🌙 Sembilan belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Eildia mulai memejamkan mata lalu ambruk begitu saja ke arahku. Aku memeganginya lantas menidurkannya pelan-pelan dan mengambil kartu memori Eildia.

"Apa yang ia lakukan padamu?"
Bon berkata sambil menyeret tubuhnya mendekatiku.

"Dia memperlihatkan semua kilas balik yang terjadi padanya hingga ia diperintahkan menjaga laboratorium ini sampai kedatanganku, lalu ia memberikan kartu memorinya ini." Kutunjukkan kartu yang besarnya sekitar kancing baju ukuran jumbo.

"Lalu, apa ia memperlihatkan mengapa tangannya bisa hilang seperti itu?"

Aku terdiam sejenak, lalu menggeleng.

"Sepertinya di sini ada komputer, mari kita lihat. Mungkin ia sengaja tidak memperlihatkannya." Bon mengadahkan tangannya. Aku menyautnya lantas memapahnya untuk duduk di sebuah kursi yang berada di dekat kami.

Sembari Bon mengutak-atik tombol-tombol dengan sebuah layar tipis menempel di tembok ini, aku memperhatikannya.

Aku teringat ucapannya tentang langit di wilayah gelap yang bersalah.

"Bon, langit di wilayah gelap memang bersalah."

Ia mendongakkan kepalanya menatapku sebentar lalu kembali mengotak-atik benda yang bernama komputer ini.

"Kenapa kau membahasnya sekarang? Ada apa? Apa yang robot itu perlihatkan?"

Aku hanya diam melihat wajahnya dari samping. Ia mengucapkannya tanpa menatapku.

Ah, memang lebih baik aku diam saja, ini situasi yang membutuhkan kefokusan. Lalu, sepertinya Bon juga tidak menggubrisnya ia masih harus fokus.

"Kartu memorinya?"

Kuberikan padanya ketika ia menyodorkan tangan. Dan tanpa banyak bicara ia mulai mengutak-atik komputer lagi. Aku hanya diam menyaksikan bilah layar yang semula berwarna bening mulai menampilkan berbagai warna dengan angka-angka yang tidak kumengerti hingga pada satu titik mulai menampakkan sebuah pemandangan laboratorium ini dengan seorang wanita yang tangannya berdarah-darah.

"Itu Lumine. Apa robot itu tidak memperlihatkannya?"
Aku menggeleng cepat entah Bon memperhatikannya atau tidak yang jelas aku kembali fokus pada apa yang Eildia ucapkan.

"Selamat datang nona keturunan tuan Afert. Kedatangan Anda sudah diperkirakan professor Welde. Sesuai perintah tambahan yang disampaikan professor, saya diperintahkan menyerahkan tangan kiri saya kepada Anda. Tolong kembali keluar laboratorium ini dan arahkan ini di pemindai. Ada banyak jalan masuk tetapi hanya ada satu jalan keluar."

Eildia menarik tangannya dengan paksa tanpa ekspresi, lalu menyerahkannya pada Lumine. Kemudian aku melihat Lumine yang hanya diam seperti telah mengetahuinya. Ia lalu berjalan ke luar laboratorium ini.

Tetesan darahnya yang mengenai lantai perlahan pudar sendiri hingga benar-benar hilang. Hal itu memang keren, tapi bukan itu yang menjadi perhatian kami.

"Jadi kita terjebak di sini, itu maksudnya? Lumine-lah yang diinginkan berhasil keluar oleh leluhurmu, Triste?"

Aku terdiam cukup lama, aku teringat kata-kata yang diucapkan Eildia persis dengan tulisan plakat di ruangan harta. Namun, kurasa rasanya tidak mungkin jika itu membahas pintu keluar labirin ini.

"Tidak, itu bukan ke arah pintu ke luar. Aku yakin itu ke tempat lain....

"Bon, bisakah kau mencari peta di kartu memori Eildia ini!?" tukasku tiba-tiba.

Bon tidak menjawabku, ia langsung mengotak-atik komputer lagi.

Di bilah layar kemudian nampak peta. Di sana kami menyadari ada dua pintu ke luar selain pintu masuk. Satu lewat pintu yang dilewati professor Welde saat berpisah dengan Orleya, yang satunya lagi ada di dekat ruangan tikus raksasa. Rasanya tidak mungkin jika Lumine keluar lewat pintu tikus raksasa.

"Lalu, Lumine pergi kemana dengan tangan itu. Selain itu apa maksud dari satu jalan keluar?"

Kini aku yang ganti tidak menjawab, bukan karena sibuk tetapi karena aku merasa aneh.

"Mungkin-"

Lantainya tiba-tiba bergetar dan lampu berkedip-kedip. Bilah layar komputer pun juga berkejap-kejap. Kupegangi bahu Bon erat. Dari langit-langit, debu-debu turun dan perlahan mulai ambrol.
Sebuah bunyi hantaman sangat keras terdengar dan debu-debu dari tanah bertebangan. Kupeluk kepala Bon, aku tidak tahu apa itu, karena dengan ambrolnya langit-langit, lampu-lampu di sini dan segala hal kelistrikan di sini mendadak mati.

"Sudah kuduga kalian akan berhasil."

Aku hapal betul suara itu. Kudongakkan kepalaku, dan menemukan wanita yang tengah tersenyum dengan orang-orang berseragam putih yang bermunculan di belakangnya sembari mengarahkan petromaksnya ke kami.

***

Kini aku sudah dihadapkan dengan para pelayan yang sedang menghiasku seperti boneka. Aku hendak menghadap raja langsung setelah dibawa ke luar dari labirin. Bon sedang dirawat oleh dokter kerajaan. Sedangkan Orleya, Merlein, Kinara dan Helena-Jelina tidak diketahui kabarnya.

Para pengawal sedang berusaha menembus dan mencari jalan untuk menghindari monster yang ditakutkan menyerang dalam upaya menyelamatkan mereka.

Dua pengawal yang menjaga pintu aula mengangguk karena kedatanganku, ia pun kemudian mengumumkan kedatanganku. Di dalam, ternyata ada raja yang sedang mengobrol dengan seorang gadis. Gadis yang berpakaian bak putri itu benar-benar terlihat anggun.
Raja yang saking senangnya mengobrol dengan putri itu melupakan keberadaanku. Hingga akhirnya putri itu sendiri yang menyadari keberadaanku.

"Oh, Triste."

Huh ...
Dia mengenalku?

Dia pun mengangguk hormat ala putri lantas pamit undur diri pada raja. Ia menghampiriku sebentar kemudian memegang pundakku, sembari tersenyum tidak enak.

Apakah ia mengenalku? Siapa dia?

Setelah kepergiannya dari aula ini barulah raja mulai mengajakku bicara.

"Kau pangling bukan, Triste? Hanya dalam sehari gadis gendut dan jelek bisa berubah secantik dan seanggun itu."

Raja tersenyum lembut sepertinya karena memikirkan gadis tadi.

"Itu putri Asalda?"

Raja langsung membenarkan dengan gembira.

"Ini semua semua karena kerja keras Velothia. Aku bersyukur memilikinya di kerajaan ini." Raja mengusap air mata yang sedikit mengenang di pelupuk matanya. "Baiklah laporkan hasil misimu," ujarnya kemudian.

Aku tidak menggubris rasa bangga raja. Perasaanku pada Velothia tidak sepertinya. Aku tidak sudi berterimakasih kepadanya.

"Laboratorium dan sebagainya di labirin itu tidak bisa digunakan aliran listriknya telah dihancurkan dari luar, lagipula sepertinya tidak ada apa-apa di sana. Hanya seorang robot atau yang bisa disebut Android yang menjaga di sana. Ia ditugaskan memberitahu apa yang sebenarnya terjadi dulu. Kejadian-kejadian yang disembunyikan."

"Bisa kau beritahu kejadian apa itu?"

"Sebenarnya saya sedikit heran, apa hal ini tidak ada di arsip kerajaan mengingat apa yang dilakukan proffesor terpampang nyata. Hal ini seolah dilupakan begitu saja."

"Cepat segera beritahukan itu," ujar raja yang sepertinya sudah tidak sabar.

"Langit di wilayah gelap, itu bukan langit, itu cangkang."

***

Seseorang seperti mengetuk pintuku, mungkin itu Velothia karena sudah satu jam berlalu sejak aku memberitahu semua yang terjadi pada raja. Ya, tadi Velothia tidak kelihatan batang hidungnya. Mungkin dia sibuk dengan penelitian yang kata raja obat pengabul keinginan, seperti yang terjadi pada putri Asalda yang ingin lebih cantik. Kupikir ia kemari bukan hanya karena ingin mendengarkan ceritanya langsung.

"Jadi, apa yang kali ini kau inginkan selain ingin mendengar ceritanya langsung dariku?"

Dia tersenyum dulu lalu mendorong bahuku sedikit. "Tidakkah kita duduk dulu. Aku tahu kau sangat marah padaku."

Aku hanya dapat mendecakkan lidah, sembari membiarkannya duduk di sofa dan kuikuti dia dari belakang.

"Jadi, bisakah kau menceritakan apa yang tidak kau ceritakan pada raja. Aku rasa kau masih menyembunyikan sesuatu."

Dia mengetahuinya, dia mengetahui kalau ada yang kusembunyikan.

"Kartu memori Eildia, itu berisi peta labirin dan video dari apa yang ia lihat. Jika kau mencari pengetahuan tentang astronomi, sepertinya tidak ada. Aku sudah memastikannya."
Aku mengambil kartu memori itu dari balik baju santaiku.

"Oh, ini barang bagus. Selain itu apa benar Lumine kabur? Tidakkah kau tahu kemana ia?"

Aku menggeleng karena menurutku tempat yang dituju tidak ada di peta Eildia, Velothia pun kemudian hanya ber-oh ria.

"Tentang kota-kota yang akan terkena badai, aku sudah mempersiapkan tempat pengungsian sementara. Mengingat tidak ada yang dapat kita perbuat. Padahal aku berharap dapat menghentikannya dengan memgetahui penyebabnya lantaran kita sudah mengetahui polanya."

Suasana saat ini sangat canggung, setelah itu Velothia tidak berkata apa pun ia hanya duduk sembari mengamati kartu memori Eildia.

"Tidakkah kau seharusnya mengungkapkan sesuatu?" semburku tiba-tiba.

Aku sudah tidak tahan lagi, aku tahu ada yang ia perbuat pada adikku.

Namun, di saat seperti ini Velothia masih sempat tersenyum. "Maksudmu minta maaf?"

Kuhentakkan kakiku dan meraih dirinya.
"Tidakkah kau merasa bersalah?"

Dia tersenyum miring.

"Apa harus?"

Tbc~
A/N
Silakan berkomentar jika kalian merasa bingung :3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro