Part 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

    Rendi merebahkan tubuhnya di sofa yang berada di ruang tamunya. Akhirnya ia teringat gudang yang berada di dekat ruang tamunya.  Entah kenapa, orangtuanya selalu melarangnya untuk memasuki gudang itu semenjak ia berusia delapan tahun.
Hal ini membuat Rendi semakin curiga akan keberadaan gudang itu. Rendi akhirnya nekat masuk ke gudang  itu walaupun orangtuanya melarangnya.

    Rendi sekarang sudah berada di gudang, ia terfokus pada sebuah kotak besar berwarna cokelat yang diletakkan di sebuah meja tua . Dengan perlahan, ia mengambil kotak cokelat dan membukanya. Ternyata isinya sebuah buku kuno. Rendi membuka buku itu, membuka setiap lembarannya. Tapi ia tetap tak mengerti isi buku kuno itu karena bahasa memakai Bahasa Jawa. Sedangkan sejak kecil orangtuanya tak pernah mengajarinya Bahasa Jawa.

"Besok aku harus bertemu Dita, kali aja dia bisa Bahasa Jawa," gumam Rendi sambil membawa buku kuno itu keluar dari gudang.

    Rendi akhirnya ke kamarnya meletakkan buku kuno ke dalam tasnya. Ia berencana setelah pulang kuliah ia akan menemui Dita untuk menerjemahkan buku peninggalan Kakeknya.
Seketika Rendi  meratapi nasibnya yang tak bisa normal seperti manusia pada umumnya. Jujur, ia juga ingin normal seperti manusia pada umumnya, tak punya kelebihan seperti yang ia miliki sejak lahir. Sempat berpikir dalam benaknya untuk menghilangkan kelebihannya hanya saja ia tak tahu caranya. Rendi tahu kelebihan yang ia miliki merupakan anugerah dari Allah. Seharusnya ia bersyukur dengan apa yang ia miliki dan bisa menerimanya. Tapi, kadang hal itu sangat menyiksanya, apalagi setiap ada orang yang mau meninggal ia bisa tahu kalau orang itu akan meninggal. Saat sakaratul maut orang itupun Rendi juga bisa merasakan apa yang orang sedang sakaratul maut rasakan. Ia hanya memendamnya sendirian, ia takut kalau orang lain tahu mereka tak akan mau berteman dengannya. Ya, yang ia percaya saat ini hanya Dita, gadis yang ia temui saat raganya keluar dari tubuhnya. Rendi masih teringat waktu itu , tiba-tiba saja ia sudah berada di sana.
Terlihat raut wajah Dita ketakutan saat melihatnya seperti hantu. Entah kenapa, semenjak kejadian tersebut Rendi sangat mempercayai sosok Dita yang polos dan baik hati. Ya walaupun kadang ia masih merasa agak takut dengan Rendi karena kemampuan yang ia miliki.

"Aku nggak mau mempergunakan raga sukmaku lagi. Badanku jadi sakit-sakitan semua. Mungkin kalau benar-benar dibutuhkan aku akan memakainya lagi."
Hal itu yang Rendi takutkan sebenarnya, kadang raganya keluar  dari badannya dengan sendirinya tanpa kemauannya sendiri. Ia mengacak rambutnya frustrasi dan semuanya seakan membuatnya gila! Rasanya,  ia ingin mengakhiri semuanya menjadi normal. Tapi apadaya semuanya sudah diatur sedemikian rupa oleh Yang Maha Kuasa. Ia hanya bisa berdoa yang terbaik untuk dirinya sendiri dan kelebihan yang ia miliki. Mungkin suatu saat ada faedahnya untuk orang lain tak pernah ada yang tahu, kan?
"Iya, aku harus ikhlas dengan pemberian yang Allah berikan ke aku. Terimakasih Ya Allah Engkau telah memberikanku kelebihan ini walaupun aku belum tahu manfaat dari kelebihanku apa,"gumam Rendi sambil menadahkan kedua tangannya. Ia tersenyum simpul berusaha menerima semuanya dengan ikhlas.

       ****

Hari yang dinantikan tiba, seusai pulang kuliah Rendi bergegas menuju ke kampus Dita dengan  mengendarai sepeda motornya. Tak perlu waktu lama, ia sudah sampai di depan kampus Dita, Rendi menunggu di seberang jalan.
   Setengah jam berlalu belum ada tanda-tanda kehadiran Dita. Rendi tetap sabar menunggu, sampai akhirnya ia melihat sosok Dita di seberang jalan sedang berjalan keluar dari gerbang kampus, dengan cepat Rendi menyeberangi jalan dan menghampiri Dita.

  "Hai, Dit," sapa Rendi  sambil melambaikan tangan ke arah Dita.

Dita mengangguk," Hai juga, ada apa, Ren?" tanya Dita yang sedikit kaget dengan kedatangan Rendi yang tiba-tiba.

"Kamu ada waktu luang nggak? Kalau ada, aku mau nyuruh kamu nerjemahin tulisan Bahasa Jawa, kamu bisa kan?"

"Bisa lah, Ren. Masa orang Jogja nggak bisa Bahasa Jawa. Emang kamu nggak bisa?" tanya Dita keheranan.

Rendi hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Ya udah, kamu ambil jurusan Bahasa Jawa kuliahnya? Ya ampun Rendi nekat banget padahal kamu nggak bisa Bahasa Jawa. Tapi, aku salut sama kamu," gumam Dita terkekeh yang langsung dibalasan tatapan tajam dari Rendi.

"Bukan, tapi buku peninggalan kakekku. Aku nggak tahu artinya apa, jadi aku minta tolong ke kamu buat nerjemahinnya. Mau bantu?" Rendi berharap banyak pada Dita supaya ia bisa menguak misteri dari buku kuno peninggalan Kakeknya.

"Iya, kita duduk di sana." Dita menunjuk sebuah kursi panjang yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.

   Akhirnya mereka duduk di kursi yang memang disediakan oleh kampus.

   Rendi mengambil buku kuno di tasnya dan memberikannya ke Dita yang langsung diterima oleh Dita.

Perlahan, Dita membuka buku kuno itu. Tapi, Dita juga tak mengerti karena buku itu menggunakan aksara jawa. Dita memang tak hafal aksara jawa, hanya beberapa huruf aksara saja yang ia tahu dan itu pun hanya beberapa.

   "Maaf, Ren. Aku juga nggak bisa soalnya ini pakai aksara jawa, aku nggak terlalu paham, takutnya nanti malah salah arti," gumam Dita merasa bersalah karena ia tak bisa membantu Rendi untuk menerjemahan tulisan dalam buku kuno.

Rendi menunduk sedih, ia tak tahu harus bagaimana lagi. Pupus sudah harapannya untuk menguak misteri buku kono tersebut.

"Gini aja, Ren. Mau nggak kamu ke rumahku? Kayaknya ibuku bisa deh aksara jawa,"  tawar Dita berusaha menenangkan Rendi yang sedikit kecewa.
Tanpa pikir panjang, Rendi menerima ajakan Dita untuk ke rumahnya. Mereka akhirnya menyebrangi jalan untuk mengambil motor Rendi yang terpampang di jalan.  Dita membonceng Rendi menuju ke rumahnya yang kira-kira dua puluh menit dari kampusnya.

Di sepanjang perjalanan Rendi
hanya terdiam dan tak banyak bicara, ia hanya bisa berharap kalau ibu Dita bisa membaca tulisan dalam kuno itu. Kalaupun tidak, setidaknya Rendi sudah berusaha untuk menguak misteri buku tersebut.

"Ren kok kamu diam aja?" tanya Dita kemudian.

"Nggak apa, Dit. Aku berharap ibu kamu bisa baca tulisan aksara jawanya," jawab Rendi sedikit lantang.

"Semoga aja. Kalau misal ibuku nggak bisa, apa yang bakalan kamu lakuin?"

"Entahlah, Dit. Aku belum tahu. Oh ya, bentar lagi sidangnya Giral, kan?" Tiba-tiba Rendi teringat tentang Giral seseorang yang hampir saja membunuh Rita--teman Dita. Kadang, Rendi tak habis pikir dengan Giral kenapa ia tega melakukan hal sekeji itu. Tapi semua belum terungkap dan sidanglah yang akan mengungkap semuanya termasuk vonis yang akan diterima Giral atas perbuatannya.

"Iya. Kamu konsen berkendara aja, Ren. Bahas masalah itu bisa nanti," ucap Dita.

Rendi mengangguk dan fokus pada kendaraan yang ia kendarai.

Maaf kalau ceritanya rada nggak jelas😂 semoga suka...
Maaf chapter ini terlalu pendek hhe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro