🌙 Delapan belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah memakan semua telur yang kukupaskan. Bapak tua itu mulai bekerja. Aku bingung bahkan aku juga merasa Eildia bingung. Eildia pun menghampiri proffesor Welde yang sedang sibuk mencoreti bukunya.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Eildia saat itu. Aku yang berada di dalam tubuhnya hanya terdiam menunggu jawaban proffesor Welde.

"Ah, seharusnya memang kuceritakan. Jadi begini, kami manusia kaget ketika tiba di sini karena hasil observasi berbeda dengan apa yang kita rasakan. Ada satu badai di planet ini-lah penyebabnya. Badai itu tidak memiliki pola, membuat apapun yang terkena badai itu mati mendadak. Entah apa yang terjadi.

"Padahal saat observasi tidak ada badai seperti itu. Aku menduga karena suatu hal. Jadi, aku berencana membuat cangkang untuk planet ini. Agar badai itu tidak terlalu membuat kerusakan. Yah, walaupun jika badai itu tetap bisa masuk. Setidaknya, badai itu disaring terlebih dahulu oleh cangkang ini."

Setelah mengatakan itu, profesor welde mulai sibuk kembali mencoret-coret bukunya. Aku hanya berdiri kaku di dalam tubuh Eildia. Cangkang, jadi Quartam diselimuti cangkang dan itu bukanlah langit.

Tak lama kemudian profesor Welde sudah selesai mencoret-coret bukunya lantas ia segera berdiri dan mulai mengerjakan sesuatu. Pertama-tama, dia menelpon. Sepertinya menelpon profesor Abellain.

Aku jadi teringat buku cerita sejarah Quartam yang ditulis ayah. Menurutku cerita itu mirip dengan professor Welde dan Abellain ini. Hanya saja, darimana ayah bisa tahu sejarah itu. Sedangkan ia saja tidak berhasil masuk ke laboratorium ini?

Entahlah, yang kini perlu kupikirkan adalah mengenai masalah apalagi yang akan timbul setelah penciptaan cangkang agar badai yang disebutkan professor Welde itu tidak terjadi.

Scene berganti, Eildia ternyata hanya diam melihat semuanya. Ia melihat professor Welde merakit sesuatu yang besar bersama professor Abellain dan seseorang yang bernama Afert.

Afert memang jarang membantu, tetapi ia sering menemui mereka entah mengobrol apa. Aku tak diperbolehkan mendekat. Yang jelas, aku merasa Eildia pasti sedih jika ia yang sebenarnya bertugas mengingat dan menyaksikan peristiwa sejarah tidak diperkenankan mengetahui pembicaraan lebih detail tentang masalah ini.

Hari H tiba dengan cepat, wajah Professor Welde terlihat berseri-seri. Saat ini, kami berada di sebuah acara peresmian tertutup terkait ciptaan cangkang penyelamat profesor Welde dan profesor Abellain. Acara ini sangat kecil, sepertinya diadakan di salah satu taman--istana di masaku--yang belum benar-benar jadi.

Professor Welde memotong pita peresmian, menatapku lalu professor Abellain, Afert lalu raja. Senyumnya sangat lebar sampai-sampai aku takut itu bisa merobek bibirnya yang tipis.

Sepertinya yang Eildia tunjukkan padaku hanya kebahagian semu semata. Scene itu berganti menjadi profesor Welde yang membuka pintu dengan kasar. Ia memukul meja, lalu duduk dan menutupi wajahnya. Aku yang di laboratorium ini kemudian hanya bisa menghampirinya.

Eildia menyentuhkan tangannya di atas tangan profesor Welde yang keriput. Professor Welde terpelatuk lalu menatapku sesaat. Air matanya merembes. Tahu-tahu, ia memegang tanganku balik.

"Aku akan merawatmu Eildia. Kita tinggal bersama dan kita akan menyaksikan semua itu. Semua yang akan menjadi sejarah terbesar kehancuran umat manusia kembali."

Setelah mengatakan itu, Professor Welde bergegas meninggalkanku keluar dari laboratorium ini.

Aku mendengar percekcokan di luar lab ini. Eildia mencoba mendekat, rasa penasarannya sama sepertiku. Sepertinya itu suara proffesor Welde dengan seseorang.

"Kita tidak bisa memperbaikinya. Kau gila, kita akan langsung binasa sekejap jika mencobanya."

"Apakah kau tidak memperhitungkan konsekuensinya sebelum memasang cangkang itu?" lawan bicaranya bertanya dengan nada tinggi, sepertinya aku mengenal suara itu.

"Sudah kuperkirakan, aku memang tahu akan ada efek sampingnya. Namun, efek samping itu tidak akan membuat manusia binasa langsung. Setidaknya itu memperlambat waktu sampai kita berhasil keluar dari planet ini lagi."

"Kau pikir semudah itu, hah!? Kau pikir keluar dari planet ini semudah ayam yang menetas. Bagaimana nasib manusia yang lain? Itu butuh waktu lama!" kupikir itu suara profesor Abellain.

"Aku tidak peduli! Aku telah melakukan yang terbaik dan semampuku. Jika kau bertekad memperbaikinya, itu terserahmu! Aku tidak peduli!"

"Tapi kau harus bertanggung jawab!"

Setelah itu, suara mereka menjauh. Aku juga merasa pandanganku menjadi gelap. Terasa seperti tersedot dan juga aku merasa ini berlangsung sangat-sangat lama. Tahu-tahu, aku tiba-tiba bangun karena sebuah cahaya yang keluar dari celah pintu yang semakin terbuka lebar.

Ada bayangan orang, itu professor Welde dengan seseorang. Seorang wanita dengan perut yang membuncit, lebih buncit dari milik pak Welde.

"Sayang, ini laboratoriumku dan gudang roketku. Selain itu, akan aku tunjukkan android yang pernah kubuat." Pak Welde menyalakan lampu. Seorang wanita bermata hijau, dan rambut hitam legamnya terperangah.

"Dia cantik sekali," serunya menghampiriku.

Entah kenapa kupikir ia lebih cantik dari Eildia.

"Dia Eildia. Dia akan mengingat segala hal yang kuberitahukan dan kuperlihatkan kepadanya sampai keturunan ke tujuh kita." pak Welde mengelus perut buncit wanita itu.

Aku menyadari satu hal. Jika saja Eildia punya perasaan seperti manusia. Aku yakin Eildia pasti merasa terkhianati. Baru kemarin, pak Welde mengatakan kalau ia akan menjaga Eildia. Tahu-tahu saat ini professor Welde membawa wanita lain. Namun, dilihat dari ruangan tempatku berdiri saat ini. Ada roket berdebu yang berdiri kokoh di sini. Mungkin waktu berjalan dengan cepat dan tidak ada hal penting yang menurut Eildia bisa ditunjukkan padaku.

"Eildia, ayo bantu aku menunjukkan laboratorium bawah tanah yang telah kita buat pada Ruruna."

Sejenak aku berpikir saat tubuh Eildia terus bergerak. Sejak kapan professor membuat laboratorium bawah tanah? Namun, dengan cepat pikiran itu kulupakan karena saat ini kami melangkah ke tempat yang kukenal di masa depan.

Kami pergi ke luar dan itu gelap, aku tidak tahu itu di wilayah pulau cahaya atau bukan. Lalu, kami berjalan tidak cukup jauh. Professor Welde kemudian menunjukkan sebuah pintu kecil yang mengarah ke bawah dengan tangga yang memutar.

"Aku membuat robot pembentuk labirin saat di bumi. Untung aku masih punya formula robot itu. Jadi, kubuat ulang seperti yang ada di bumi sebelum masa kepunahan. Dan jadilah laboratorium ini dalam waktu dua tahun." Professor Welde menggandeng tangan Ruruna memeganginya turun dari tangga. Aku di belakang mereka hanya mampu terdiam.

Setelah kami benar-benar di dalam, pintu kecil dari atas perlahan menutup dan lampu menyala perlahan. Ada pintu dan pemindai di sampingnya.

Yang kutahu, ini adalah penampakan ruangan sebelum kami bertemu dengan tikus raksasa.

"Di dalam sana ada banyak monster penjaga. Namun, Jika ada setetes darah dariku atau pun keturunanku. Monster-monster itu akan tunduk."

Professor Welde mengeluarkan pisau lipat lalu menggoreskannya ke telapak tangan kirinya.

"Jika tidak begini, mereka akan menyerang siapa pun."

Professor Welde meremas tangannya hingga darah-darah menetes cukup banyak. Ia kemudian meletakkan tangan kanannya di atas pemindai. Tak lama kemudian pintu terbuka. Aku tertegun bila tahu hal seperti ini lebih cepat. Seharusnya perjalanan kami lebih mudah.

"Pintu bisa dibuka oleh siapa pun kok. Data-data yang muncul seperti bilah papan layar hanya informasi keadaan diri saat ini."

Setelah itu pintu terbuka. Tidak seperti sebelumnya yang disambut ruangan gelap dan tikus yang bermata merah siap menerkam. Kini, kami disambut tikus yang diam dan seolah menganggap kami tidak ada.

Pintu yang seharusnya ditutupi dinding tipis, tidak terlihat di sini. Namun, kata professor Welde ia menaruh beberapa bakteri pembuat dinding di pintu yang dijaga tikus raksasa. Katanya, ia hanya ingin memperkecil orang yang berhasil masuk ke laboratorium selain keturunan ketujuhnya. Setelah itu rute yang kami lewati ini, persis seperti yang aku dan rombonganku lewati. Namun, saat ini keadaan lebih aman dan santai, tidak ada dinding pembatas berlapis emas dll.

Kami kemudian beristirahat di ruangan kosong yang di masa depan adalah ruangan penyimpanan harta.

"Ruruna. Kau baik-baik saja? Perjalanan kita hentikan sampai sini saja. Mari kita pulang."

"Pulang?" Eildia menyela.

"Tempat ini adalah tempat peristirahatan sekaligus tempat pencetakan harta yang kuambil langsung dari dalam tanah ini. Aku harap ini akan berguna untuk keturunanku. Pintu lurus ke sana mengarah ke tempat tinggal yang kusiapkan untuk Ruruna dan aku. Kalau yang sebelahnya adalah ke laboratorium.

"Eildia pergilah ke laboratorium. Akan aku berikan tisu yang ada darahku. Kau akan aman di sana. Kita akan berjumpa lagi jika sudah saatnya. Semuanya sudah kuperlihatkan dan kujelaskan padamu. Nanti biarlah keturunanku yang memutuskan. Akan bagaimana nasib dunianya ini."

Setelah itu seperti layar televisi yang dimatikan. Aku kembali di hadapan Eildia. Di laboratorium serba putih ini.

"Semuanya berada pada keputusanmu. Jika kau butuh bukti informasi, semua informasi yang telah kurangkum sudah kusimpan di memori eksternal tubuhku. Sekarang, karena tugasku menyampaikan padamu sudah berakhir. Sistemku akan menonaktifkan diri. Baru kau bisa mencabut memori eksternalku di sini." Eildia menunjukkan pelipisnya.

Aku hanya terdiam melihatnya. Hanya saja aku merasa ini semua ... Benar-benar tidak bertanggung jawab.

Melimpahkan semua keputusan di tangan keturunannya. Dia seperti seorang ********!

Tbc~

A/N
Edisi curhat dimulai.
Sebenarnya saya sangat ingin menamatkan cerita ini tahun ini. Dan revisi 7 bulan setelahnya. Namun, boro-boro revisi. Tamat aja belum. Saya ingin semuanya cepat berlalu T.T
Doakan saja saya dapat lulus dan diterima di tempat yang saya inginkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro