🌙 Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tersentak dan kemudian bangun. Kejadian mengerikan itu untuk sesaat kupikir hanyalah mimpi buruk. Namun rasa nyeri di belakang leherku sangat nyata. Dari hal tersebut, aku tidak dapat memungkiri kalau itu bukanlah mimpi. Ini kenyataan yang menyakitkan dan sesak. Ingin rasanya aku memuntahkan semua emosiku saat ini.

Namun, belum sempat. Pikiranku teralihkan dengan keberadaanku di ruangan asing yang besar ini. Saat ini, aku sedang berada di suatu ranjang yang lembut. Selimut berbulu yang membungkusku hangat ini, kuturunkan. Kulihat ada seseorang yang sedang duduk di sofa depan membelakangi ranjang ini. Bahunya tegak dan lebar, membuatku dapat mengidentifikasi kelaminnya.

Kuturunkan kaki perlahan, mencoba agar tidak membuat suara. Aku tidak tahu siapa yang duduk di sofa itu, bisa saja dia merupakan kawan atau pun lawan. Terlebih sepertinya saat ini aku sedang berada di istana—lambang-lambang istana bergambar cahaya terpampang hampir di seluruh dinding kamar ini.

Aku melangkah dan menyentuh bahunya. Ia pun menoleh padaku. Warna matanya yang hazel menatapku.

Sejenak aku terasa membeku, tatapannya yang membuatku seperti ini. Karena dia lumayan, tampan.

"Kau sudah bangun?"

Dahiku kemudian berkerut dengan cepat. Aku langsung melompat mundur begitu mendengar suaranya. Kuganti tatapan memujaku menjadi tatapan tajam padanya karena aku mengenal suara itu.

Suara yang benar-benar kuingat. Suara yang memerintahkan untuk menghabisi Ayah dan Ibuku.

"Apa yang kau lakukan di sini!?" pekikku.

Dia bangun dari sofa mencoba mendekatiku.

"Kenapa kau memerintahkan memenggal orangtuaku!?"

Ia berhenti melangkah sesaat begitu mendengarkan racauanku yang kasar padanya. Tak lama kemudian ia menoleh ke arah pintu, sepertinya ia menduga akan ada seseorang yang datang.

Tidak terlalu lama pintu kemudian terbuka dan seorang wanita dengan gaun kuning yang terlihat mahal, muncul. Wanita itu memiliki rambut abu-abu yang dibiarkan terurai. Memiliki riasan wajah yang menor berwarna kuning. Tak lupa juga ia tengah memasang senyuman.

"Apakah kau menakutinya Bon?" dia tersenyum. "Sekarang pergilah."

Lelaki yang bernama Bon itu langsung memberi hormat kemudian undur diri. Sepertinya wanita itu adalah orang penting. Wanita itu kemudian melangkah mendekatiku. Sayangnya aku tetap mengambil jarak aku tidak akan membiarkan kewaspadaanku menurun.

"Tenanglah Nona. Di sini tidak ada yang berniat menyakitimu. Kami hanya ingin meminta bantuanmu."

Wanita itu mencoba tersenyum hangat. Namun, entah mengapa ada sesuatu di hatiku yang mengatakan kalau aku harus membenci wanita ini seperti aku membenci pembunuh orang tuaku, yang ternyata bernama Bon.

"Mana adikku?" tanyaku dingin.

Wanita itu tersenyum lagi sembari menepuk tangannya beberapa kali. Seorang pelayan wanita kemudian datang. Lalu wanita yang masih saja tersenyum itu membisiki pelayannya sesuatu. Dijawab dengan anggukan, pelayan itu kemudian melangkah pergi.

"Mari kita sarapan bersama. Adikmu akan ada di sana nanti."

Wanita itu menyodorkan tangannya untuk mengajakku. Aku bergeming, mencoba meyakinkan hati untuk tidak mempercayai siapa pun di sini. Itulah pesan terakhir ibuku.

Hanya saja perutku tidak mau berkompromi dengan hati dan akalku. Ia mengeluarkan suara aneh yang membuat wanita itu tertawa kecil.

"Ayolah, ikut denganku. Adikmu mungkin sudah menunggu di ruang makan."

Dengan terpaksa aku mendekatinya tetapi masih tidak mau menerima ulurannya. Dia pun hanya tersenyum kecut dan menarik tangannya kembali.

Kami melangkah meninggalkan ruangan kamar ini, melewati lorong-lorong istana mewah yang bernuansa merah. Aku menemukan lukisan keturunan kerajaan dan orang-orang yang berjasa di salah satu dinding lorong ini. Aku terdiam memperhatikan salah satu lukisan orang yang berjasa bagi negeri ini. Lukisan itu tidak terlalu besar, jika diibaratkan dengan panjang tubuh manusia. Panjangnya hanya setengah badan.

Wanita itu kemudian menoleh begitu melihatku berhenti dan sedang mengamati sebuah foto yang terasa familier untukku.

"Apakah wajahnya mengingatkanmu dengan seseorang?"

Aku mengangguk, ia mengingatkanku dengan sosok foto Ayah kandungku. Foto yang kupandangi saat ini adalah foto profesor Welde. Salah satu orang yang biasa disebut penyelamat manusia.

"Mungkin saja, orang yang kau maksud berhubungan dengan orang ini." Wanita itu berkata sambil tersenyum misterius. Sayangnya,  aku tidak terlalu ingin tahu. Aku hanya ingin adikku, dan pulang. Itu saja. Karena aku tahu hanya tersisa aku dan dirinya yang bisa pulang.

Ia kemudian berjalan meninggalkanku, aku pun mengikutinya dari belakang.

*

Kami tiba di ruang makan, di sana aku melihat Erlya yang sedang duduk. Walaupun ada satu hal yang membuatku merasa janggal. Begitu mengetahui kedatangan kami, ia berdiri dan memberi hormat pada wanita di sampingku. Mata kami bertemu, ia menatapku cukup lama. Matanya sembab, seperti telah menangis dalam waktu yang cukup lama. Namun, buru-buru dia mengalihkan tatapannya. Ia sepertinya tidak ingin aku tahu kalau ia menangis. Walaupun itu cukup terlambat.

Aku duduk di kursi dengan meja persegi panjang yang muat untuk sepuluh orang. Erlya duduk di seberangku dan wanita itu duduk di sebelahku.

"Selesai makan, kalian pergilah mandi. Dan tenangkan diri kalian sejenak. Baru akan aku jelaskan semua, mengapa kalian berada di sini.  Ngomong-ngomong, aku turut berduka."

Tidak seperti ucapannya yang memiliki pengertian sedih, wanita di sampingku ini malah sigap mengambil beberapa lap yang disediakan pelayan lalu mengikatnya ke leher dan lap yang lain ia taruh di pangkuannya.

Para pelayan meletakkan sebuah piring yang tertutup tudung perak di depan kami. Wanita di sampingku mengatakan untuk tidak makan terlalu banyak hidangan pembuka dengan senyuman yang terus menghiasi.

Tudung dibuka, ada semangkuk sayuran dan buah yang diberi saus putih. Kalau tidak salah kata ibu itu salad. Ibu pernah bercerita kalau ayah dulu pernah membuatkannya saat ia hamil.

Entah dari apa, yang jelas menurut Ibu itu makanan mahal. Terlebih Gris tidak memiliki cukup banyak tanaman yang dapat ditanam di sana. Kami lebih sering memakan sesuatu yang sintetis, seperti nasi sintetis misalnya. Nasi itu bukan berasal dari padi seperti yang dijelaskan di buku sejarah manusia yang sangat menyukai nasi, tetapi dari olahan beberapa zat bukan dari tanaman yang dibuat oleh para peneliti. Harganya yang terlalu murah terkadang membuatku sering bertanya-tanya. Terbuat dari apa makanan sintetis murah yang biasa kami makan?

Aku berusaha melupakan pikiran-pikiranku yang rumit, memilih untuk melahap salad yang ada di depanku. Rasa manis dan masam beradu di mulutku, rasa segar juga terasa. Aku menilik Erlya, ia tak kalah lahapnya denganku. Begitu makanan pembuka habis disantap, saat ini beralih ke makanan utama.

Tudung dibuka, entah kenapa kali ini tidak membuatku bersemangat, malah membuatku mual.

Irisan daging cukup matang yang diberi bawang di atasnya dan kuah yang tidak terlalu banyak. Aku dan Erlya saat ini tengah berkabung, bagaimana kami sanggup memakan daging?

Terlebih ketika bayangan kepala ayah dan ibu dipotong melintas.

"Ugh." Aku menutup mulutku, rasanya kurang sopan jika muntah di sini.

Wanita kerajaan yang di sebelahku bertanya. Aku melirik mangkuknya. Sup daging yang berwarna cokelat dengan potongan daging tidak rapi dan berbentuk aneh. Selain itu aku rasa, aku sudah tidak sanggup di sini lebih lama lagi. Segera saja aku berlari menuju kamar. Berharap sempat untuk sampai di kamar mandi yang berada di dalam kamar. Sayangnya tidak, aku muntah di lorong.

Seseorang menepuk-nepuk dan memijat-mijat punggungku. Kupikir itu pelayan, ia benar-benar ahli meredakan orang yang sedang jelanak.

"Terimakasih."
Aku menoleh dan rasanya ingin kutarik ucapan terimakasihku itu kembali.

"Untuk apa kau membantuku?"

Aku membencinya, benar-benar membencinya. Tatapan datarnya padaku, aku membencinya.

"Kau tidak memakan daging itu kan?"
Dia tidak menggubrisku. Aku pun kemudian membalasnya dengan tatapan nyalang.

"Untuk apa kau ingin tahu?" ujarku yang kemudian melangkah meninggalkannya di lorong. Aku masuk ke kamarku dan menguncinya. Ada sesuatu yang entah mengapa terasa sakit. Tatapan datar dan tatapan tak berdosa lelaki itu, aku membencinya.

***

Tok ... tok ... tok....
Seseorang mengetuk pintu kamarku ini tiga kali, ketukan yang panjangnya sama. Aku yang baru saja menangis di sudut kamar ini, bangkit.

"Dear, kau belum tidur kan?"
Suara itu, suara wanita yang mengajakku makan.

Aku membukanya perlahan.
"Ah, maafkan aku. Aku lupa kalau kau sedang berkabung, tidak seharusnya aku memberimu makan daging."

Wanita itu kini telah memakai pakaian yang berbeda, pakaiannya kini berwarna biru, riasan wajahnya pun juga serba biru. Polesan di bibir, polesan di dekat mata, bahkan kerlip-kerlip aneh yang ia tempelkan di wajahnya.

"Pertama-tama, aku ingin memperkenalkan diri. Sepertinya kau belum mengenalku bahkan kau tidak tertarik untuk mengetahuinya. Sayangnya, kau harus tahu, Dear."

Wanita itu kini sudah masuk dan duduk di sofa.

"Namaku Velothia Freund. Perdana menteri di kerajaan ini. Aku ke sini ingin membuat perjanjian denganmu."

Velothia mengajakku duduk di sampingnya.

"Mau tidak mau, kau memang harus mengikutinya. Jika kau masih ingin hidupmu dan adikmu selamat."

Aku membulatkan mata. Kali ini apalagi yang akan istana lakukan pada keluarga kami.

"Jangan sentuh adikku!"
Rahangku mengeras, entah mengapa ingin sekali aku menampar wanita ini.

"Tidak akan jika kau mematuhiku, dan berpura-pura di depan raja."

Tbc~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro