11 | pointed fingers

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[ interview changbin dan felix dilakukan pada
rentang waktu yang berbeda, namun ditanyakan oleh orang yang sama. kiri adalah changbin, dan kanan adalah felix ]







"jawab pertanyaanku," tanya chris sembari melipat tangannya. "apa yang mendasari keinginanmu untuk merundung kim seungmin?"

"tidak ada alasan khusus."

"aku hanya ikut-ikutan."

"hal seserius itu tidak mungkin terjadi begitu saja. izinkan aku mengulang pertanyaanku — apa yang mendasari keinginanmu untuk merundung kim seungmin?"

"setia kawan, sekaligus melampiaskan emosi."

"aku tidak ingin dicap sebagai seorang pengecut
oleh orang-orang disekitarku."

"apakah dengan merundungnya, kau menjadi lebih baik? apa yang kau rasakan setelahnya?"

"biasa saja. tidak ada perasaan apapun."

"tidak juga. namun sepertinya, menjadi seorang penakut masih lebih terhormat dibandingkan
menjadi seorang pengecut."

"apakah kau menyesal?"

"entah."

"mungkin."

"yang terakhir," chris mencondongkan tubuhnya ke depan, obsidiannya terpaku lurus pada remaja kelas dua belas yang tengah menunduk cemas. "apa ada pihak lain yang terlibat dalam kasus ini?"

keduanya terdiam.




P S Y C H O




derpaan angin malam yang cukup kencang tidak serta merta menggagalkan rencana jeongin dan jisung untuk menyusuri tempat dimana seungmin melakukan percobaan bunuh diri.

karena saat ini, tepat di atas jembatan sungai han, kedua anak manusia itu memilih untuk membuang seluruh ego mereka dan bekerjasama demi sebuah hasil yang maksimal.

"kau serius, belum pernah kesini?" tanya jisung yang baru selesai menyulutkan sebatang rokok.

"hmm," geleng jeongin santai, sedikit menjauh agar asapnya tak terhirup. "polisi menelfon keluarga kami saat hyung sudah dilarikan ke rumah sakit. tidak ada alasan bagiku untuk kembali ke tempat yang hanya dapat menggoreskan luka yang belum kering."

"but here you are."

semburat sarkasme mewarnai tawanya.

"bagaimana mungkin tempat sebesar ini sama sekali tidak memiliki cctv?" yang lebih muda mengalihkan pembicaraan.

"ada," jisung menunjuk ke beberapa tiang di sekitar mereka. "namun tidak berfungsi."

"tidakkah polisi sering berpatroli?"

"ini bukan dongeng, kim jeongin," jisung membuang kepulan asap yang bergemuruh di dada. "maka dari itulah aku tidak benar-benar mempercayai mereka. keparat-keparat itu tak sebaik yang kau bayangkan."

"t-tetapi tuan bang—"

"—ia terlalu polos. ibaratkan seorang malaikat yang berada di antara kerumunan para iblis. perlahan tapi pasti, ia akan tergoda kenikmatan dunia."

jeongin mengangguk paham. "lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"menggeledah ulang tempat ini. bisa saja, para polisi yang bertugas melewatkan sesuatu . . . entah sengaja maupun tidak," lanjutnya santai, lalu membuang sisa puntungnya ke sungai yang tercemar. "kau bisa pergi ke arah timur, dan aku akan menyusuri ke arah barat. apapun alasannya, kita bertemu lagi di titik ini dalam kurun waktu satu jam."




P S Y C H O




jam swatch di tangannya menunjukkan pukul sebelas tiga puluh malam. itu artinya, ia hanya memiliki sisa waktu lima belas menit sebelum diharuskan kembali menuju titik pertemuan.

menatap kearah sungai yang begitu deras, jeongin tersenyum lirih dan bergumam, "apakah saat hyung terjatuh ke dalam sana . . . rasanya begitu sakit? apa hyung menyesal?"

ia menghela nafas panjang.

"atau mungkin, hyung tak pernah benar-benar ingin melakukannya? ah, sepertinya aku mulai gila."

aku harus mencari lagi. perjuangan kami tidak boleh berakhir sia-sia — sekalipun nyawaku taruhannya, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

tuk, tuk, tuk . . .

langkahnya semakin memberat. kini jeongin berada dibawah kolong jembatan, yang menurut keterangan pihak kepolisian, hanya berjarak beberapa meter dari tempat sang kakak ditemukan.

medan yang begitu gelap dan sunyi membuat senter yang berasal ponselnya telah menyala terang. jika ia lengah sedikit, maka besar kemungkinan untuk jatuh dan terkilir. laki-laki itu hanya mampu berharap jika pencariannya akan membawa hasil.

menatap rerumputan disekelilingnya, jeongin terus mencari dan mencari hingga sebuah gundukan pasir menarik minatnya. bagaimana mungkin pasir yang berada di pesisir sungai, secara alami terlihat seperti galian bekas tangan manusia?

"apa ini?" remaja itu berjalan mendekat, tubuhnya sedikit gemetar.

segera, jeongin membuka kunci layar ponselnya dan menelepon sang kaki tangan yang sepertinya masih berkutat di atas jembatan.

"halo, jeongin? kau baik-baik saja, kan?"

"aku melihat sebuah gundukan pasir yang besar dan aneh — bekas galian, mungkin?"

suara jisung berubah parau. "apakah kau yakin?"

"hmm."

"apa kau membutuhkan bantuanku untuk menggali gundukan pasir itu kembali?"

"aku bisa melakukannya sendiri," geleng jeongin tak sadar. "tetapi . . . kumohon jangan putus sambungan ini."

"iya, iya. aku disini. aku tidak akan meninggalkanmu sendiri. sekarang, gali dan beritahu padaku apa yang kau temukan."

meletakkan ponselnya di tanah, jeongin menghela nafas kasar dan mulai menggali. beruntung, cuaca yang dingin memaksanya untuk memakai sepasang sarung tangan yang kini dapat melindunginya dari penempelan sidik jari.

seperti yang jisung katakan — tidak ada seorangpun yang dapat ia percaya di dunia ini, bahkan termasuk dirinya sendiri.

menghiraukan keringat yang mengucur dari pelipis, jeongin terus melesakkan kedua tangannya ke dalam tanah, hingga jemarinya bertegur sapa dengan seikat tekstil yang berhasil ditarik dengan mudah.

menatap benda itu kaget, jeongin segera mengambil ponselnya kembali dengan manik yang membulat.

"han jisung . . ."

"kau sudah melihat isinya?"

"a-aku menemukan sebuah tali sepatu," laki-laki itu tak lagi mampu bersua. "tali ini . . . persis seperti tali sepatu milik seungmin hyung yang ia kenakan pada malam kejadian. aku tahu, karena sepatu itu adalah kado ulang tahun pemberianku."




P S Y C H O




changbin berusaha memutus kontak matanya, seakan-akan lantai yang sedang ia pijak adalah satu-satunya hal yang paling menarik untuk diamati.

felix menggigit bibir bawahnya gundah. tak ingin terjebak, namun dirinya sudah terlanjur jatuh dalam perangkap sang musuh.

"aku tahu, kalian tidak sendiri."

pada akhirnya, kedua insan itu hanya mampu mengangguk pasrah. karena sejatinya, sifat alamiah dari mekanisme pertahanan diri manusia adalah berusaha untuk terus bertahan — sekalipun harus menyangkal dan saling menyalahkan.

"hwang hyunjin."

"hwang hyunjin."

dan chris tersenyum puas.














author's note:
aku kembali! sampai sini ada yang berniat untuk berteori? apakah masih sama seperti teori-teori yang sebelumnya? 🤔🤔🤔 oh ya, jangan lupa pakai masker setiap berpergian & sebisa mungkin tetap di rumah! jaga jarak, stay safe! 💖

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro