🌙 Duabelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bekal makanan kami telah kami simpan kembali ke dalam tas masing-masing. Ada beberapa orang yang menyisakan bekalnya ada juga yang tidak menyisakannya sedikit pun, itu aku. Erlya menyisakannya. Katanya itu untuk bekal sewaktu-waktu ia mulai kelaparan lagi. Aku tahu itu, mengingat 12 jam dan hanya membawa sebuah bekal agar tidak terlalu berat itu cukup kurang.

Aku sudah bersiap dengan semua perlengkapanku. Beberapa belati dan tas punggung yang diberikan Kinara sudah kusampirkan. Hampir semuanya kulihat juga telah siap. Ya, beberapa diantaranya ada yang belum siap. Salah satunya adalah Bon.

Kuhampiri ia yang sedang berusaha berdiri dengan tongkat bidainya.

Ia memberengut, mungkin karena rasa nyerinya yang kian menyakitkan atau rasa kepayahannya untuk berdiri.

"Bon, mau kupapah? Kita harus segera bergerak."

Bon mengangkat kepalanya kepadaku, menatapku sejenak kemudian menunduk lagi. Ia tengah berusaha berdiri sempurna.

"Tak apa. Aku akan mencobanya dulu."

Dia berujar singkat tanpa menatapku. Hal itu membuatku sedikit kesal. Kupanggil Erlya dan segera kutarik tongkat Bon hingga ia terjatuh. Ia mengaduh kepadaku tapi tak kugubris.

Kuserahkan tongkat Bon yang kuambil pada Erlya. Tanpa mendengar celotehan marahnya kepadaku, kupapah dirinya dan membekap mulutnya yang mengomel. Aku tahu ini cenderung kasar tapi aku memang sudah tak tahan terhadap tingkah sok kuatnya yang berulang kali ia lontarkan saat mengomel.

"Kau jangan meremehkanku. Karena gadis yang kau remehkan ini sudah biasa bekerja serabutan seperti halnya lelaki. Aku bisa mengangkat sendiri sekarung beras yang kubeli dari pasar."

Setelah mengatakan itu aku memapah Bon berjalan dengan sedikit kasar kemudian mengajak yang lainnya. Kami sudah siap jadi tak perlu ditunggu lagi.

Saat aku memapah Bon, aku merasa tidak kepayahan. Mungkin kerja kerasku saat di wilayah gelap cukup berguna di sini. Toh, lagipula aku cukup yakin letak laboratorium itu tidak-lah jauh. Memang tidak ada yang memberitahuku seberapa jauh letaknya, hanya keyakinanku yang berbicara dan aku yakin itu.

Semakin kau yakin pada sesuatu, sugesti akan terbentuk dan itu akan terkabul secara tidak langsung. Itu yang pernah ibu katakan padaku.

"Aku tidak ikut."

Suara itu membuat kami menoleh—Lumine, Helena-Jelina, Erlya, Bon dan aku. Si pengucap kalimat horor lain itu adalah Orleya.

Ia menunduk menghadap kami. Sepertinya ia tidak berani menatap kami yang tengah memandangnya tak percaya. Tangannya ia ayunkan dan mainkan di belakang tubuhnya. Seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

"Apa maksudmu?"

Pertanyaan Lumine singkat tapi menurutku mampu membuat semua orang tergagap. Ia mempunyai suara khas yang mampu membuat seseorang terdiam. Seperti suara yang mempunyai kekuasaan. Suaranya juga mengingatkanku terhadap seseorang di Istana yang kupikir lebih jauh berkuasa dari pada raja. Apakah Lumine replikanya?

"Seperti yang aku bilang, aku tidak ikut."

Orleya mengulang ucapannya, tetapi kali ini ia mengangkat wajahnya. Pada awalnya ia menatapku kemudian beralih pada si empu penanya, Lumine.

"Aku tahu itu. Jadi, apa alasanmu?"

Orleya menghela napas sejenak kemudian berjalan mendekati Lumine. Aku merasa ia jadi membuang-buang waktu.

"Aku ingin tinggal di sini. Aku tidak mau mati sia-sia dengan jebakan-jebakan aneh profesor gila. Aku akan menunggu pasukan istana saja menjemput."

Lumine balas menatap dari bawah hingga ke atas lalu kembali lagi ke tangan yang Orleya sembunyikan. Ia kemudian tersenyum miring.

"Oh, baiklah terserahmu."

Aku melihat Lumine yang kemudian melangkah duluan dan membuka pintu yang hendak kami tuju. Ia memerintahkan kami untuk segera bergerak mengikutinya.

Aku mengangguk lalu meminta Erlya berjalan di depanku. Kami memasuki pintu secara bergantian. Dengan sengaja, aku dan Bon masuk paling akhir. Kuintip Orleya sebelum benar-benar menghilang dari pandanganku yang tertutup pintu. Aku melihatnya gemetaran.

Kami memasuki pintu itu dan menemukan lorong lagi, baunya seperti jamur-jamur dan apek yang tidak bisa kujelaskan. Lumine yang berada paling depan menyalakan lilin dan kami yang di belakang, mengikutinya perlahan.

"Sebenarnya siapa pun yang memilih tinggal tidak mengikuti kelompok ini. Akan mendapatkan hukuman," bisik Bon kepadaku secara tiba-tiba. Aku tak mengerti mengapa ia berbisik.

Namun, aku menjadi mengerti ketika tiba-tiba Lumine meminta kami diam. Tidak bergerak atau pun bersuara. Kami hanya bisa mematuhinya karena ia yang berada di posisi paling depan.

"Mereka akan dianggap berkhianat karena melalaikan misi untuk-"

Bon berbisik sekali lagi, tapi kali ini aku membekapnya begitu mendapat tatapan tajam Lumine.

Lumine mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah sapu tangan yang kemudian ia bakar dengan lilinnya. Lilinnya ia matikan menjadikan lorong kecil ini sangat gelap. Hanya bermodalkan sapu tangan terbakar yang cahayanya akan segera padam, aku masih bisa melihat sedikit wajah Lumine.

Tak lama kemudian ia melempar sapu tangan itu ke depannya. Dan wush ...

Api menyala besar memenuhi jalan lorong yang berada di depan kami. Apinya tidak sampai mendekati kami, entah bagaimana itu bisa terjadi.

"Bau jamur tadi adalah samaran sebuah minyak yang mudah terbakar. Jika kita menjatuhkan lilin ke lorong depan kita ini. Kita bisa hangus terbakar."

Kami mengangguk-angguk paham. Tapi apa hubungannya dengan kami yang disuruh diam?

"Setelah ini padam, kita harus bersiap lari. Karena makhluk kecil aneh itu akan segera menyerbu kita. Dan jangan terlalu menempel ke dinding!" peringatnya. Aku pun menjadi agak menjauhi dinding. Aku tak tahu apa yang dimaksud dengan makhluk kecil aneh, aku hanya bisa percaya padanya.

Kupegang erat-erat Bon, aku juga harus bersiap untuk berlari. Bon melirik ke arahku.

"Kau bisa meninggalkanku di sini. Lagipula jika aku mati, aku tidak akan disebut pemberontak dan hutangku akan lunas."

Mendengar hutang lunas saat mati entah mengapa aku jadi sangat kesal. Bagaimana mungkin hutang bisa lunas jika seseorang mati! Itu malah tidak bertanggung jawab!

"Bon! Kau keterlaluan! Tidak akan ada hutang apapun yang lunas jika kau mati! Aku tidak tahu hutangmu berupa nyawa atau apa. Tapi jika kau mati, kau adalah orang yang tidak bertanggung jawab!"

Bon menatapku lekat-lekat. Tatapannya yang seakan baru mengerti juga membuatku kesal. Kubenturkan kepalaku kepadanya agar dia sadar ucapan yang ia katakan.

"Bodoh! Bodoh dasar bodoh!" makiku yang sangat kesal kepadanya.

Seseorang memegang tanganku, menghentikan tindakanku yang membenturkan kepalaku pada kepala Bon seraya memakinya.

"Cukup Triste. Kita harus segera berangkat. Api sudah mulai padam."

Aku menoleh padanya, ia menatap wajahku untuk meyakinkanku.

"Kau dapat memarahinya dan memakinya nanti. Kau harus segera sampai di laboratorium. Kurang lebih sudah hampir enam jam berlalu bukan?"

Aku mengangguk ragu-ragu. Bagaimana pun juga ucapannya memang benar. Waktu yang diberikan untuk menyelesaikan misi ini semakin habis.

Lumine memberitahu untuk siap berlari dalam hitungan ketiga. Kupegang erat bahu lebar Bon. Aku siap.

Satu ...

Dua ...

Tiga!

Kami berlari cukup cepat. Aku sempat mengintip ke belakang, tak lama kemudian muncul sesuatu yang mengerumun dan berusaha mengejar kami.

Aku berlari dan terus memapah Bon yang cukup berat. Aku tahu beberapa kali ia sempat mengaduh kesakitan karena kakinya itu. Tapi tak ada pilihan lain bukan?

"Ambil jalan kanan!" teriak Lumine di ujung percabangan jalan.

Otakku tidak mau mencerna alasan apa yang dipilih Lumine untuk memilih lorong sebelah kanan. Aku hanya tahu kalau lariku begitu lambat hingga aku mendengar bunyi gemerisik kerumunan serangga aneh itu di belakangku. Akh, sial!

Profesor gila! Kau menyusahkan keturunanmu! Aku ingin mengutukmu!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro