15. Semoga Allah Memberiku Jalan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Fhanda langsung memutar tubuhnya, ternyata Raiz sudah berjalan lebih cepat. Fhanda kembali ke dalam kamar dengan perasaan yang terus membuatnya bingung.

Setelah sampai di depan pintu, Fhanda masuk dan berbaring di atas ranjang.

Chaca benar, gue harus mencari cowok yang bisa merubah gue jadi seperti dulu, dan gue akan berusaha mendapatkan lo, pikir Fhanda.

Mentari kembali tersenyum meskipun sedikit malu-malu. Semua santriwan dan santriwati sudah bersiap-siap untuk kembali menimba ilmu.

Fhanda bersama ketiga kawannya sudah berada di luar kelas. Raiz dan ketiga kawannya juga sedang berjalan menuju kelas santriwan.

"Ana bingung Rid, kenapa anta menyebut dia bidadari syurgawi. Anta lihat, kepalanya saja tidak menggunakan jilbab," ucap Kholis.

Raiz langsung menoleh setelah dia mendengar perkataan Kholis.

"Anta lihat saja Lis, suatu saat dia juga akan memakai jilbab," balas Farid.

"Anta harus memilih satu di antara dia dan Hanifah, Rid," potong Ridwan.

Raiz menggelengkan kepala melihat kelakuan ketiga kawannya, dan kemudian dia berucap, "Ana duluan ke kelas, karena akan menyetorkan hafalan."

Farid, Ridwan, dan Kholis saling dorong dengan penuh tawa. Raiz berjalan di hadapan mereka sehingga ketiganya berlari kecil mengejar Raiz. Fhanda melebarkan senyum ke arah Raiz, tanpa sepengetahuan ketiga kawannya. Tetapi Raiz hanya membalas dengan anggukan kepala meskipun sedikit.

"Oh iya Han, anti sudah tidak kepikiran Raiz lagi 'kan?" tanya Ifayah.

"Laa Fa," balas Hanifah singkat.

"Sekarang pelajaran Bu Aisyah 'kan?" tanya Fhanda.

"Na'am Fhan," balas Syaqillah.

"Bukan Bu, Fhanda. Tetapi Ustadzah!" tegas Hanifah.

Fhanda memutar bola mata, dia mendapati Ustadzah Aisyah yang berjalan ke arah kelasnya.

"Dia mau mengarah ke sini tuh," tunjuk Fhanda.

"Ya sudah ayo masuk, sebelum dapat hukuman, Fhanda," ajak Syaqillah.

Fhanda bersama ketiga kawannya masuk ke kelas sebelum Ustadzah Aisyah masuk. Begitupun dengan Raiz dan ketiga kawannya yang sudah berada di kelas.

"Oh iya Iz, berapa juz yang akan anta setorkan hari ini?" tanya Ridwan.

"Alhamdulillah dua juz, Wan," balas Raiz.

"Semoga anta berhasil Iz," ucap Kholis.

Farid langsung merangkul bahu Raiz dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri dia gunakan untuk menepuk bahu Raiz. Farid berkata, "Kembaranku ini pasti berhasil."

"Aamiin," jawab Raiz, Ridwan, dan Kholis bersamaan.

Tidak lama menunggu bel, akhirnya Ustadz Ramdan datang ke kelas. Dia berkata, "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, shobahal khoir."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, shobahaanur Ustadz," jawab santriwan serempak.

Ustadz Ramdan langsung duduk dan membuka lembar kertas yang mengikuti seleksi beasiswa. Dia berucap, "Untuk saat ini tidak ada pelajaran dari Ustadz, tetapi Ustadz akan menagih hafalan bagi santriwan yang mengikuti seleksi."

"Na'am Ustadz," jawab santriwan bersamaan.

"Ustadz juga akan memberitahukan lagi, jika kalian berhasil menghafal Al-Qur'an, tahap selanjutnya yaitu nilai dari prestasi kalian juga harus stabil,"

Farid mengangkat sebelah tangan, dia bertanya, "Maaf Ustadz, maksudnya bagaimana?"

"Anta diam dulu Rid," ucap Kholis.

Ustadz Ramdan menggelengkan kepala. Dia berkata, "Harus stabil itu dalam artian harus seimbang Farid, tidak boleh naik turun. Jadi misalnya nilai prestasi Farid untuk satu bulan ini sembilan puluh—"

"Farid mana pernah sembilan puluh Ustadz," pekik seorang santriwan.

Farid hampir saja berdiri kalau Kholis tidak langsung menarik bajunya.

Ustadz Ramdan terus menggelengkan kepala dengan dibumbui tawa. Dia berkata, "Antum ini. Itu misalnya saja, pahimtum?"

Semua santriwan tertawa. Mereka menjawab dengan seksama, "Pahimmna Ustadz."

"Ya sudah. Silakan siapa yang akan lebih dulu menyetorkan hafalan,"

"Ana Ustadz," ucap Raiz dengan cepat.

Ustadz Ramdan mempersilakan Raiz dengan tangannya. Raiz berjalan dan duduk di hadapan Ustadz Ramdan.

"Berapa juz yang akan anta setorkan Raiz?"

"Alhamdulillah dua Ustadz,"

"Na'am, silakan Raiz,"

"Audzubillahi minassyaitonnirojim,"

Fhanda bersama ketiga kawannya, juga santriwati yang lainnya sudah berada di kelas menunggu Ustadzah Aisyah.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, shobahal khoir," ucap Ustadzah Aisyah di ambang pintu.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, shobahaanur Ustadzah," jawab santriwati bersamaan.

Langkah Ustadzah Aisyah berjalan menuju kursi. Dia duduk dan berkata, "Ustadzah akan melanjutkan materi minggu kemarin, yaitu tetap perkenalan diri dalam bentuk percakapan. Fhanda, anti pasti sudah hafal 'kan. Silakan."

Fhanda dan duduk santai, hatinya langsung terpelonjak kaget. Matanya menatap ketiga kawannya secara bergantian. Dia bertanya, "Minggu kemarin emang Bu Aisyah nyuruh gue ngapalin?"

"Pelajaran Ustadzah Aisyah memang seperti itu Fhanda. Sesudah dia mengasih materi pembelajarannya, kita harus menghafalnya tanpa menunggu Ustadzah menyuruh kita," bisik Ifayah.

"Aturan macam apa lagi ini?"

"Anti pasti bisa Fhan," sambung Syaqillah.

"Lo harus bantuin gue, Han," ancam Fhanda ke arah Hanifah, "lo bisikin bacaanya!"

Hanifah mengangguk mengerti. Fhanda mulai memberanikan diri, dia berdiri dengan cukup percaya diri karena Hanifah akan membisikkan kepadanya.

"Silakan Fhanda," ulang Ustadzah Aisyah.

"Hai—" ucap Fhanda.

Hanifah sedikit menarik baju Fhanda sehingga dia langsung menoleh.

"Assalamualaikum," bisik Hanifah.

"Assalamualaikum,"

Ustadzah Aisyah langsung melihat ke arah Fhanda. Dia bertanya, "Masmuki?"

"Han apa, gue gak tahu?" tanya Fhanda pelan.

"Ismi Fhanda. Ismi Fhanda," bisik Hanifah.

"I-ismi Fhanda,"

Di tengah-tengah hafalan tiba-tiba saja terlintas ucapan Fhanda di benak Raiz. Raiz terdiam sejenak. Dia kembali teringat apa yang dikatakan Ridwan.

Jika Allah memberikan jalan untukku, aku akan merubahmu mulai dari hal yang sangat besar. Ridwan selalu berkata bahwa anti tidak pernah memakai jilbab. Aku akan mulai memperingatimu, meskipun sampai saat ini aku tidak tahu namamu, pikir Raiz.

"Na'am Fhanda. Lanjutkan, min aynaa anti?" tanya Ustadzah Aisyah.

Fhanda kembali menoleh ke arah Hanifah, dia bertanya pelan, "Han, apa lagi?"

"Anaa min ... tempat tinggal anti, Fhanda," balas Hanifah.

"An-anaa m-min Jakarta,"

Raiz terus saja terdiam, sehingga pertanyaan Ustadz Ramdan menyadarkannya. Dia bertanya, "Kenapa anta terdiam Raiz?"

Raiz tersadar dan langsung berkata dengan cepat, "Laa Ustadz."

"Na'am lanjutkan Raiz,"

Farid, Ridwan, dan Kholis saling bertatapan melihat Raiz.

"Rid, ada apa dengan Raiz?" tanya Ridwan.

"Na'am Rid, tidak biasanya Raiz seperti itu," timpal Kholis.

"Ana juga tidak tahu," balas Farid pelan.

"Shohih Fhanda. Silakan anti boleh duduk," ucap Ustadzah Aisyah.

Ifayah langsung menepuk bahu setelah Fhanda sudah duduk. Dia berkata, "Anti sudah pandai Fhan."

"Baik, Ustadzah akan lanjutkan. Silakan Ifayah,"

Mata Ifayah langsung sibuk menatap ke arah kiri dan kanan. Dia bertanya kepada Ustadzah Aisyah, "Ana Ustadzah?"

"Na'am Ifayah,"

"Lo pasti bisa Fa, secara lo udah lama jadi santri," ucap Fhanda.

Hanifah mengangguk meyakinkan Ifayah. Dia berucap, "Anti bisa Fa."

Ifayah berdiri dan langsung memperkenalkan dirinya dengan sangat pandai. Raiz kembali melanjutkan hafalan. Meskipun bayangan Fhanda sedikit mengganggu pikirannya.

~~~~



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro