak pernah sekali pun laki-laki itu mengalihkan pandangannya. Lama-lama hal itu membuat Nadir risih.

"Bisa nggak lihat ke arah yang lain aja gitu?"

"Kalau ada yang bisa dipandang dan membuat saya merasa nyaman, kenapa harus memandang yang lain?"

Nadir gemas sendiri kemudian berdiri setelah menggenggam ponsel yang tadi berada di pangkuannya. Ia menatap Baskara sebentar lalu melengos.

Keputusan mengikuti perkataan Anes adalah sebuah kesalahan. Percakapannya dengan Baskara tadi seharusnya tidak terjadi.

pro.bi.ty

Tidak seperti hari-hari sebelumnya, langit Jakarta tampak jingga. Hanya untuk beberapa saat sebelum kelam menyelimuti awan diikuti guntur yang menyapa.

Tak ada yang mampu memprediksi cuaca akhir-akhir ini. Bahkan, Nadir sendiri mengira hari ini tidak akan hujan. Terkaannya keliru. Belum lama kilat membuatnya terkejut, rintik hujan turun perlahan hingga menjadi deras seketika.

Untunglah dia sudah berada di warung lesehan. Tempat makan yang menyediakan beberapa makanan Sunda.

Matanya berkeliling mengamati restoran tempatnya berada sekarang. Ia merasa cukup nyaman duduk menghadap ke luar karena bisa sambil memperhatikan lalu-lalang kendaraan yang menembus hujan.

Setiap meja di sini hanya tersekat bilik bambu sebatas dada. Hal itu mengingatkan ia pada kampung halamannya. Kota yang terkenal dengan payung geulisnya. Ah, ia jadi teringat sudah tiga tahun tidak pulang.

Tidak ada yang memintanya untuk pulang atau pun menunggu. Ia sendiri bahkan tidak tahu ke mana tempatnya pulang jika kembali ke kampung itu.

Nadir pernah menganggap Jakarta adalah tempat pelariannya. Namun, sekarang menjadi rumah tempat ia singgah. Dia bukan yatim piatu. Sungguh.

Kedua orangtuanya justru masih hidup dengan sehat. Hanya saja, mereka sudah terpisah satu sama lain. Masing-masing memiliki keluarga baru.

"Jalannya tidak akan ke mana-mana. Jadi, tidak perlu diperhatikan begitu."

Nadir mengalihkan pandangannya dari jalanan. Ia menatap laki-laki di hadapannya.

"Makanan yang dipesan sudah datang daritadi. Kalau didiamkan terus, kan sayang."

Satu hal yang Nadir lupakan. Ia duduk di sini karena Baskara. Laki-laki itu yang membawanya ke sini. Satu-satunya tempat yang belum pernah ia maupun temannya kunjungi.

Beberapa hidangan khas Sunda tersaji di meja. Nasi bakar tutug oncom salah satu makanan yang Nadir pesan.

Empat tahun sudah lidahnya tidak mengecap rasa dari nasi yang dibakar dalam bambu tersebut. Aromanya yang khas membawa ia kembali ke ingatan masa lalu. Nasi bakar tutug oncom buatan ibunya Ratih tak ada yang bisa menandingi rasanya. Lidah Nadir, Anes dan Ratih mengakui itu sendiri.

"Melamun lagi." Baskara menuangkan air teh tawar dalam teko alumunium ke gelas milik Nadir. Teh hangat tanpa rasa itu menjadi ciri tersendiri di setiap rumah-rumah makan Sunda.

Seperti tersadar, Nadir menggeleng pelan. "Iya, iya maaf. Udahlah,  makan sekarang aja nanti nasinya keburu dingin."

Baskara tersenyum penuh arti.

Sepasang insan itu menghabiskan makanan dalam diam.

Kalau bukan karena Baskara yang terus mengikuti langkah Nadir. Keduanya tidak akan berakhir di sini. Laki-laki itu berdiri di belakang Nadir sambil memegang kedua bahunya.

Bukan hanya itu, Baskara mendorong dan membelokkan tubuh Nadir untuk memasuki warung lesehan tempat mereka berada sekarang.

Nadir sempat ingin marah karena Baskara dengan lancang memegang bahunya dan mendorong ke sini. Namun, urung ketika melihat pengunjung warung yang cukup ramai.

Gadis itu seperti sudah membuat ancang-ancang sepulang dari sini untuk memberi Baskara pelajaran. Akan tetapi, Nadir seperti melupakan hal itu setelah melihat beberapa makanan yang tersaji di hadapannya.

Nadir mencicipi satu per satu hidangan yang tersaji tanpa menghiraukan siapa yang di hadapannya. Mulutnya tidak berhenti mengunyah. Meski penuh, satu suap makanan lain tetap bisa masuk.

"Pelan-pelan nanti tersedak. Kalau masih lapar, nanti saya pesankan lagi."

Gadis berusia 22 tahun itu berhenti mengunyah. Ia menatap makanan di hadapannya seraya merutuki diri yang terlalu asyik makan tanpa memedulikan keberadaan Baskara.

Kadung terjadi kenapa harus malu, pikir Nadir seraya kembali mengunyah tanpa merespon perkataan Baskara.

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu tidak bersama teman kamu itu?" Pertanyaan Baskara meluncur setelah Nadir menghabiskan air dalam gelas.

Nadir meletakan gelas kemudian menatap Baskara sedangkan tangannya mengambil tisu yang tidak jauh darinya. Sebelum menjawab pertanyaan laki-laki tersebut, Nadir menyeka mulutnya dengan tisu tadi. "Anes maksudnya?"

Baskara tanpak kebingungan. "I-iya, memangnya ada teman lain?"

"Kamu pikir aku nggak punya temen selain dia gituh?!"

Baskara terkesiap mendapat jawaban Nadir. "Tidak, tidak. Bukan itu maksud saya. Kamu salah paham." Laki-laki itu mengibaskan kedua tangannya.

"Iya-iya. Aku nggak pulang bareng Anes karena dia pulang duluan. Puas? Apa lagi yang mau kamu tahu."

Nadir tidak menyadari darimana kalimat yang ia ucapkan berasal. Tidak seperti biasanya, gadis ini cukup banyak bicara dengan orang yang baru ia kenal.

Mungkin jika Anes dan Ratih mengetahui hal ini, mereka akan membuat sebuah perayaan untuk Nadir. Kedua teman Nadir memang selalu berlebihan, tapi hal itu justru yang membuat pertemanan mereka menjadi sangat lengket.

Pandangan Baskara sungguh tidak pernah lepas dari Nadir. Ia mengatupak tangannya dengan sikut menumpu di meja. "Saya mau tahu lebih banyak tentangmu."

Nadir malah mendecih. Kalau saja orang yang di hadapannya tidak memiliki kesabaran, mungkin Nadir akan dicap sebagai gadis terjudes yang pernah ditemui.

Gadis itu memeriksa tasnya dan mengambil ponsel yang ada di sana lalu menyalakannya. "Sudah malam. Aku pulang sekarang aja, ya." Nadir mengalihkan pembicaraan lalu pura-pura menyibukkan diri dengan ponsel.

"Loh, buru-buru sekali. Kita kan baru selesai makan. Lagipula, di luar masih gerimis."

"Aku udah pesen taksi online. Sebentar lagi sampai." Gadis itu mengacungkan ponselnya.

"Batalkan saja, nanti saya antar pulang."

"Tidak usah repot-repot." Nadir mengeluarkan beberapa lembar uang kertas di dompet yang baru ia ambil dari tas.

Baskara menahan tangan Nadir ketika melihat gadis itu akan berdiri. "Saya sudah membayarnya. Kamu tidak perlu membayarnya lagi."

Nadir menatap tangan yang dipegang Baskara kemudian menghentakkannya. Ia membuka tangan Baskara lalu meyimpan uangnya di sana. "Ya, udah. Nih aku bayar punyaku."

"Saya mengajak kamu ke sini. Artinya, saya yang harus membayar. Simpan lagi saja uangnya. Lagipula kenapa harus buru-buru. Kita bisa mengobrol dulu di sini beberapa saat."

"Mobilnya sudah di depan. Aku mau pulang. Kalau kamu nggak mau Nerima uangnya, ya udah terima kasih udah traktir. Permisi."

Lagi-lagi Baskara ditinggal sendiri. Laki-laki itu tidak merasa kesal sama sekali. Justru hatinya merasa hangat. Ia tidak akan pernah menyesal memaksa Nadir makan bersamanya. Justru akan terjadi sebaliknya jika ia tak membawa Nadir ke sini.

Pandangan laki-laki itu mengikuti arah langkah Nadir. Bahkan sampai gadis itu masuk dan mobilnya melaju, matanya masih tak ingin berpaling.

Lama-lama, jatuh cinta bisa membuat hilang akal. Baskara tidak bisa menahannya lagi. Ia benar-benar jatuh cinta. Dirinya yakin. Nadir akan menjadi cinta pertamanya atau mungkin juga yang terakhir.

[]

Sedikit catatan hidup. Canda hidup; [1] Ditolonjong adalah jatuh ke depan sambil terseok-seok.

[2] mitos jaman SD, kalau kita hampir jatuh pasti ibu kita bakal hamil lagi. /Bodohnya aku pernah percaya/

Terima kasih sudah sampai sini. Ada yang penasaran nggak si sama kisah ecek-ecek ini? Kasi tanggapan gitu whwhw

Bandung, 10 Januari 2021. Pukul 2.05 WIB.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro