.DuaPuluhDua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

HAL yang tidak akan mudah bagiku untuk tidak emosional ketika dipinta menceritakan apa saja yang terjadi selama di labirin dalam keadaan kurang tidur.

Mulai dari terpisahnya teman-teman timku, lalu kaki Bon yang putus, pertengkaran Lumine dengan Bon, Velothia yang mengawasi sejak awal melalui adikku, Lumine yang pergi dahulu, tewasnya adikku, hingga mencapai laboratorium bertemu dengan Eildia dan menyadari kalau langit wilayah gelap tidak seperti itu semulanya.

Semua perasaan emosionalku tumpah ruah. Rin terlihat sedikit merasa bersalah dengan memintaku bercerita saat ini. Ini karena aku jadi tidak nafsu makan.

"Kau tahu Rin, leluhurku itu brengsek. Dia tidak memikirkan manusia lainnya, ia hanya memikirkan dirinya. Lalu melimpahkan semua tanggung jawabnya ke keturunannya."

Sesekali aku menjadi cegukan dan Rin mengambil mangkukku, menaruhnya di meja, dan memelukku.

"Velothia juga, jika sejak awal dia tidak terlalu mencampuri hidupku, dan segala hal keambisiusannya...."

Aku menjeda ucapanku, teringat dengan semua hal yang diperbuat Velothia yang sebelumnya kupendam, membuat nadaku seperti meninggi.

"Hidup orang yang kusayangi tidak akan seperti itu! Setidaknya aku bisa menyelesaikan ini tanpa perlu orang yang kusayangi menjadi korban!"

Mungkin aku tampak tidak karuan, Rin mengusap-usap punggungku secara berulang.

"Sudahlah, Kak Triste sudah. Sekarang kau di sini bersamaku, memakan sup jamur dan hidup. Kita harus bersyukur."

Aku berusaha menghentikan tangis yang terus terurai dan bangun menghadap Rin karena memyadari sesuatu.

"Kau harus pergi, kau tidak boleh bersamaku Rin. Kau harus pergi! Velothia akan menjadikanmu korban, dan aku tidak tahu lagi tanggung jawab apa yang dilimpahkan kepadaku oleh leluhurku. Kau harus pergi Rin!"

Aku mencoba bangkit, dan mendorong Rin pergi ke luar rumah. Aku tidak bisa membiarkannya berada di dekatku. Bisa bisa Rin menjadi seperti orangtuaku, dan Erlya. Aku bodoh telah mengajaknya ke sini. Kenapa aku baru sadar sekarang?

Rin menyuruhku berhenti menangis tetapi aku tidak bisa dan tangisku malah menjadi. Rin pun mulai ikut menangis bersamaku. Kami jadi berpelukan sembari terduduk di depan pintu.

Tangis kami akhirnya berhenti ketika kami menyadari sudah menelan begitu banyak waktu.

"Kau la-lapar, Rin? Akan aku bawakan makanannya lagi. Sekarang, pergilah mandi dulu."

Aku bangun dengan gemetar, sepertinya kelelahan karena menangis hingga sore. Namun, aku tahu, aku tidak boleh lemah seperti ini. Sudah cukup tangisku tadi mewakili segala kelemahanku. Aku harus bangkit dan hidup. Aku harus menjernihkan pikiranku dengan berhenti memikirkan yang terjadi.

Aku beranjak dari lantai, tetapi ujung kausku ditarik Rin. Terasa sedikit Deja Vu yang menyakitkan. Aku menoleh dan tahu yang menarik kausku bukan Erlya, tetapi Rin.

"Jangan pergi, kak Triste. Di sini gelap. Aku takut."

Rasa bersalah karena harus menjadikan adikku umpan saat itu juga menyeruak kembali. Aku segera melepaskan tangan Rin dan berlari ke arah dapur tanpa pencahayaan. Aku merasa membutuhkan waktu sendiri untuk menenangkan diri.

***

Aku sudah kembali membawa nampan yang berisi dua piring. Menunya tidak lagi sup jamur, tetapi tumis jamur dengan beberapa bahan lainnya. Rin tidak mau makanan sintetik. Jadi aku tidak memberikannya nasi sintetik yang biasa kumakan.

Namun, ketika aku ke ruang tengah aku mendapati Rin yang tertidur pulas dengan wajah yang berlepotan ingus di sofa dekat perapian. Ia meringkuk di sana. Aku jadi menyesal meninggalkannya tadi.

Pelan-pelan aku membangunkan Rin, menyuruhnya mandi, tetapi karena ia tidak kunjung bangun aku menggendong Rin dan membawanya ke kamar mandi. Aku sudah merasa kalau Rin tidak akan tahan dengan air dingin kota Gris. Jadi, sudah kupersiapkan air hangat untuk Rin. Di depan lantai kamar mandi yang dingin, Aku mendudukkan Rin yang tidur seperti orang pingsan dan membangunkan dengan sedikit kasar untuk mandi. Ia pun bangun dan kutunjukkan kamar mandi yang sudah dipasangi lilin, jadi Rin patuh untuk segera mandi.

Selagi menunggu Rin yang mandi, aku menyalakan beberapa lilin lagi untuk menerangi rumahnya. Biasanya cukup perapian saja yang menyala, karena keluarga kami sudah terbiasa. Namun, Rin tidak. Maka, lilin-lilin untuk penerangan memang diperlukan.

***

Rin dapat kembali ke ruang keluarga dengan baik. Kedatangannya pun memecahkan lamunanku dari geliat api perapian.

"Tak apa, kau tak usah merasa bersalah," katanya tiba-tiba padaku. Aku terdiam ketika ia juga meminta maaf atas sifat kekanakannya tadi. Namun, aku segera menarik Rin untuk segera duduk di sampingku dan berganti aku yang meminta maaf karena terbawa emosi saat Rin menarik ujung kaosku. Aku berkata jujur teringat dengan Erlya.

"Kak Triste...." Rin terdiam sebentar. "Sudah, kita tidak boleh menangis," katanya lagi yang langsung mengambil piringnya untuk makan.

Kami menyelesaikan makan malam kami dan kemudian berencana berdiskusi dengan sebuah peta dunia Quartam dibentangkan di lantai dekat perapian.

"Sembari makan, akan aku jelaskan kemungkinan yang terpikirkan olehku di mana perginya Lumine. Bibimu."

Aku menunjukkan pulau cahaya, satu-satunya wilayah terang yang dikelilingi oleh laut, dan wilayah gelap disekitar pulau cahaya.

"Saat aku berada di ingatan Eildia--robot penjaga labirin leluhurku--ada sebuah tempat seperti gudang yang menyimpan benda yang disebut roket. Ruangan itu temaram, ada lampu tetapi tidak terlalu terang."

Triste mengambil napas. "Aku menduga itu di wilayah gelap. Tak jauh dari labirin yang leluhurku buat untukku. Letak labirin itu berada di sekitar kota Tuffaki. Dekat dengan Griss ini."

Rin mendengarkan dengan seksama. "Oh, tambahan juga. Sebenarnya leluhurku juga mengkhususkan leluhur Lumine. Atau bisa dibilang leluhurmu juga, Afert.

"Jadi, aku membutuhkanmu untuk mengakses gudang itu dan menemukan Lumine."

"Tunggu Triste, kau mengatakan hal memusingkan. Aku simpulkan sendiri. Apa seperti ... Di ingatan Eildia, ada gudang yang berisi roket, kau menduga bibiku pergi ke sana. Dan karena hanya bibiku yang diberi akses itu karena leluhurku, kau pikir aku juga bisa ke sana karena aku dan Lumine masih dari keturunan leluhur yang sama. Apa begitu? Memangnya kau tahu cara pergi ke sana? Kau bilang, Lumine mendapatkan tangan robot Eildia. Lalu aku bisa apa?"

Aku mengangguk, mengiakan

"Kau tahu di labirin itu, aku bertemu dengan siapa? Aku bertemu dengan jasad ayahku yang telah hilang hampir 15 tahun. Dia masuk melalui jalur labirin yang berbeda. Aku menduga, itu lewat rumah profesor Welde, leluhurku.

"Ayahku, sebelum pergi, berpamitan untuk mencari sesuatu di kota Marroiak. Jika ia ditemukan di labirin itu melalui jalur lain. Kupikir jalur lain itu masuk dari kota Marroiak."

Rin sudah menghabiskan makanannya. Lalu mengelap bibirnya dengan tangan dan mulai bicara.

"Lalu, apa hubungannya dengan letak gudang roket?"

"Kita harus menemukan rumah profesor Welde dulu. Mungkin, di sana ada petunjuk mengenai letak gudang itu."

Rin mengangguk-angguk setuju.

"Karena ini sudah malam, ayo kita tidur dulu. Besok kita harus pergi pagi-pagi ke pasar, membeli perbekalan. Lalu, memesan kereta."

Rin menyela, "kereta kau bilang? Yang ditarik oleh manusia?"

Aku mengangguk. "Benar, memangnya yang mana lagi? Tidak ada kendaraan selain kereta. Hewan terlalu mahal untuk digunakan bekerja."

Rin mengangguk-angguk lagi, sepertinya baru tahu. Aku memaklumi itu karena selama ini ia hidup di pulau cahaya, memang tidak ada kendaraan, itu karena tempatnya kecil dan kemana pun ia pergi sudah cukup dengan jalan kaki.

Aku kemudian menawarkan Rin tidur di kamarku.  Aku sudah selesai menata semua barang berantakan bekas geledahan. Dan menemukan tidak ada banyak barang yang hilang karena kami pada dasarnya tidak memiliki apa pun. Hanya surat-surat penting yang selalu kubawa sebagai penanggung jawab rumah.

"Tidak. Aku tidur di sofa saja. Aku masih takut dan belum terbiasa dengan semua kegelapan ini."

Rin berkata sembari merapatkan selimutnya.

"Tenang saja, meskipun di sini gelap yang seolah akan memakanmu. Ingatlah kau tidak sendirian. Ada aku, yang akan menyalakan lilin untukmu."

"Itu terdengar romantis Triste."

"Hei, kau belajar kata itu dari mana. Dan tunggu, ini karena aku bertanggung jawab sebagai kakak. Ini tidak romantis, ini lumrah. Dan panggil aku kakak." Aku tidak melewatkannya kali ini. Mungkin Rin terbiasa memanggil nama seseorang tanpa embel-embel.

Rin meringis. "Baiklah, baiklah kak Triste. Aku hanya bercanda. Aku akan tidur. Selamat malam."

Rin memejamkan matanya, berusaha tidur. Aku pun kemudian beranjak dari sofa dan membereskan piring serta peta yang tergeletak di lantai. "Aku akan membereskan ini dulu. Tidurlah dulu, aku tidur di lantai nanti."

Rin mengiakan, ia tahu kalau aku tidur di lantai beralaskan dua selimut tebal jadi ia tidak terlihat bermasalah mendengarku berkata demikian.

Tok ... Tok ... Tok....

"Triste? Kau ada di dalam?"

Sebuah suara mengagetkanku dan Rin. Rin terlihat gemetaran saat menatapku, ia takut kalau tamu itu tamu aneh-aneh yang mau merampok rumah ini atau bila tidak mungkin saja penagih utang atau apa pun itu. Namun, manusia apapun tidak semenakutkan monster yang pernah kutemui

Lantas aku mengeluarkan sesuatu dari kaos yang menutupi pinggang. Sebuah belati ramping.

"Tetap di belakangku Rin. Kita tidak tahu siapa di luar. Wilayah gelap adalah tempat bahaya. Selain hewan-hewan pengerat gila yang kadang berhasil menembus rumah. Ada manusia-manusia gila yang demikian juga."

Rin memegang erat ujung belakang kaosku. Ia memgekoriku yang beranjak dan siap menerjang kapan saja dengan belati ketika pintu akan dibuka.

"Siapa?" tanyaku menyudahi panggilan tamu tersebut.

"Ini aku Bon!"

Aku terperanjat dan batal bersikap was was. Dengan segera aku membuka selot mata untuk memastikan sekali lagi.

Mata hazel yang sama. Kemudian dengan segera aku membuka selot yang lain dan gembok yang lain. Aku sudah mengganti gembok dan selot yang dirusak tetanggaku. Keluarga kami memang sudah mempersiapkan semuanya karena hal seperti kemalingan, dan perampokan kerap terjadi.

Namun, untuk membuka gembok yang terakhir. Rin yang ternyata sudah di sampingku, tiba-tiba mencegahku

"Kau berkata kau membencinya karena ia yang menyuruh memenggal kepala orangtuamu. Dan juga, ia-lah penyebab bibiku berpisah dari kelompok."

Rin memegang erat tangan kiriku di gembok yang terakhir. Ia menatapku tajam dengan sorot yang tidak kumengerti.

~
Akhirnya simpanan sudah up semua. Untuk yang selanjutnya adalah bagian dari kegiatan mwm. Jadi mungkin rentan tipo parah dll. Mohon ditunggu ya :"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro