🌙 Tujuhbelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dia menatapku cukup lama, mungkin ia cukup kaget karena ini bukan saat yang tepat. Jadi, aku sedikit meringis kepadanya dan mengatakan bercanda.

Lalu cepat-cepat kuarahkan telapak tanganku ke alat yang kupikir pemindai di dinding ini. Sinar hijau terlihat bergerak sesaat. Setelah itu, barulah lampu sinar hijau itu terdiam.

Perlahan pintu yang entah terbuat dari apa—aku tidak bisa menjelaskannya—yang jelas itu terbelah menjadi dua. Napasku tercekat sesaat karena pintu itu mengepulkan asap tebal yang kupikir cukup sukses membuat bulu kudukku meremang, membayangkan apa yang akan keluar mendadak. Namun, imajinasiku akhirnya terkalahkan dengan fakta yang mataku lihat akan kenihilan makhluk-makhluk imajinerku.

"Apa yang kau percaya dengan kuat. Akan menjadi benar."

Aku mengiakan ucapan Bon, lalu bergegas mengajaknya masuk dan melupakan kuat-kuat bayangan imajiner burukku. Apa yang kulihat saat ini adalah ruangan serba putih dengan berbagai alat yang tak bisa kujelaskan bentuknya.

Ruangan ini tidaklah berdebu bahkan baunya wangi khas desinfektan lantai masih tetap tercium. Sempat timbul rasa curiga, kalau ada dalang dibalik pengontrolan labirin dan monster-monster yang berada di dalamnya.

Namun, dugaanku kembali terpatahkan. Seorang wanita—ralat, sesuatu bergerak menuju kami. Bentuknya mirip manusia tetapi juga tidak bisa disimpulkan ia manusia. Tangan kirinya putus dan yang kulihat bukanlah daging melainkan kabel-kabel putus yang sesekali memercikkan api.

"Selamat malam." Itu kalimat pertama yang dikatakan makhluk itu, ia menatap kami intens. Aku meneguk ludah lantaran tatapannya ke arah kami yang terlihat tak bernyawa tapi hidup itu.

"Saya adalah android penjaga labirin ini, semua hal yang berada di sini dalam penjagaan saya. Nona keturunan profesor Welde ke-tujuh, tugas utama saya adalah memberitahu semua hal yang diminta profesor kepada Anda."

Aku lagi-lagi meneguk ludah. Ketika android itu bergerak mendekatiku. Untuk sesaat aku merasa kalau aku harus mundur menjauhinya. Namun, Android itu malah mengancam kami, jika aku bergerak di luar program yang ditanamkan padanya maka akan ada konsekuensinya.

Aku dan Bon saling menatap, memutuskan untuk menuruti saja permintaan android itu. Kududukkan Bon di lantai dan melangkah mendekati Android itu. Android wanita itu memintaku untuk memejamkan mataku dan ia pun menggenggam tangan kananku. Aku hanya bisa diam menurutinya. Dan entah kenapa tiba-tiba aku mendengar suaranya dari dalam kepalaku.

"Tenanglah, aku hanya ingin mentransformasikan apa yang kulihat ke ingatanmu. Profesor memintaku mengirimkan semua hal yang kulihat sejak aku diciptakan, kepadamu."

Aku mengangguk pelan. Perlahan dan tak tahu sejak kapan aku merasakan kehangatan mengalir kepadaku. Dan aku merasa tersedot ke dalam kehangatan yang mengalir di nadi-nadiku.

"Eildia."
Suara itu membangunkanku, aku tahu itu bukan namaku yang dipanggil. Namun, aku tetap bangun.

Kukerjapkan mata, cahaya putih lampu di ruangan serba putih ini menyilaukan. Perlu waktu cukup lama hingga pandangan buramku menjadi jelas. Ada seorang pria dengan jas putih menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan. Rambutnya yang keriting dan sedikit gondrong ditambah dengan kacamata tebal membuatku menyadari satu hal dipertamakali pertemuanku ini, kalau dia adalah seorang profesor.

"Eildia." Dia menyentuh tanganku, tetapi kutarik begitu saja dan bangun untuk duduk. Tunggu, bukan aku yang menggerakkan tubuh ini.

"Eildia, ini aku Welde. Tuanmu." Dengan ragu-ragu akhirnya aku memberikan tangan pada professor itu. Kusimpulkan ini adalah yang dilihat oleh Android itu tadi. Dan pria yang di depannya ini adalah leluhurku.

Entah kenapa seperti melihat film, aku merasa semua berjalan dengan cepat. Proffesor Welde mengajari banyak hal pada Eildia. Ya, nama Android ini Eildia.

Hingga pada suatu hari, ada orang lain yang mendatangi ruangan putih dengan alat-alat canggih ini. Ruangan ini entah kenapa membuatku yakin kalau tempat ini bukan di Quartam. Ya, karena Quartam jelas-jelas tidak akan memiliki peralatan secanggih ini.

"Androidmu hebat sekali! Apa kelebihannya?" Seseorang berjas putih dengan rambut rapih dan tinggi itu menanyai Proffesor Welde yang agak tambun.

"Aku tak sehebat dirimu, Abellain. Aku membuat Android ini untuk mengingat semua hal yang terjadi di sekitar kita. Terlebih, keberangkatan kita meninggalkan bumi ini beberapa hari lagi."

"Jadi, kau ingin Android ini merekam peristiwa sejarah?" Pria yang bernama Abellain itu mendekatiku, mengamati mataku.

Welde mengangguk,"Ya, hal seperti ini memang harus diabadikan, bukan? Aku membuat Android ini bertahan sampai keturunan ke tujuhku!" Welde berujar riang sembari mengusap rambutku.

"Kau hebat Weld. Ini mengagumkan, jika kau menunjukkannya pada pemerintah. Kau akan Semakin dihormati!" Abellain memegang bahu Welde dan menggoyangkannya senang. Namun, Welde melepaskan tangan Abellain. Ia kembali mengelus rambutku.

"Tidak, aku tak ingin menjadi alat pemerintah sepenuhnya. Sudah cukup dengan penemuan kita dan pesawat yang kita buat ini. Mereka menggunakan politik busuknya di hal yang seharusnya untuk kepentingan umum."

Abellain mendesah pelan membenarkan hal mengenai pemerintah yang menggunakan politik busuk itu. Ia juga menjadi mengeluh kalau rasanya percuma jika mendapatkan banyak penghormatan tapi tak mampu menyelamatkan separuh manusia bumi untuk tinggal di planet lain.

"Bumi kita yang malang. Dijauhi bulan tapi mendekati matahari. Hingga sebentar lagi akan hancur." Welde berujar seperti itu dan ia sudah tak lagi memainkan rambutku. Ia melangkah pergi meninggalkanku bersama pria yang bernama Abellain ini.

Welde sedang menuju ke sudut ruangan ini. Sibuk menelpon sepertinya. Dan dari yang kudengar itu dari seseorang yang bernama Afert.

"Namamu Eildia kan? Aku yakin kau bukan android kaku."

"Ya, benar. Saya dapat berpikir dan bertindak layaknya manusia yang punya akal dan pikiran,"ujarku.

Abellain hanya tersenyum sesaat sembari mengusap rambutku.

Dalam pikiranku sendiri aku tak mengerti mengapa orang-orang ini suka sekali mengelus rambut Eildia.

Hari berganti hari lagi, di tubuh Eildia ini. Aku melihat ia diajari berbagai hal. Hingga akhirnya masuk ke sebuah pesawat besar yang sesak orang. Aku menduga ini kepindahan mereka ke Quartam.

Semuanya berlalu dengan cepat. Kami tiba-tiba sudah sampai di Quartam. Mendarat dengan sempurna. Katanya planet ini sudah diobservasi dan cocok untuk dihuni. Walaupun masih ada hal-hal janggal yang sepertinya tidak dibicarakan oleh Welde dan Abellain di depanku ini.

"Itu, tidak mempunyai pola, bagaimana ini Weld? Profesor yang lain jadi panik karena ini sedikit berbeda dengan hasil observasi."

"Terakhir kali kapan planet ini diobservasi dan kapan ditemukan?"

"Sehari sebelum pemberangkatan serempak, ditemukan sebulan sebelum pemberangkatan ni. Semuanya dilaksanakan terburu-buru karena bumi dalam kondisi sangat cepat mendekati matahari."

"Jadi, detail itu terlewat?"

Abellain mengangguk. Aku yang mengamati mereka menjadi bergidik. Sebenarnya apa yang mereka maksudkan. Hari berganti dan mereka terlihat semakin stres dan panik. Sampai-sampai Welde yang sepertinya sangat jarang mengungkapkan pikirannya, menceritakan kefrustasiannya pada Eildia.

"Saya tidak tahu tuan, saya tidak dapat membantu Anda mengurangi kefrustasian mengapa planet ini memiliki beberapa keabnormalan setelah ditempati. Kecerdasan buatan saya tidak bisa melebihi pencipta saya." Eildia berujar sembari mengupas telur rebus yang dipinta Welde. Welde tak nafsu makan, ia hanya mengonsumsi telur rebus.

"Mengapa kau mengupasnya lama sekali Eildia?" Sepertinya Welde tak sabaran. Aku menduga-duga dari raut mukanya menatap telur yang kukupas pelan-pelan.

"Jika saya tidak pelan-pelan hasilnya tidak akan bulat telur sempurna."

Welde mendesah pelan. Namun, sepertinya ia hanya bisa pasrah mengingat android ini ciptaannya.

"Tuan, menurut saya, cangkang telur ini bekerja dengan sangat baik. Masih dapat menghantarkan panas ke dalamnya. Hingga akhirnya terbentuk padatan seperti ini. Namun, telur ini juga melindungi yang di dalamnya dari berbagai hal seperti air, debu dan lain-lain."

Welde mengiakan, lantas ia mengamati telur yang dikupas itu lamat-lamat.

"Apakah kuning telur yang berada di dalamnya tetap bulat sempurna? Walaupun putihnya ada yang sudah gempil?"

"Bukannya sudah jelas, tuan?"

Professor Welde hanya terdiam. Dengan gerakan mendadak professor Welde merebut telur yang sedang kukupas.

"Kita bisa hidup di planet ini!"
seru profesor Welde.

TBC~
A/n
Niatnya menyelesaikan masalah ini dalam satu chapter. Namun, sepertinya tidak mungkin :"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro