VI. Kafe

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Baru kali ini indekos terasa sepi. Sepulang dari kafe, ia mendapat kabar dari ibu kos bahwa tetangga sebelah yang ada dua orang pulang kampung. Katanya, tidak akan kembali.

Penghuni kamar paling atas pun beberapa pulang kampung. Entah angin apa yang membuat mereka serentak untuk pulang. Pantas saja belum terlalu larut tapi sudah sunyi.

Biasanya, penghuni kamar atas selalu menyalakan musik cukup keras ditambah teman-temannya yang super heboh membuat Nadir sakit kepala.

Netra Nadir melirik jam dinding. Pukul sembilan malam pas. Sudah satu jam sejak ia pulang dari kafe. Pikiraanya masih berkeliaran mengingat kejadian di kafe beberapa waktu lalu.

Tubuhnya sudah merebah dengan mata tertutup. Namun, pikirannya jalan-jalan tak ingin berhenti. Ia menguatkan dirinya untuk tidak membuka mata.

Gagal. Nadir mengubah posisi menjadi telungkup, tubuhnya mendekati stopkontak. Tangannya meraih ponsel yang sedang ia charger.

Usap sana-sini. Klik aplikasi satu, kembali lalu klik aplikasi lain dan melakukan itu berulang kali. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Memainkan permainan di ponselnya tidak membantu sama sekali.

Nadir membuka aplikasi telepon dan memeriksa kontaknya. Nama Anes tertera paling atas. Ia klik.

Tersambung...

Rejected...

"Ish! Kok dimatiin. Sombong banget ni anak!" Ia mematikan ponsel dan melempar pelan benda itu.

Kembali merebahkan badan dengan tangan menyilang. Netranya menatap langit-langit.

"Silau deh." Nadir segera berdiri dan mencari saklar untuk mematikan lampu.

Ruangan yang tadi benderang kini redup. Hanya terlihat putih-putih. Dalam hati menyesal karena mengganti sprei kasurnya dengan warna putih polos. Ia kembali menyalakan lampu.

"Tapi silau, matiin lagi aja deh."

Selanjutnya, Nadir malah memainkan saklar. Penyesalan akhirnya adalah lampu tidak dapat dinyalakan lagi.

Gadis itu mendengkus lalu kembali ke tempat tidur dan mengurung dirinya dengan selimut. Bibirnya terus mencebik karena ulahnya sendiri. "Baru juga ganti lampu seminggu lalu udah mati lagi. Sialan!"

Baru kali ini Nadir sungguh tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Berkali-kali ia mengecek ponselnya, tidak ada apa-apa. Hanya chat dari Anes yang menanyakan kenapa dirinya menelepon.

Nadir sengaja tidak membalasnya karena ingin membuat Anes penasaran. Pasti setelah ini juga anak itu akan mengirim pesan yang banyak, Nadir sudah sangat tahu kebiasaan temannya.

Cukup lama Nadir membuka dan menutup matanya. Mengibas-ngibaskan selimut memunculkan kepalanya lalu menutupnya lagi. Mengeluarkan kaki dari selimut lalu memasukannya lagi.

Terakhir ia lihat jam di ponselnya, waktu menunjukkan pukul dua belas. Tiga jam ia tidak melakukan apa-apa matanya tak ingin juga tertidur.

Anes pun tidak menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Kalau di kampung, Anes akan menjadi anak baik-baik. Namun, semenjak di sini ia menjadi anak nakal yang selalu pulang malam.

Kalau saja Ratih masih tinggal di sini, Anes akan ditelepon berkali-kali agar gadis itu pulang di bawah jam sebelas.

Bahaya bagi Anes kalau orang tua gadis itu tahu anaknya pulang tengah malam. Maka dari itu, mama Anes selalu mewanti-wanti pada Ratih agar tidak membiarkan anak gadisnya pulang tengah malam.

Kali ini, hanya dirinya di kamar ini. Ia tak bisa seperti Ratih karena merasa dirinya pun selalu pulang hingga larut malam. Bahkan pernah ia pulang keesokan harinya.

Menurut Ratih, dirinya dan Anes sebelas dua belas yang selalu lupa waktu untuk pulang.

Satu-satunya cara untuk tertidur kali ini adalah menghentikan pikiran Nadir agar tidak berkeliaran.

Nadir mencoba menarik napas dalam-dalam dan mengembuskanya lalu membuang pikiran-pikiran di kepalanya untuk saat ini.

Caranya berhasil, tak memerlukan waktu lama matanya benar-benar terpejam.

pro.bi.ty

Kedua mata Nadir terbuka tiba-tiba mendengar ketukan pintu yang sangat brutal.

Jiwanya seakan ditarik paksa untuk bangun. Jantungnya berdetak tak berirama. Berkali-kali ia mengumpat.

Buru-buru badannya bangun dan membuka pintu yang terkunci. Anes pelakunya!

Nadir berdecak dan kembali membaringkan tubuhnya sambil memejam.

"Sorry. Lupa bawa kunci cadangan. Ngomong-ngomong, kok lampunya nggak dinyalain." Anes menyalakan senter di pinselnya mencari salkar. Dirasa benda itu tak berguna, ia mengunci pintu kemudian duduk di samping Nadir yang terbaring.

Kakinya ia luruskan, punggunya menghadap Nadir. Bukan langsung tidur, gadis itu malah memainkan ponsel.

Nadir membuka mata. Kantuk yang ia dapat tadi tiba-tiba hilang begitu saja gara-gara Anes. Gadis itu menatap tajam punggung Anes. "Ke mana aja baru pulang?"

Anes menggeser tubuhnya untuk melihat Nadir. "Ketahuan nggak cek handphone. Aku udah chat banyak banget nggak dibales-bales."

"Males."

Anes berdecak dan kembali memainkan handphone.

"Nggak puas apa mainin hape. Udah, kek tidur."

"Hamdan baik banget loh, Nad."

Nadir memutar bola mata. Ia menggeser tubuhnya saat Anes berbaring di sampingnya. "Ngapain aja, sih sampai jam segini baru pulang? Jam berapa ini."

"Jam tiga."

Nadir terlonjak. Sontak tubuhnya terduduk. "Hah! Jam tiga? Perasaan tidur baru bentar udah jam tiga aja. Kamu ngapain aja anjir, jam segini baru balik?!" Matanya melotot pada Anes yang tengah menautkan alis.

"Cuma ngobrol-ngobrol doang di bar. Nggak aneh-aneh, kok. Sekalian pamitan, katanya Hamdan bakal langsung balik ke Surabaya." Anes bangun dan duduk menghadap Nadir.

"Loh, kupikir Hamdan dari Bandung. Bukannya dia satu kampung juga sama Roni?"

"Iya, Nad. Hamdan emang tinggal di Bandung. Tapi, semenjak pisah sama istrinya. Dia tinggal di Surabaya."

"Kata siapa?"

"Hamdan cerita banyak soal dirinya tadi. Ternyata dia terbuka banget. Seneng, deh!" Anes cengar-cengir sambil mengatupkan tangannya di dada. "Oh iya, pas aku tinggal di kafe tadi. Kamu langsung pulang?"

Mendapat pertanyaan itu pikiran Nadir melayang untuk mengingat kejadian kemarin. Seingatnya, ia bertemu Baskara di sana. Tidak, laki-laki itu yang menemuinya.

"Heh! Malah melamun." Anes mengibaskan telapak tangannya di depan muka Nadir.

Gadis itu mengerjap. "Niatnya mau pulang langsung, tapi ada yang nahan."

Sebelah alis Anes terangkat. "Siapa yang nahan?"

"Kemarin, Baskara tiba-tiba dateng pas kamu pergi."

"Serius? Baskara dateng? Dia ngapain?" Anes antusias sekali mendengar Baskara menemui Nadir.

Nadir tidak menyangka akan diberondong dengan beberapa pertanyaan yang di luar nalarnya. Ia kembali mengingat potongan-potongan kejadian di kafe dan menceritakannya pada Anes.

Ia ingat saat Baskara tiba-tiba menahan tangannya saat ia hendak berdiri.

Nadir kembali duduk dan melepaskan tangannya dari Baskara. Laki-laki itu menempati posisi Anes. "Maaf mengagetkanmu. Saya daritadi melihat kamu, tapi tidak berani menghampiri karena takut mengganggu kamu yang sedang asik mengobrol."

Baskara tersenyum setelahnya. Nadir menatap tanpa ekspresi. "Oh." Hanya itu responnya.

Terlihat Baskara tengah memikirkan sesuatu. Ia tak kehabisan cara agar membuat Nadir mau berbicara lebih banyak dengannya. Laki-laki itu mencari topik lain. "Dengar-dengar, kamu suka makan."

Barulah Nadir memberi ekpresi. Alisnya terangkat sebelah. Bisa-bisanya laki-laki asing di hadapannya tahu soal itu? Pikirnya. "Dengar dari siapa?" tanya Nadir ogah-ogahan.

"Ada aja yang bilang. Kamu belum makan?"

"Belum."

"Bagaimana kalau kita pesan makan saja dulu? Kebetulan saya juga belum makan."

Nadir tidak menjawab. Ia menyilangkan tangannya di dada. Matanya menatap Baskara dan menunggu laki-laki itu berkata sesuatu lagi. Ia yakin, meskipun didiamkan manusia di hadapannya akan terus berbicara.

"Kamu ingin pesan apa?"

Nadir masih tidak merespon. Baskara tidak kehabisan kata.

"Ya sudah, saya yang pilih. Bagaimana kalau nasi goreng?"

"Nggak."

"Mie?"

"Nggak."

"Nasi pecel."

Nadir memutar bola matanya. Laki-laki ini pasti tidak tahu banyak soal menu yang ada di kafe. Pasalnya, nama-nama makanan yang di sebutkan tidak disajikan di sini.

"Nggak."

Baskara kembali berpikir. "Emh. Lalu, apa ya? Mie mau?"

"Aku bilang nggak ya nggak!"

"Ya, sudah kamu saja yang pilih ingin pesan apa, nanti saya pesankan ke kasir di sana."

"Aku emang suka makan. Tapi aku nggak suka makan sama sembarang orang. Permisi."

Kalimat terpanjang itu menjadi percakapan penutup Nadir dengan Baskara. Ia berdiri dan melenggang pergi dari kafe meninggalkan Baskara yang terkesiap dengan sikapnya.

Anes terperangah setelah Nadir selesai bercerita. "Kamu ninggalin dia gitu aja? Gila!"

Nadir hanya menggedik. "Dia itu orang aneh. Masa tiba-tiba selalu dateng gitu aja. Kesel aku."

Temannya menggeleng-gelengkan kepala dengan sifat ajaib Nadir. Bagaimana bisa gadis itu menyia-nyiakan kesempatan untuk memiliki hubungan dengan laki-laki. "Kamu itu jangan selalu cuek, Nad. Karma does exist. Ingat, loh!"

"Halah, karma. Karma. Mana ada karma."

"Nadir, nggak ada salahnya loh membuka hati. Udah keliatan banget kalau Baskara itu suka sama kamu. Sumpah, keliatan banget dari cara dia buat cari tahu tentang kamu."

Nadir mencoba memahami kata-kata Anes. Ia sebenernya tidak terlalu ingin membahas soal ini, tapi mau bagaimana lagi? Dirinya sudah terlanjur cerita soal Baskara pada Anes yang berujung dirinya diceramahi.

"Nad, coba dulu. Baskara pasti benar-benar mau kenal kamu lebih jauh. Kasih dia kesempatan, kalau memang nggak cocok. Ya, udah kamu suruh dia buat jauhin kamu."

Nadir mengangguk-angguk. Benar juga kata Anes. Tidak ada salahnya membuka hati. Kalau tidak untuk berhubungan ke arah yang lebih serius, mungkin bisa ke hubungan pertemanan.

Selama ini, Nadir tidak banyak memiliki teman laki-laki. Ia rasa tidak perlu berteman dengan laki-laki manapun karena sudah ada Anes dan Ratih. Ah, jangankan teman laki-laki. Teman Nadir itu musiman, kecuali Ratih dan Anes.

Musiman yang dimaksud adalah, ia hanya berteman dengan orang-orang yang dikenal di lingkungan tempat ia singgah.

Banyak yang mengira dirinya pendiam, maka dari itu ia tak memiliki banyak teman. Padahal, ia hanya terlalu malas berteman dengan banyak orang yang ujung-ujungnya 'geng-gengan' seperti masa sekolah dulu.

[]

Sengaja publisnya malem-malem. Nggak tahu biar apa.

Bandung, 2 Januari 2020, 23.57 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro