.DuaPuluhTiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

AKU membeku. Sedangkan Rin tidak mau melepaskan tangannya. Ia bersikukuh.

"Kau masih akan tetap membukanya?"

"Dia sudah banyak membantuku,"kataku sembari menatap Rin.

Hening sejenak dengan tangan yang masih saling tertahan.

Rin akhirnya mendesah cukup keras dan kemudian melepas tangannya lalu berlalu kembali ke ruang tengah. Melihat kalau Rin sudah mulai menerima, dengan segera aku membukakan pintu dan mempersilakan Bon masuk.

Bon melangkah pincang dengan kaki palsunya, sepertinya ia masih kesulitan dan sedang mati-matian beradaptasi.

"Bon." Aku memegang bahunya tetapi ia menolak, jadi aku berjalan di belakang Bon ketika ia melangkah pelan ke sofa ruang tengah.

Ada Rin yang duduk menekuk lutut di sebelah ujung paling dekat dengan perapian.

Aku sengaja meminta Bon untuk tidak duduk dekat dengan Rin yang membelakangi kami. Di tengah keheningan itu, aku kemudian memutuskan mengenalkan Rin sebagai keponakan Lumine pada Bon. Hal itu tentunya membuat Bon sangat terkejut.

Aku yang mengetahui permasalahan mereka tidak mampu berbuat apa-apa selain hanya mampu menawarkan Bon minuman hangat tetapi ditolak atau mengajak Rin tidur di kamar bersama yang sama-sama ditolak. Aku jadi cukup bingung dengan tujuan Bon ini kemari yang kini hanya saling diam bersama Rin.

"Apa tujuanmu kemari?" Rin tiba-tiba bersuara, tetapi badannya masih tidak menghadap ke arah kami.

"Maaf sebelumnya mengganggu waktu tidur kalian. Begini, ada hal serius yang ingin kubicarakan."

Bon akhirnya mengeluarkan sesuatu dari balik jaket tebal berwarna hijau tuanya seperti semak di kegelapan itu.

"Ini surat khusus untuk diberikan kepadamu Triste. Kau akan mendapatkan keistimewaan saat nanti di pengungsian yang akan dibangun di dekat kota Tuffaki. Surat ini adalah perintah nyonya Velothia."

"Lalu, Nyonya Velothia lusa akan pergi ke wilayah gelap bagian kota Marroiak untuk mencari rumah Professor Welde. Ini terkait surat wasiatnya."

"Ada apa dengan surat wasiatnya?"

"Surat wasiatnya terlalu aneh dan kasus kematian profesor Welde dibuka kembali. Yang sepertinya bunuh diri, beralih menjadi pembunuhan."

Aku dan Rin tersentak. Kami baru tahu kalau Profesor Welde bunuh diri, lalu status penyebab kematian berganti menjadi pembunuhan. Kukira dia selama ini sakit karena penyakit tua. Meski aku adalah keturunannya, tetapi dari keluarga Ayah memang tidak ada yang berumur panjang hingga sanggup menceritakan hal yang sebenarnya terjadi. Lebih tepatnya keluarga ayahku memang tertutup.

"Berdasarkan akuan seorang saksi yang disuruh tutup mulut saat itu, profesor Welde ahli berenang. Sangat aneh jika profesor yang dapat berenang bisa tewas karena tenggelam. Meski mungkin saja ia sengaja menenggelamkan diri, tetapi itu aneh."

Kesimpulan yang meluncur dari Bon membuatku semakin tercengang. Memang cukup masuk akal bila ada hal yang terjadi seperti itu. Banyak skenario pembunuhan yang bisa saja dilakukan.

"Kau memberitahukan informasi mengenai nyonya Velothia sedangkan kau seharusnya hanya memberikan surat hak istimewa itu. Jadi, apa tujuanmu sebenarnya?" Rin cukup kritis menanyai Bon. Dalam satu waktu ia terlihat seperti gadis kecil yang lucu. Dalam satu waktu kini dia terlihat lebih dewasa berkat pengetahuannya yang tinggi ini. Rin dan Lumine sama-sama berpengetahuan luas.

"Benar. Aku menyarankan untuk kita ikut pergi ke Marroiak dulu. Tidakkah kau juga perlu tahu? Kurasa kalau kau menunggu informasi dari Velothia, bisa saja ia memperdayai kita."

Bon berkata sembari menghadap padaku yang tengah duduk di tengah. Aku terdiam cukup lama memikirkan kemungkinan hal itu memang akan terjadi demikian.

"Sebenarnya kita memang berencana ke sana,"kataku akhirnya. "Kami berdua berencana mencari Lumine. Kami menduga ia ada di Marroiak."

"Triste!" sergah Rin. Aku pun menoleh pada Rin yang menatapku tajam.

"Tidak apa Rin. Percayalah padaku seperti kau percaya mengikutiku kemari."

"Tapi, bagaimana bisa aku percaya padanya ketika ia tahu rumahmu dan bertugas mengirimkan surat pindah itu! Bukankah lebih baik menyuruh orang lain karena dia pincang seper-" Rin mengatup mulutnya, ia sepertinya sadar dirinya telah berkata keterlaluan. Aku menghela napas dan Rin kemudian langsung meminta maaf. Bon tidak cukup baik menanggapinya, kuduga ia terpelatuk dengan omongan Rin barusan.

Bon menjelaskan kalau ia yang memaksa mengambil bagian untuk mengirim surat ini--katanya ia beralasan ingin berlibur juga ke sini pada teman sejawatnya, terlebih alamat tempat tinggalku katanya sudah terdaftar. Aku sedikit heran, dari sekian banyak rumah di daerah gelap biasanya pendataan rumah di sini tidak terlalu apik. Aku belajar sedikit soal rumah tetangga kami yang katanya tidak pernah mendapatkan dana bantuan sosial sedangkan rumah kami sering mendapatkannya--ini juga alasan mengapa tetangga kami berusaha mati-matian ingin memiliki sertifikat rumah kami.

"Baiklah, kapan kalian berangkat?" tanya Bon untuk memecahkan keheningan ini.

Aku memberitahunya mengenai keberangkatan kami. Rin yang duduk membelakangi kami bangkit dan beranjak ke kamar. Aku dan Rin akan tidur di kamar dan Bon akan tidur di sofa. Ini karena kusuruh ia menginap akibat sudah jalan terlalu jauh dari pelabuhan untuk sampai ke sini.

Kuambilkan satu selimut lagi untuknya dan juga tidak lupa membakar sesuatu di perapian. Tidak lupa aku juga mengisi ulang minyak lampu petromak mini milik Bon dan milikku sendiri. Sebagai bekal persiapan.

Kami bertiga bangun pagi-pagi dan berangkat ke pasar bersama tanpa sarapan pagi karena kami berencana melakukannya di pasar sembari membeli perbekalan dan memesan kereta ke Marroiak. Usai berbelanja kami mampir di warung yang menjual sup. Kutanyai Bon apakah ia mau sup organik atau biasa. Ia menjawab biasa dan kupesankan dua sup biasa dan satu sup organik. Warung yang kami kunjungi ini adalah warung sup ikan, perbedaannya antara organik dan tidak berada di bahan bumbu masakan yang mereka pilih. Bisa bayangkan seperti apa.

Setelah itu kupinta mereka berdua untuk duduk di warung sampai aku selesai mencari penarik kereta yang bisa mengantar kami ke kota Marroiak. Karena di sini ada dua petromak besar dan kecil, kupinjam satu kecil milik Bon. Aku menemukan satu orang yang sedang beristirahat dekat dengan kereta. Dan katanya, satu orang pengemudi sedang sakit jadi hanya ada dua pengemudi yang membuat perjalanan kami mungkin baru akan tiba dalam 3 jam yang mana seharusnya bisa tiba barang 1-2 jam saja. Aku mengiakan dan membayar di muka 70 Qrutam yang mereka pinta. Jujur sepertinya ini agak terlalu murah.

Kami pun pergi bersama-sama ke dekat warung sup dan melihat Rin serta Bon mulai mengobrol seperti biasa. Aku tersenyum dan segera mengajak mereka naik.

"Hatsyii!" Rin bersin-bersin yang membuat ia menutupi separuh mukanya dengan kaos yang ia kenakan. Wajahnya memerah, dan aku pun memeriksa keningnya. Ia demam.

"Sepertinya kamu flu karena belum terbiasa dengan lingkungan di sini. Dan mungkin sedikit kecapaian. Kau bisa minum ini Rin. Aku tadi sudah membeli obat darurat."

Aku memberikan obat dan memberikannya pada Rin. Ia kemudian segera meminumnya dengan air. Ia pun tidur dengan meletakkan kepalanya pada pahaku. Kini tinggal aku dan Bon yang duduk berseberangan, dengan berbatasan perapian kecil di tengah untuk kehangatan kami.

"Dia anak yang dewasa dan sangat mandiri," katanya.

Aku setuju dengan perkataan Bon. Bocah berusia 8 tahun ini terbilang sudah cukup mandiri daripada seusianya. Ia pergi mencari bibinya, alih-alih pulang ke rumah kakeknya. Ini menunjukkan seberapa terikatnya dia dengan bibinya. Ia sangat menyayangi bibinya.

"Dan Triste ada yang ingin kuberitahukan padamu. Mengenai makam orangtuamu."

Aku mengerjapkan mata tak percaya. Bon kemudian memberitahuku kalau orangtuaku, Ibu dan Pak Amaranth yang harusnya tidak boleh memiliki makam, atas permintaan Velothia dimakamkan di pemakaman umum di pulau cahaya. Sedangkan ayahku, sempat ada perdebatan kalau Ayahku mungkin juga akan dimakamkan di pemakaman umum. Namun, Velothia katanya menolak. Ia memakamkan ayahku di kediamannya. Ini membuatku geram. Bagaimana bisa ia melakukan hal seperti itu sedangkan aku adalah anak ayahku, ia tidak meminta pendapatku.

"Bukannya aku mendukung apa yang dilakukan nyonya Velothia, tapi ada kisah yang mungkin tidak kau ketahui Triste. Antara Ayahmu dan Nyonya Velothia."

Aku mencengkeram celana kain di pahaku, meski aku tidak membalas ucapannya tetap saja jauh di dalam lubuk hatiku aku marah. Tidak peduli apapun alasannya. Tetap saja, kematian Ibuku dan Pak Amaranth karena Velothia.

"Nona, kita sudah sampai," kata pengemudi kereta.

Kubangunkan Rin dan sepertinya Rin adalah tipe anak yang susah sekali bangun. Jadi dia yang masih terlelap kuputuskan untuk kugendong dan turun dari kereta. Bon bisa turun sendiri meski kepayahan. Dan kami rupanya diturunkan di depan sebuah mesin telepon sepi yang dijaga beberapa orang. Ingatanku kembali menerawang pada masa lalu ketika ada seseorang yang menyeramkan mengangkat teleponku saat menghubungi pendeta Marroiak untuk pernikahan ibuku.

"Wah, ada turis. Jarang sekali mereka berhenti langsung di sini. Yah, mungkin pengemudi keretanya bukan pengemudi berpengalaman sehingga beraninya berhenti di sini." Seseorang yang berkata keras itu berbadan sangat besar. Ia maju mendekati kami. Bayanganku akan rupanya yang besar ditelepon dulu itu juga rupanya benar. Badannya sangat besar sampai-sampai bayangannya di tanah seperti seluas cahaya petromak kami. Dia sangat menakutkan. Meski tidak semenakutkan monster di labirin. Namun, tetap saja. Mereka lebih jahat daripada monster monster di labirin itu.

Dan dugaanku benar. Sepertinya memang pengemudi kereta tadi bukan pengemudi yang profesional. Pantas saja harganya tergolong murah untuk dua orang penarik saja. Biasanya bila ada kesempatan penyewa yang menerima segala kondisi, mereka akan menaikkan harga tarifnya.

"Jadi, ada pasangan muda. Wah dengan anak yang sudah berusia sekitar 8 tahunan saja. Datang ke kota ini?" Seseorang yang lain maju, tidak sebesar yang berada di tengah. Namun, yang ini malah mendekatiku dan aku mundur mendekat pada Bon yang kini berdiri saja tidak pernah seimbang.

"Apa yang kalian mau?" tanyaku sambil waswas sembari mengeluarkan belati di saku celana kiriku. Aku melakukannya pelan-pelan agar gendongan belakangku pada Rin tidak jatuh.

"Yah, bisa dibilang tiket lewat. 200 Qrutam mungkin."

Gila. Sebanyak itu?

Dua orang itu terus mendekati kami. Sedangkan yang satu lainnya berbadan paling kecil di dekat telepon itu tidak banyak bergerak.

"Kalian, berhenti,"katanya.

"Kalian harusnya belajar dari pasangan yang pernah lewat dulu."
Pria yang paling kecil itu tiba-tiba berlari cepat ke arahku. Ia seperti ingin mendorongku, tetapi aku berhasil ditolong reflek yang dimiliki Bon tetapi laki-laki itu memukul tanganku yang mengulur pada saku. Aku kehilangan keseimbangan, Rin pun terjatuh dan akhirnya terbangun. Sedangkan belatiku sendiri yang tersarung jatuh dan terpental.

"Nah, kan," katanya yang kemudian menendang belatiku lebih jauh lagi.

"Bos...."
Mereka berdua yang berbadan besar terperangah dengan orang yang dipanggilnya bos itu.

"Beruntung saat itu kita tidak sampai babak belur. Tapi kita kalah telak. Kali ini tidak lagi," kata si Bos yang membuatku kian mengernyit. Tanganku sakit, Rin menatap situasi dengan bingung, dan Bon yang tidak bisa berbuat apapun.

"Yah, beruntung juga kita tidak bertemu yang seperti mereka lagi," kata si bos. "Nah, jadi adik cantik. Mungkin biaya lewatnya jadi bertambah nih. Bagaimana dong?" katanya lagi padaku.

~
Ohok. Mwm resmi mulai. Semoga sebelum saya kkn. cerita ini masuk angka aman :")

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro