🌙 Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku mengelap perlahan peluh  membanjiri dahi ibu. Manik mata cokelat Ibu terus menatap pintu besar di aula remang-remang ini. Aula yang hanya diterangi beberapa lilin temaram murah. Walaupun begitu, semua orang masih bisa melihat wajah di hadapannya masing-masing. Wajah Ibu yang sedang khawatir, wajah Erlya—calon adik tiriku—yang sibuk bermain ujung rambutnya karena menganggur, dan wajah calon ayah tiriku yang menatap Ibu teduh.

"Bagaimana jika pendetanya tidak mau datang, karena bayarannya terlalu sedikit?" tanya Ibu khawatir pada semua orang yang berada di aula yang tak terpakai ini.

Kami akan melangsungkan pernikahan kecil di aula yang difungsikan menjadi tempat pengungsian saat ada bencana--meski saat ini sedang tidak terpakai.

Aku pun memeluk Ibu lemah, tak suka brokat gaun pernikahan Ibu menyentuh kulitku.

"Pasti akan datang bu, aku dan Erlya bahkan juga sudah memecahkan semua celengan kami untuk tambahan pendeta itu."

Aku melepaskan pelukan dan tersenyum untuk menenangkan Ibu. Ya, aku harus melakukannya.

Calon ayah tiriku, pak Amaranth kemudian menghampiri kami. Ia mengusap rambutku seperti anak kecil, padahal sebentar lagi umurku 17 tahun. Setelah itu memalingkan wajah untuk menatap Ibu.

"Pak pendeta akan segera tiba, aku yakin itu!" pak Amaranth mencium kening Ibuku kemudian memeluknya. Mereka menunjukkan kemesraannya di depanku dan Erlya. Bagiku itu tak masalah, tapi bagi Erlya yang baru sepuluh tahun....

Aku berdehem kemudian meminta izin untuk menghubungi pak pendeta bersama Erlya. Aku tidak ingin Erlya menonton hal seperti itu. Kalau kalau mereka ingin bermesraan yang lebih lagi.

Di daerah gelap, atau lebih tepatnya kota Gris ini—Kota yang satu-satunya memiliki sumber daya uap panas. Namun, tidak diketahui mengapa kota ini tidak bisa maju. Kondisinya sama-sama rusak, gelap, dan mengerikan seperti kota yang lain.

Menurut informasi yang kudapat, sumber panas di kota ini hanya sedikit. Sehingga, hanya dapat menghidupkan listrik untuk kepentingan umum saja. Seperti perpustakaan, kantor-kantor, sebuah telepon umum, dan beberapa fasilitas umum yang lain. Kata Ibu, sewaktu beliau kecil, cahaya listrik masih cukup banyak. Listrik itu menghidupi beberapa lampu jalanan kota.

Aku dan Erlya sampai di sebuah telepon umum. Beberapa orang tengah mengantri untuk menggunakan satu-satunya telepon umum di kota kecil ini. Kuberikan lampu petromaks—pencahayaan termahal yang dimiliki keluarga kami—pada Erlya.

Aku mencari uang koin di saku celana kain terbaik yang kupakai ini. Hari ini adalah hari pernikahan Ibuku, tentunya memerlukan sesuatu yang terbaik bukan? Yah, walaupun bagi sebagian orang, ini celana kain biasa. Namun, ini adalah celana kain yang aman dari gigitan tikus. Berbeda dengan celana-celanaku yang lain.

Tiba giliranku. Kumasukkan uang koin tadi—Pemerintah masih memberi subsidi untuk keperluan umum seperti telepon, jadi tidak perlu mengeluarkan banyak koin Qutam. Aku pun menekan nomer telepon umum kota Marroiak. Pendeta terdekat hanyalah berada di kota Marroiak—kota yang juga hanya memiliki satu telepon umum seperti kota kami. Jaraknya sekitar dua hari perjalanan dari kota ini.

Terdengar nada tuut ... tuut ...

Aku mengerti kalau telepon itu sedang digunakan untuk menelpon orang lain. Aku mematikannya kemudian menunggu beberapa saat barulah menelpon lagi. Dan itu tersambung.

"Permisi, apa pendeta kota Marroiak masih di kota?" Sudah hal wajar bila ada orang yang mengangkat telepon umum sembarangan dan juga siapa yang tidak mengenal pak pendeta? Pekerjaan itu yang paling banyak disegani di Quartam. Memperoleh sertifikat pendeta dari kerajaan saja susah.

"Hah? Siapa yang kau maksud? Pendeta? Oh bapak-bapak tua *** itu ya?"

Aku meneguk ludah. Kebetulan yang mengangkat telepon itu sepertinya adalah preman kota Marroiak. Suaranya yang berat dan ucapannya yang kasar membuat instingku percaya pada dugaanku.

"Dia baru saja bunuh diri. Dan beraninya dia tidak melunasi hutangnya padaku! Cih!"

Serasa ada petir yang menyambar hatiku. Aku terpaku.

"Hoi, nak! Apakah kau kerabatnya? Jika kau kerabatnya kau ha-"

Segera kumatikan telepon dan cepat-cepat mengajak Erlya pergi. Ia bertanya-tanya padaku mengapa memasang tampang seperti itu. Aku hanya bergeming dan mengajaknya terus berjalan kembali ke aula.

***

Pintu aula yang besar kudorong pelan agar deritnya tidak terlalu berisik. Aku melihat rona wajah bahagia Ibu dan pak Amaranth yang sedang berbincang-bincang sambil berdiri. Aku tahu mereka pegal karena harus berdiri cukup lama.

Aku melihat tikus bercicit dan itu tak mengganggu mereka berdua, serasa dunia itu milik mereka. Bahkan kedatangan kami di ujung pintu tak digubris.

"Kak Triste. Ayah dan Ibu terlihat bahagia. Apa yang harus kita katakan? Mengenai pak pendeta yang tidak akan datang."

Aku terhenyak sedikit. Erlya benar-benar ahli memahami suasana. Padahal, aku tidak memberitahunya kalau pak Pendeta tidak akan datang.

"Pak pendeta telah meninggal, sepertinya ia terlilit hutang besar. Pantas saja, harga tarif pernikahan sederhana ini seperti kurang terus. Biarkan aku saja yang akan menjadi saksi dari pernikahan ini."

Kuhampiri Ibu dan tidak menjelaskan mengapa pak Pendeta tidak datang. Aku mengajukan diri untuk menjadi saksi atas pernikahan Ibu dan pak Amaranth, ralat ayahku. Aku mengatakan hal-hal manis agar mereka mempercayaiku kalau ini kulakukan semata-mata rasa cintaku pada kedua orang ini.

Aku meminta mereka bergandengan tangan di depanku. Erlya berada di sampingku, membawa cincin pernikahan yang terbuat dari plastik—lebih baik daripada cincin kayu yang katanya romantis tapi tidak akan awet seperti milik tetangga-tetangga kami.

Mereka mengucapkan janji pernikahan. Kemudian berlanjut dengan memasangkan cincin di jari manis mereka.

"Sekarang, saling berciuman."
Aku mendekat pada Erlya, kemudian menutup matanya. Aku merasa belum saatnya adikku ini melihat sesuatu seperti ini. Ayah dan Ibu berciuman sambil saling mengaitkan tangan di leher mereka. Tidak tahu mengapa, aku menangis bahagia. Kuharap kebahagiaan kecil ini terus mengikuti kami.

Brakk

Beberapa lilin menjadi padam karena hempasan pintu yang dibuka kasar. Kami menoleh ke arah pintu aula yang terbuka lebar itu.

Sekelompok orang dengan pelindung baja dan topi berkilat putih datang menyerbu kami. Kurapatkan tangan kananku menutupi mata Erlya. Orang-orang itu mengacungkan pedang mereka ke kami. Aku pun juga berusaha menutup telinga Erlya dengan tangan kiri dan tubuhku sendiri begitu mendengar Ibu dan Ayah yang berteriak melawan. Erlya tahu ada yang tidak beres dan ia meronta mengapa aku menutupi dan memeluknya seperti ini. Aku tidak sanggup melakukan apapun selain itu. Aku membeku.

Apa salah kami sehingga para pengawal dari istana mendatangi kami dan mengacungkan pedang? Kulihat di luar juga ada banyak sekali orang. Bayangan-bayangan dalam gelap itu seperti saling berbisik, bergosip tentang kesalahan kami.

Apakah karena kami berhubungan dengan pak pendeta sehingga preman melaporkan kami ke istana? Namun, seserius itu kah hutang pak pendeta?

Aku jatuh terduduk sembari memegangi Erlya erat-erat.
Seorang yang berbeda dari pengawal dengan zirah berwarna perak yang terlihat mahal daripada yang lain mendatangiku dan Erlya. Tak lupa juga ia mengenakan topeng senada yang menutupi wajahnya. Erlya di pelukanku terus meronta meminta tanganku melepaskannya.

"Apakah kau Triste O'leansey?"
Ia berjongkok kepada kami. Aku menatapnya marah sembari terdiam.

"Jadi begitu. Penggal kedua orang itu dan bawa ia!" lelaki itu menunjuk ayah dan Ibu kemudian berganti ke arahku.

Pengawal menangkap kami. Mereka memisahkanku dan Erlya serta memisahkan kami dari kedua orang tua kami. Aku pun mencoba menggeliat melawan dan berhasil lalu memeluk Erlya.

Orang tuaku dibawa menjauh dariku dan Erlya. Mereka dipaksa untuk duduk bersimpuh dengan tangan yang diikat oleh sesuatu yang pengawal bawa. Seorang pengawal berdiri di depan mereka, mengasah pedangnya beberapa kali. Ia kemudian bersiap di samping Ayah.

"Hentikan!" pekikku.
Aku mencoba berteriak sekeras mungkin mencegah seseorang mengayunkan pedang ke leher Ayah.

"Ayah!" Erlya ikut memekik. Suaranya yang melengking diiringi isak tangis membuat hatiku terasa semakin teriris.

Pedang itu membuat kepala Ayah terlepas dari tubuhnya dan menggelinding. Darah ada di mana-mana. Jas putih terbaik Ayah terkena nodanya. Sedangkan Ibu yang berada di sampingnya membeku. Wajahnya terkena cipratan darah itu.

Aku meronta dan akhirnya berhasil lepas dari pengawal. Lalu menghampiri Ibu yang membeku melihat kepala ayah yang matanya terpejam pasrah.
Aku menggerayangi wajah Ibu, membersihkan noda darah ayah. Wajah Ibu yang kaku menoleh padaku.

"Triste. Jangan pernah percaya pada mereka...."

Detik selanjutnya aku kembali ditarik pengawal, aku tidak dapat melawan lagi. Mereka memegangi lebih kuat.

"Ibu!" aku menjerit sekuat tenaga.

Pedang yang tajam itu memotong leher Ibu dalam sekali tebas. Aku kembali menjerit tak karuan. Tiba-tiba saja aku merasa dipukul dan pandanganku menjadi gelap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro