🌙 Duapuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kulepaskan dengan kasar kerah gaun ungu Velothia lalu duduk kembali di sofa. Aku mencoba untuk meredam emosiku.

Ya, aku marah padanya. Ini tentang Erlya. Sejak awal ia mengikuti misi, itu ada yang aneh. Dia memang terlihat seperti maniak perhiasan dan hadiah. Namun, ia penakutan. Rasa takutnya lebih besar daripada keinginannya itu. Jika ia sampai ikut seperti itu, ia pasti disuruh Velothia. Hal ini sangat kuyakini karena ada bukti radio yang dibawa Erlya.

"Besok kau bisa pulang. Namun, kau tidak boleh mengatakan pada siapa pun tentang langit itu."

Dia berujar santai sembari menyandarkan punggungnya ke sofa seolah barusan tidak terjadi apa-apa. Aku yang kembali duduk tidak bisa sesantai itu.

Aku bertanya padanya alasan mengapa ia memerintahkan adikku. Dia dengan santainya mengatakan kalau itu diperlukan untuk mengawasiku. Seketika itu aku menamparnya. Namun, dia malah tersenyum dan itu berhasil membuatku terheran-heran. Aku pun hanya mampu menatapnya heran sembari duduk.

"Kau memintaku untuk meminta maaf karena aku menyuruh adikmu? Lalu bagaimana dengan seorang kakak yang diam saja ketika adiknya menjadi umpan?"

Aku terdiam. Ucapannya benar. Saat itu, harusnya aku saja yang jadi umpan. Maka, saat ini ... Erlya pasti masih hidup.

Namun, tetap saja. Jika Erlya tidak ikut. Maka ia akan berada di sampingku saat ini. Bercanda dan mengobrol denganku.

"Aku tahu, kau sedang mencari pelampiasan yang cocok untuk dipersalahkan karena rasa penyesalanmu. Ibaratnya, kau sedang membela dirimu sendiri atas sebuah dosa yang kau lakukan," ujar Velothia kalem.

"Jika hal itu membuatmu merasa lebih tenang. Maka silakan kau salahkan aku. Aku sudah terbiasa," tambahnya lagi.

Benar, bagaimana pun aku tetap akan menyalahkan Velothia. Tidak hanya kau, raja bahkan istana ini. Aku akan menyalahkan kalian atas apa yang terjadi padaku. Jadi, aku harap kalian menunggu dengan sabar balasanku. Terutama kau Velothia.

Setelah itu, Velothia berniat pamit untuk undur diri karena ia merasa ia sudah selesai berurusan denganku. Namun, aku menghentikannya. Aku harus mencari tahu kebenaran akan suatu hal yang janggal. Hal yang kupendam selama ini.

"Hei tunggu, aku sedikit heran dengan pemerintah. Jika leluhurku yang menutup langit atas seizin raja. Mengapa seolah-olah kalian belum pernah tau? Seolah-olah, misiku sebenarnya hanya untuk mencari fakta itu. Padahal sepertinya sudah sangat jelas. Apalagi pemberontakan yang dulu pernah terjadi. Aku tidak mengerti."

Jariku tidak bisa diam, aku memainkannya di atas paha celana santaiku. Seharusnya ini waktu bersantaiku setelah seharian penuh mengikuti misi. Seharusnya saat ini aku menghilangkan segala tekananku dan mulai mengikhlaskan segalanya. Bukannya malah menumpuk biang kestresan lagi.

"Tidak ada yang perlu dimengerti jika memang seperti itu yang terjadi. Ini semua sudah jadi takdir."

Dia berujar sembari memegangi pipinya dan tersenyum. Mungkin ia mengecek pipinya yang agak kesakitan karena tamparan kerasku tadi tetapi tetap berlagak anggun.

"Tidak masuk akal. Mengapa sesuatu yang masih bisa diperbaiki dikatakan sebagai takdir? Pemberontakan dan kematian orang-orang itu masih bisa dihindari!"

Aku masih tidak mengerti dengan semua ucapannya. Seolah-olah ada banyak rahasia besar di dirinya.

"Lalu, bagaimana dengan suatu barang yang masih bisa diperbaiki tetapi malah memilih tidak diperbaiki?"

Aku terdiam karena teringat tentang proffesor Abellain dan Professor Welde. Velothia ahli membuatku terdiam.

"Kau ... Tahu itu?"

"Aku keturunan ke-enam professor Abellain. Aku tahu semua itu sejak awal dan maka dari itu aku merencanakan ini semua."

"Maksudmu? Apa maksudmu?"

Dia tersenyum miring. "Belum saatnya kau tahu. Untuk saat ini hanya itu yang perlu kau tahu."

Dia beranjak dari sofa. Namun, aku mencegah dengan menarik tangannya lagi. "Mengapa aku perlu tahu?"

"Ini semua takdir garis keturunanmu."

"Termasuk ayahku?"

"Ayahmu?"

"Aku menemukan jasadnya di labirin itu."

Dia terdiam, tetapi sorot matanya ... Berkaca-kaca.

Velothia berusaha melepaskan tanganku dengan paksa. Ia melangkah meninggalkanku dengan bertingkah seanggun mungkin. Namun, aku tahu. Tangannya tadi sedikit bergetar. Dia terlihat terguncang.

Apa hubungannya dengan ayahku?

***

Kubuka tirai tempat seseorang terbaring. Itu Bon. Dia sedang beristirahat.

Aku batal untuk bersantai-santai hari ini. Aku mau memastikan teman reguku. Sebagai satu-satunya orang yang sehat, aku harus menjenguk mereka.

Helena dan Jelina ditemukan di pantai pulau cahaya, mereka langsung dibawa ke rumah sakit dan dirawat oleh dokter binaan Velothia. Kondisi Jelina kritis, kemungkinan karena dia infeksi. Tadi, aku sudah menjenguk mereka. Setelah memastikan Helena sudah tidak menangis lagi ketika bertemu denganku, aku langsung menghampiri kamar Bon.

"Apa kau sudah selesai melamun?"

Suara Bon mengagetkanku. "Ba-bagaimana kau?"

"Aku menyadari kedatanganmu dan kau diam dengan tidak berkedip sama sekali. Jadi, aku tahu kau sedang melamun memikirkan sesuatu. Jadi ada apa kau kemari?"

Aku membetulkan degup jantungku--kaget karena barusan--dengan menarik napas. "Aku hanya ingin berpamitan dan mengunjungi teman-teman yang lain. Namun, aku tidak banyak bertemu mereka. Apa kau tahu bagaimana keadaan mereka?"

"Para pengawal berhasil mengeluarkan Orleya saja. Dan saat ini ia sedang dipenjara."

Bon juga menambahi kalau emas yang Orleya bawa akan diberikan ke keluarganya untuk membantu. Hal itu membuatku sedikit lega karena aku tahu, keluarga Orleya benar-benar membutuhkannya saat ini. Walaupun Orleya tetap dicap menjadi pengkhianat.

"Lalu, Merlein dan Kinara?"

Bon mengedikkan bahunya. "Mereka tidak diketahui kabarnya, kemungkinan lewat jalan keluar yang berada di dekat ruangan tikus besar itu. Yah, aku heran saat itu mengapa aku tidak menemukan pintu itu sedangkan di peta ada."

Aku tersenyum dan mengelus tangannya. "Yah, itu sudah terlanjur terjadi. Omong-omong bagaimana kau bisa tahu semua hal itu?"

"Ah, aku punya bawahan penakut di tim yang diutus untuk mencari mereka."

"Bawahan penakut? Bukankah malah berbahaya pergi ke sana?"

"Saat listrik mati, entah kenapa monster-monster di sana ikut terkapar. Jadi, itu aman."

Aku hanya dapat meng-ohkannya. Setelah itu, kuputuskan untuk segera saja kembali ke tujuan awalku menemui Bon.

"Bon, besok aku akan kembali ke wilayah gelap. Aku harus mengemasi barang-barang penting di sana sebelum badai kiavile terjadi. Jadi, sepertinya ini pertemuan terakhirku denganmu."

Aku duduk di kursi pengunjung yang tersedia di samping ranjang rumah sakit Bon.

"Menurutmu apa ini benar-benar berakhir? Maksudku, apakah kau tidak curiga dengan Velothia? Aku sudah mengetahui hasil misi ini dari beberapa orang yang kukenal di istana.

"Raja, menyerahkan segala keputusannya terkait hal seperti ini di tangan Velothia. Jadi, raja tidak tahu menahu yang terjadi. Namun, Velothia tahu. Ia sangat tahu."

Aku tahu, Bon. Ini tidak beres. Sangat-sangat tidak beres. Maka dari itu aku harus pulang dan mulai menyelidikinya.

"Bagaimana pun, aku akan pulang, Bon. Sampai jumpa."

Aku beranjak dari kursi, lekas ke luar dan menutup tirai. Namun, dari dalam aku mendengarnya berujar,"aku akan mengunjungimu nanti setelah baikan."

"Ya, tapi jangan lupa sebelum badai itu datang ya. Karena aku tidak tahu, setelah badai itu datang aku akan ke mana."

Aku memberikan alamat rumahku pada Bon melalui secarik kertas yang telah kupersiapkan. Aku pun kemudian melangkah ke luar ruangan besar tempat Bon dirawat.

Kuputuskan, untuk kembali ke istana dan mengambili barang bawaanku. Ah tunggu, aku tidak membawa apa pun. Aku hanya membawa pakaian yang kupakai saat dibawa ke mari dan belati yang kubeli.

Aku terdiam sebentar di luar gedung rumah sakit.

Sepertinya aku bisa pergi ke perpustakaan istana. Aku ingin membawa buku karya ayahku. Buku itu tidak kutemukan di ranjangku saat aku bangun di kemudian harinya setelah Bon memaksaku untuk tidur. Kupikir itu dikembalikan ke perpustakaan.

***

Kudorong pintu besar perpustakaan ini. Suasana di dalamnya masih sama seperti terakhir kali aku ke sini. Hanya saja, ada seorang gadis dengan mata lebam tengah berdiri di hadapanku saat ini. Rambutnya yang pirang mengingatkanku dengan Lumine.

"Ma-maaf, ada yang bisa saya bantu? Saya di sini menggantikan Lumine, kakak yang waktu itu ke mari, bukan?" ujarnya takut-takut.

"Ah, aku hanya ingin meminjam suatu buku. Kau keponakan Lumine, bukan?"

Dia diam. Namun, tiba-tiba dia beranjak memelukku.

"Apakah kau tahu di mana dia? Aku merindukannya. Tolong pertemukan aku dengannya. Tolong kak."

Aku yang kaget pun berusaha tenang dan menenangkannya. Ia menangis sesegukan. Hingga akhirnya ia yang kelelahan sendiri, memutuskan melepaskan pelukanku dan mengusap air matanya.

"Maafkan aku yang tiba-tiba menangis. Aku hanya tinggal sendiri bersama Lumine. Jadi ketika Lumine tidak ada. Aku merasa sangat sedih."

Aku hanya tersenyum. Namun, tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalaku.

"Kau mau ikut kakak? Kita akan cari Lumine. Aku juga membutuhkan dirinya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro