🌙 Enambelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aroma hangat Eguzkiavile yang selalu kubayangkan memenuhi hariku. Aku dan keluarga kecilku—Erlya, Ibu, pak Amaranth—bersantai ria di taman kecil rumah kami dengan api unggun kecil yang kami buat di siang hari agar lebih hangat lagi. Rumah ini adalah rumah warisan milik keluarga ibu. Ukurannya pun tergolong cukup besar di kawasan kami, mengingat ini rumah warisan yang mana dulu harga tanah masih lebih murah daripada saat ini.

Seringkali dulu ada sengketa tanah di mana beberapa satuan luas dari tanah kami diakui milik salah satu tetangga kami. Untungnya ibuku memiliki surat-surat yang selalu ia pastikan aman. Ia tak ingin sepeser pun tanah miliknya ini jatuh ke orang lain. Ibu sangat kuat melalui masa-masa itu. Dulu aku sempat khawatir pada ibu yang dibenci tetangganya. Namun kini sudah tak lagi, ada pak Amaranth di samping ibu, menggantikan tugas yang ayahku tinggalkan.

Ayahku memang meninggalkan tugasnya untuk melindungi ibu. Namun, aku tak pernah marah sedikit pun padanya. Ibu selalu mengajarkanku untuk tidak membencinya, karena pilihan ayah selalu sudah dipertimbangkan. Dan ini semua mungkin sudah dipertimbangkan. Termasuk suatu hari bila Ibu menikah lagi, aku tidak akan banyak berkomentar.

Ah, melihat pak Amaranth yang tengah tersenyum pada kami, hal itu membuatku sangat senang. Pak Amaranth orang yang baik. Aku yakin, bila suatu saat Ayah kembali ia akan menerima pak Amaranth dengan baik dan kemudian tinggal Ibu yang memutuskan untuk memilih siapa.

"Karena ini hari libur, bagaimana kalau kita bermain sesuatu?" usul ayah tiriku.

"Boleh, kalau begitu Triste tolong ambil permainan kartu di nakas ibu," perintah ibu kepadaku. Ibu mengusulkan permainan kartu, karena permainan kartu adalah kesukaannya.

Aku mengiakan dan segera beranjak dari karpet piknik kecil kami. "Aku temani kak." Erlya ikut berdiri dan segera memakai sandalnya.

"Erlya, kau tak perlu ikut kakakmu. Kau bersama kami saja," ujar pak Amaranth. Hal itu sontak membuatku menoleh, batal pergi cukup jauh dari mereka. Aku jadi bertanya-tanya sendiri, mengapa Erlya dilarang pergi bersamaku.

"Kami dan Erlya sudah mati, Triste...."

Wajah tersenyum ayah tiriku perlahan miring dan sangat miring, kusadari bukan senyumannya yang miring melainkan kepalanya yang miring dan lepas kemudian menggelinding. Aku sontak saja kaget dan menoleh pada Ibu yang ternyata hanya menatapku datar. Tatapan ibu kepadaku itu membuat napasku tercekat. Ia hanya diam yang kemudian disusul tubuhnya yang jatuh dan kepalanya ikut lepas.

Aku hanya bisa membungkam mulutku. Ibuku ... Ayah tiriku ... da-dan Erlya....
Kutoleh dirinya, badannya sudah tak utuh, terkoyak dengan darah yang mengalir. Ia menatapku lara.

"A-aku mati? Bu-bukankah kakak sudah berjanji untuk selalu melindungiku? Me-mengapa kakak tidak datang menyelamatkanku?"

Erlya kini sudah menangis. Aku tidak kuasa melihatnya, aku ingin meraihnya, memeluknya dan menenangkannya. Aku sudah tidak peduli lagi dengan kondisinya yang mengerikan. Aku hanya tak ingin ..., ia menangis.

"Erlya ..." lirihku seraya berjalan mendekatinya, tetapi berhenti sesaat kemudian karena aku menyadari sesuatu. Telapak tanganku penuh darah padahal aku tidak menyentuh apa pun. Aku terdiam begitu saja. Tidak tahu darah siapa itu, yang jelas tiba-tiba sekelilingku menjadi gelap. Hanya aku saja dengan tanganku yang penuh darah terlihat.

"Karena takdirmu, Triste. Kami menjadi seperti ini."

Sebuah suara menggema di otakku. Aku tersentak karena suara itu dan gemetaran. Tak lama pun aku mulai menangis, ini karena aku mengenal suara itu, itu suara pak Amaranth.

"Maafkan aku pak Amaranth," tangisku seraya memohon di kegelapan ini.

"Kenapa kak?" kali ini suara Erlya menggema. Suaranya begitu menyedihkan hal itu terasa menusuk hingga ke tulang-tulangku.

"Maafkan aku, aku berusaha menolongmu ta-tapi-"

"Kau pembohong kak!"
Dia menjerit hingga menggema. Hal itu membuatku tersentak sesaat kemudian tangisku mulai menjadi-jadi.

Aku tahu, aku bersalah. Aku ingin menyelamatkan mereka semua. Terutama Erlya yang kujanjikan perlindungan ta-tapi....

Aku mengkhianati sendiri janji yang kuberikan.

Karena ..., karena aku....

"Triste! Sadarlah!"

Aku mendengar suara yang kukenal. Perlahan kegelapan ini terurai menjadi keping-keping putih yang menyilaukan. Dalam kedipanku selanjutnya, semuanya menjadi buram walaupun perlahan menjadi jelas.

Aku melihat seseorang tengah memelukku dalam pangkuannya. Ia terus mengusap rambutku dan aku merasa sedikit sesak karena pelukannya.

"Bon, sesak. Tolong lepas."

Bon berangsur merenggangkan pelukannya, menatapku sejenak lalu memelukku lagi.

"Kau tak apa, Triste?"

Aku berusaha mendorong dadanya agar tak lagi memelukku. Ini benar-benar menyesakkan terlebih ketika ia berkata seperti itu.

"Jika kau ingin menangis, menangis-lah lagi di sini. Jangan dipendam hingga terbawa mimpi seperti itu dan kau terlihat tersakiti."

Aku membalas pelukannya itu. Benar, ini sangat menyesakkan lebih menyesakkan daripada sekadar pelukan erat.

**

Aku sudah tak memeluk Bon lagi. Kini hanya ada kecanggungan di antara kami, dan kami juga sudah tidak berada di ruangan kecil yang terasa mengangkat kami tadi itu. Kami berada di ruangan gelap yang masih terlihat karena ada cahaya dari ujung sana. Setelah cukup mengumpulkan niat, kuajak Bon berdiri dan kupapah lagi. Sepertinya, ia sudah mulai terbiasa dengan kakinya. Aku senang dengan hal itu.

Eh, tunggu. Mengapa harus senang? A-aku hanya merasa bersyukur ia tidak kesakitan lagi. Aku berhak merasa kasihan, bukan?

"Kenapa?" tanya Bon yang membuatku menoleh padanya.

"Ah, tidak-tidak. Ayo kita teruskan perjalanan kita. Omong-omong saat aku pingsan apa kau melihat Lumine?"

Oke, ini pengalihan pembicaraan yang jelas sudah kuketahui jawabannya. Namun, ah biarlah.

"Aku tak tahu. Baiklah, ayo berangkat."

Bon menawarkan tangannya. Dengan segera kutarik ia dan kuletakkan tangannya di samping pundakku, seolah memelukku dari samping.

"Bon, kupikir kita hampir sampai?"

"Apa menurutmu begitu?" tanyanya kembali sembari terus berjalan bersamaku.

"Aku percaya itu."

"Kalau begitu, itu berarti benar. Seperti perkataanmu, bukan? Apa yang kau percaya akan terjadi jika kau sangat yakin."

Aku mengangguk mengiakan. Namun, lebih tepatnya itu berasal dari mulut Lumine. Sayangnya, jika aku menolak argumen Bon. Aku takut ia mulai menyalakan dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa.

"Jika kau berpikir, aku akan menyalahkan diri sendiri lagi nanti. Itu salah. Itu tak akan terjadi lagi. Mulai saat ini, aku akan menerima apa yang terjadi dan berusaha yang terbaik. Kau harus begitu. Karena kita sama."

Sama ...
Kita sama....

Aku kehilangan keluargaku seperti Bon. Bon kehilangan harga dirinya sebagai seorang prajurit. Dan aku kehilangan harga diriku sebagai seorang kakak yang tak bisa menepati janji kepada adiknya.

"Bon, aku ingin kau berjanji padaku," aku menahan napas sejenak,"berjanjilah untuk terus berada di dekatku."

Bon tersenyum sesaat dan menatapku mantap. Ia mengiakannya. "Aku berjanji padamu, Triste. Sampai mati pun jika perlu."

Aku membalasnya dengan senyuman samar lalu memalingkan muka sembari mengajaknya berjalan kembali.

Sejujurnya, aku yang meminta janji karena aku takut aku yang mengkhianati janji lagi. Lebih baik aku dikhianati oleh janji yang diberikan seseorang kepadaku.

Selanjutnya, kami berjalan hingga sampai di ujung ruangan luas ini dan menemukan pilar-pilar bercahaya yang mengelilingi setengah lingkaran, sebuah pintu tertutup dengan tembok yang bercat putih.

Aku tidak tahu apalagi yang ada di balik pintu itu. Bisa saja mosnter-monster aneh atau jebakan aneh lagi. Memang, aku percaya kalau kami sudah dekat. Namun, di labirin ciptaan leluhurku ini. Segalanya menjadi terombang-ambing dan berubah. Seperti apa yang kurasakan saat ini. Jika sesuatu yang buruk ada di balik pintu ini. Aku ingin Bon yang selamat. Aku tidak ingin kehilangan seseorang lagi. Biarkan aku saja yang hilang.

"Bon, maafkan aku atas selama ini. A-aku mulai menyukaimu kurang dari 24 jam ini," bisikku.

Tbc~
[A/N]
Nekat up walau tugas numpuk :'
Semoga tahun ini, sebelum saya mulai sibuk sepenuhnya. Cerita ini tamat 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro