🌙 Limabelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kurang dari tiga jam sebelum batas waktu.

Kami sudah melanjutkan perjalanan di lorong ini. Velothia masih terus mengoceh tentang semua hal yang sejak awal didengarnya. Hingga pada titik kami menyebut namanya.

Bon terus menatap tajam ke arah Erlya. Ia terlihat sangat marah. Memang secara hakikat, Erlya tidak melanggar janji karena dari awal ia tidak pernah memberitahu siapa pun tapi Velothia mengetahuinya sendiri.

Namun, hal itu tetap saja membuat Bon—yang kupikir tidak percaya pada Erlya—menjadi lebih tidak percaya padanya lagi. Aku pun juga tidak menyangka mengapa Erlya bisa seperti itu? Aku sebagai kakaknya pun juga merasa terkhianati. Apa yang sebenarnya Velothia perintahkan pada adik kecilku ini?

"Velothia. Mengapa kau memberikan sesuatu seperti telepon genggam kepada Erlya untuk sekadar memata-matai kami?"

Benar, kata-kata itu tepat untuk kuberikan padanya. Setelah, apa saja yang terjadi dan ia hanya bergeming saja di tas Erlya.

"Awalnya Erlya tidak tahu kalau ini radio telepon jalan kok. Aku hanya berpesan padanya jika waktu sudah kurang dari 4 jam dan ada yang menyebut namaku. Tunjukkan radio ini."

Oh jadi benda kotak berantena itu dinamakan radio. Kukira telepon-telepon yang berhasil disederhanakan seperti telepon genggam manusia yang dulu tinggal di bumi. Walaupun bentuknya kurang mirip karena milik manusia bumi dulu lebih ramping kata buku sejarahku.

Aku hanya bisa mendesah menatap punggung kecil Erlya di depanku. Ada apa ini? Mengapa ia tidak bercerita padaku? Ingin sekali aku menanyainya dan mengobrol empat mata dengan Erlya.

Setelah percakapan singkat itu, Velothia mengakhiri ocehannya. Sepertinya ia pergi karena ada yang memanggilnya perkara obat pengabul keinginan apalah itu.

Aku jadi teringat saat putri Asalda memasuki aula raja secara paksa.

"Bon, obat pengabul keinginan itu apa?"

Bon menoleh kepadaku, ia kemudian mengalihkan pandangannya sesaat setelah melihat wajahku. "Velothia sedang mengembangkan proyek buah biru. Buah itu dapat menyesuaikan apa kekurangan tubuh kita."

"Maksudnya?"

"Lebih baik sekarang kita memikirkan berbelok ke arah mana," ujar Bon sembari menunjukkan lorong yang bercabang menjadi dua.

Tahu-tahu kami sudah berhenti berjalan karena ucapan Bon. Di depan kami adalah lorong yang bercabang.

"Kita ke mana?" tanyaku.

Bon mengamati lorong-lorong dengan lampu yang menyala terang itu lekat-lekat. Lantai dan temboknya berdebu tetapi dapat kau lihat ada tetesan darah di kedua arah tersebut. Ini menyeramkan. Apa ini.

"Kita coba ke kanan dulu."

Aku mengangguk kemudian membawa Bon ke sana sambil memapahnya. Aku memegangnya cukup erat. Entah kenapa kali ini, aku agak ketakutan. Tak seperti kegelapan, di mana aku terbiasa. Cahaya dan terangnya lorong putih bernoda debu dan kotoran lainnya ini mengerikan.

Kami melangkah masuk ke lorong kanan. Tak jauh dari tempat percabangan, kami menemukan sebuah lubang besar di dinding yang besar dan pecahan kayu pintu yang terlihat habis dihancurkan.

Lubang itu hampir seukuran dengan lorong ini, beberapa panjang lebih kecil. Di balik lubang dinding sebesar itu kami menemukan ruangan yang lebih besar lagi. Berkali-kali lipat lebih besar. Namun, kamu tak memukan pintu atau jalan lain. Ini lorong buntu.

"Ayo kembali," ajak Bon setelah mengamati ruangan ini.

Erlya menarik lengan bajuku ketika aku hendak mematuhi ajakan Bon."Kak, itu!"

Aku mengamati lekat-lekat apa yang ditunjuk Erlya di sudut ruangan yang sangat besar ini. Sebuah aroma amis yang baru kusadari dan darah yang berceceran di lantai kuning karena debu dan kotoran.

"Sebuah tangan putus."

Ya, sebuah tangan! Benar-benar sebuah tangan kiri dengan kaos pakaian yang masih menempel.

Aku melihatnya ngilu. "I-itu...."

"Tangan Lumine."

Bon bergegas memintaku untuk mendatangi sudut ruangan ini. Aku sedikit tidak tahan, hanya bisa memalingkan muka. Bon berjongkok perlahan karena kakinya. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu yang bisa ia gunakan untuk membungkus. Ia membungkus tangan Lumine dan memasukkannya ke dalam tas.

"Semoga masih bisa disambung," ujarnya singkat.

Aku teringat perkataan kalau kita masih bisa menyambungkan anggota badan asal anggota badan itu utuh.Hanya bisa mengangguk kaku yang kulakukan saat Bon memasukkan tangan itu ke ranselku. Firasatku tidak enak. Kita harus bertemu Lumine sesegera mungkin. Sekaligus mencerna apa yang terjadi. Serangan monster apalagi kini.

Setelah itu, kami berjalan agak cepat beralih ke arah lorong satunya. Hingga kami mendengar suara teriakan dan sebuah lolongan.

Aku mempercepat papahanku pada Bon. Untungnya ia bisa mengimbangiku. Kami tiba di sebuah ruangan putih besar dan bernoda lainnya. Ceceran darah yang kami ikuti berasal dari Lumine. Kami yakin itu. Di sana kami melihat Lumine berada di dalam sebuah ruangan kecil yang pintunya perlahan menutup. Di sela-sela pintu yang akan menutup itu, Lumine menyadari keberadaan kami.

Ia berteriak,"cepat ke sini!"

Lalu lenyap dengan pintu yang tertutup rapat. Monster yang berada di dekat pintu logam itu mencakar-cakarnya. Namun tak berhasil, Lumine sudah pergi.

Rupanya kedatangan kami juga disadari oleh makhluk berbulu hitam dan berekor itu. Sekilas dari belakang aku yakin itu anjing. Namun, anjing ini berkali-kali lipat lebih besar dari anjing yang kutahu dan tikus raksasa yang kami temui.

"Erlya, berlarilah ke pintu logam itu dan buka pintu itu, masukkan ke lubang seperti yang pernah dilakukan Lumine itu!"

Bon memberi perintah Erlya. Ia kemudian menyuruhku berlari bersamanya mengecoh anjing itu. Aku tak tahu anjing itu akan mengejar siapa. Karena, ia tiba-tiba sudah berlari ke arah kami.

"Erlya cepat!" pekik Bon.

Sembari memapah Bon tentunya berlari sekuat tenaga berusaha agar anjing itu tidak menyusul. Bisa kau bayangkan betapa sulitnya itu, mengingat kecepatan anjing berlari yang dapat menyusul manusia. Lantainya pun juga terasa bergetar ketika anjing itu berlari.

Erlya berteriak di tempatnya berdiri saat ini,"Tidak bisa! Tulisannya mengatakan identitasku tidak cocok!"

Aku berpikir, jika mungkin pintu itu bisa dibuka hanya dengan sidik tanganku dan Lumine.

"Bon, aku harus ke sana. Bagaimana ini!?" tanyaku disela-sela ketegangan yang menerpa kami.

Bon manggut-manggut, lalu mulai berteriak lagi. Suaranya cukup besar hingga kupikir itu lebih baik daripada aku yang berteriak--suaraku tidak akan mencapai Erlya.
"Erlya! Jadilah umpan kami! Kami akan ke sana."

Tanpa menjawab teriakan itu, Erlya melempar sesuatu dari tasnya. Entahlah apa itu. Yang jelas anjing yang mengejar kami beralih pada Erlya.

Segera aku mendatangi pintu logam dengan lubang pemindai di sampingnya. Kemudian menaruh tanganku di atas kaca lalu lampu hijau dari lubang itu menyala. Tak lama pula pintu terbuka dan ada sebuah tulisan melayang yang mengucapkan selamat datang keturunan ketujuh Profesor Welde. Aku tidak melanjutkan membacanya karena aku sudah mendorong Bon untuk masuk.

"Erlya! Ke sini!" teriakku.

Aku tahu suaraku tidak bisa mencapai indera pendengaran Erlya. Ia sibuk berlari. Aku memutuskan untuk menariknya dan berlari bersama.

"Erlya cepat kemari! Pintunya akan menutup!" kali ini Bon yang berteriak. Perkataannya benar, pintunya akan menutup. Aku dan Bon segera menahannya.

"Erlya! Cepat kemari!!" teriakku mulai histeris.

"Erlya!" Bon juga ikut berteriak. Erlya di kejauhan hanya bisa berlari tanpa bisa menyahut kami. Ia menatap kami sejenak dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.

Brukk

Erlya terjungkal lalu kakinya ditarik anjing itu dan digigit. Aku melihat ekspresi kesakitan Erlya.

"Tidak!!" teriakku yang kini sudah ditambah dengan pecahnya tangis.

Bon menarikku dan kini pintu itu perlahan menutup sempurna. Ia memelukku sembari duduk di bawah. Dan ia membenamkan wajahku di dadanya. "Erlya!" tangisku sembari meneriakkan namanya.

Bon mengelus rambutku dan terus memelukku sembari memanggil-manggil namaku perlahan. "Triste..., triste...."

Tbc~
[A/N]
Waktu nulis part ini entah kenapa, saya ngerasa ikutan nyesek dan sedikit berkaca-kaca. Entah kalian merasakannya atau tidak. Hanya saja saya merasa enggak tega melakukan hal jahat seperti ini pada anak saya, Erlya dan Triste. Tapi, plot yang saya tulis memaksa saya harus melakukannya. 😭😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro