🌙 Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sudah kau matikan penghangat rumahnya?"

Ibu menanyaiku kala aku keluar dari rumah dan mengunci pintu. Kuanggukkan kepala dan memasukkan segera kunci itu ke dalam jaket tebalku.
Ibu yang terlihat mengerti kemudian mendekati tubuhku dan berbisik. "Surat rumah bagaimana? Pastikan kau bawa. Tetangga kita sedari tadi mengintip kita dari balik tirai jendelanya."

Katanya, bayangannya terlihat dari remang gorden jendela.
Aku meringis kecil dan mencebikkan mulutku. "Dia selalu saja."

Setelah memastikan aku selalu membawa surat rumah ke mana pun aku pergi, aku dan ibuku segera menaiki kereta yang terpakir di depan rumah kami. Kereta yang ditarik orang itu terlihat terang--itu karena memiliki perapian kecil di dalamnya. Tetangga-tetangga kami pasti tahu kemana kami akan pergi dengan kereta yang kami sewa cukup mahal ini.

Kami akan pergi ke aula tidak terpakai di kota ini untuk acara pernikahan ibuku. Lagipula tidak masuk akal kalau kami berjalan kaki ke sana. Terutama dengan gaun mencolok ibu, bisa-bisa kami jadi makanan empuk para penjahat.

Kulepaskan jaket dan menarik napas dalam-dalam, sekalipun aku tahu ini tidak terlalu baik untuk tubuhku menghirup karbon yang terlalu banyak. Namun, di dalam kereta benar-benar hangat dan di luar tadi sangat dingin padahal seharusnya matahari sudah terbit di pulau cahaya. Ini aneh, tidak biasanya sedingin ini.

Begitu kami masuk dan sudah duduk dengan baik, kereta yang dipimpin tiga orang di depan ini mulai melaju, awalnya pelan tapi makin lama makin konstan. Aku tahu mereka harus melakukan pemanasan dulu sebelum mulai berlari di jalanan sempit dan gelap perumahan ini.

"Acaranya jam sepuluh pagi. Sekarang sudah lewat sepuluh menit. Bukannya ini cukup telat? Ibu tadi terlalu membuang waktu untuk memilih sepatu."

Aku sudah duduk di kursi kayu dan mengamati perapian mini yang terletak di tengah. Sedangkan ibu juga sudah melepas jaketnya memperlihatkan gaun pengantin putihnya.

"Di Quartam, terutama wilayah gelap aku rasa jam itu tidak terlalu penting Triste. Oh kau juga jangan menjadi maniak yang terpaku pada jam. Kita hidup bebas di sini. Lagipula ini tidak seterlambat itu kok."

Ibu mengomeliku sembari menggosok-gosokkan tangannya di atas perapian.

"Kalau tidak memperhatikan waktu dan tidak terpaku aturan. Kita akan menjadi seberantakan kota ini, bu."

Ibu menatapku malas. Sepertinya ia sudah bosan dengan sikapku yang seringkali suka beradu argumen dengannya. Apalagi soal wilayah gelap yang rusak. Entah kenapa meski ia ibu kandungku, kami sangat berseberangan, dugaannya aku lebih condong ke gen ayahku. Meski kata Ibu, Ayah adalah orang yang paling lembut dan manis sedunia. Masalahnya aku tidak begitu juga, dan juga aku tak mengerti mengapa bisa.

"Kita adalah bagian dari wilayah gelap. Dan sudah hal lumrah kalau kita berantakan." Ibu akhirnya bersuara membalas argumenku.

"Yah, tapi kita tidak harus berantakan juga kan Bu. Cukup saja kota ini dan dunia ini yang berantakan. Aku ingin kota yang rapi seperti di pulau itu."

Ibu menggeleng-geleng, seperti tidak tahu lagi harus berkata apa. Biasanya begitu aku menyebut pulau itu Ibuku akan tersulut emosinya, entah kenapa. Kali ini, kami hanya saling terdiam mengamati jalanan gelap kota ini. Selama perjalanan menuju aula kota, kami berhenti selama lima menit sebanyak dua kali. Tiga bapak delman yang duduk di depan harus melakukan pergantian untuk berlari menarik kereta ini.

Padahal kami tidak membawa apa-apa, hanya tubuh kami saja--oh, tentu jaket juga yang kupikir tidak seberat itu. Namun, bapak-bapak delman itu nampak kelelahan sekali. Yah, sejatinya ini memanglah kereta kuda yang modelnya masih cukup sama dengan kereta kuda milik manusia bumi--meski bahannya sedikit berbeda di sini menggunakan besi bukan kayu. Namun, karena hewan juga mahal dan langka di Quartam. Jadinya, manusia lah yang menarik kereta ini untuk menembus dinginnya keabadian malam di wilayah gelap. Sungguh, aku jadi membayangkan apa jadinya kalau planet ini memiliki cahaya di mana-mana. Apa kereta seperti ini masih akan tetap ada? Atau hewan sejenis kuda bumi yang akan muncul menggantikannya?

Lama aku membayangkan apa jadinya mengenai dunia ini kalau mendapatkan cahaya yang adil di planet ini. Planet yang hanya memiliki cahaya kurang dari setengah kemudian ditambah monopolisasi kerajaan Quartz yang berada di pulau cahaya itu menyerupai iblis. Jadi sudah pantas sekali wilayah gelap ini disebut sebagai Neraka dalam arti hidup. Atau mungkin sudah menyerupai Neraka dalam artian ketika kita sudah mati yang lebih dahsyat siksaannya seperti yang tercantum di dalam kitab.

Pulau itu, yang satu-satunya disinari Eguzkiavile lah pelaku atas kesemena-menaan pemerintah. Kebutuhan sumber daya mereka tercukupi dan tidak membagi-baginya. Walau aku pikir aku juga bisa memahaminya, siapa yang tidak akan tamak bila sudah berada di posisi tertinggi? Mereka tidak akan membagi apapun dengan wilayah ini. Bualan peduli sudah seperti janji buah busuk yang selalu disiapkan perdana menteri. Nyatanya, mereka tidak pernah melakukan upaya untuk menolong wilayah ini. Menolong pun hanya sekadar dengan mengutus para ilmuwan andalan untuk menciptakan berbagai penemuan hebat, mendukung keberlangsungan hidup. Namun, di planet yang serba terbatas ini, semua itu harus dibayar dengan nilai yang tinggi dan penduduk tak banyak memiliki itu. Mereka hanya peduli pada keuntungan pribadinya.

Kepindahan manusia dari bumi, 500 tahun yang lalu ke Quartam menjadi sebuah pertanyaan besar untukku saat masih duduk di sekolah menengah bawah. Mengapa mereka memilih planet yang semengerikan ini untuk pindah? Dan ke manakah semua kecanggihan yang manusia miliki saat masih di bumi?

Hanya duo ilmuwan hebat penyelamat manusia yang namanya sering muncul di buku sejarahku dulu yang tahu. Walaupun, duo ilmuwan hebat itu salah karena memilih Quartam sebagai bumi baru bagi manusia seperti kita. Yang nyatanya juga sama saja--membawa manusia menuju kepunahan. Itu menurut pendapat manusia yang hidup saat ini.

Quartam, sebenarnya adalah planet yang cukup indah. Bilamana kita memiliki bakat dan keahlian tertentu yang diinginkan pemerintah. Namun, tak jarang orang-orang licik dari wilayah gelap yang ahli memalak, menyuap dan segala hal berkaitan dengan itu pindah ke wilayah cahaya dengan aman. Menikmati segala fasilitas dan kebutuhan yang bercukupan di wilayah itu.

Sedangkan aku yang tak memiliki keahlian khusus atau pun cukup kelicikan untuk tinggal di wilayah cahaya. Aku hanya bisa menikmati kegelapan yang ada di lingkunganku. Yang mana lambat laun aku akan terlahap kegelapan itu sendiri dan kemudian menendangku ke alam baka. Aku jujur benci di sini. Aku juga ingin tinggal di wilayah terang, kerajaan Quartz. Bersama Ibuku, atau bahkan keluarga baruku nantinya. Walau Ibuku tidak suka ide ini--bahkan menyumpahinya--padahal kita cukup kaya untuk membeli sepetak tanah di sana dengan tabungan royalti ayahku. Jadi, tidak ada pilihan lain selain membuang jauh-jauh pikiranku itu.

Walau terdapat pikiran tentang akan ada pahlawan yang mengubah kenyataan pahit ini. Pahlawan yang akan mengubah dunia ini menjadi lebih bercahaya, membebaskan keberantakan dan kegelapan dunia ini menjadi pikiran yang lebih masuk akal daripada mengajak Ibuku untuk tinggal di wilayah terang.

"Triste, berhentilah melamun. Kita harus bersiap turun sebentar lagi."

Yah, tapi tidak mungkin semudah itu. Siapa tahu pahlawan seperti itu akan muncul saat aku sudah jadi nenek-nenek. Mau tidak mau aku memang harus menerima nasibku.

"Iya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro