1. OVERACTING IMUN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Namanya autoimun." Dokter Yoga berkata singkat sambil menatap hasil laboratorium di tangannya.

Retno menatap sekilas pada suaminya yang duduk di samping. Di depan mereka, seorang dokter berambut ikal sedang membolak-balik kertas putih, hasil laboratorium Retno. Selama beberapa hari sebelumnya, Retno menderita demam tinggi. Ditambah kondisi tubuh yang lemah bertambah-tambah. Tipes, demikian diagnosa dokter.

Namun beberapa hari setelahnya, kondisi Retno masih belum membaik juga. Dokter lalu memintanya melakukan rangkaian tes laboratorium sekaligus merekomendasikan Dokter Yoga untuk pemeriksaan selanjutnya.

"Autoimun?" Rafi mengerutkan keningnya.

"Jadi, istri bapak menderita penyakit autoimun." Dokter Yoga berusaha menjelaskan. "Setiap manusia memang memiliki imun untuk melawan bakteri jahat yang masuk tubuh. Tapi, imun bu Retno salah mengenali mana kawan mana musuh. Simplenya agak sedikit overacting."

"Tapi kayanya saya ga pernah punya penyakit itu. Dok," sergah Retno.

"Selama ini imun ibu dalam kondisi tidur. Tapi saat janin ibu hadir, si imun mengenali benda asing ini sebagai musuh. Mereka terpicu dan mulai bangun dari tidurnya."

"Lalu gimana, Dok?" Rafi kembali angkat bicara. Ia segera ingin mendengar solusi dari dokter di hadapannya.

"Untuk next kehamilan, kita harus benar-benar program dari awal." Dokter Yoga membasahi bibirnya. "Untuk kehamilan saat ini, saran saya agar diakhiri saja," lanjutnya hati-hati.

Retno tertunduk menahan tangis. Bulir bening perlahan turun. Bayi pertama yang sudah sekian tahun dinantikannya harus diambil paksa sebelum mereka bertatap muka.

"Dok, kami sudah lama menantikan bayi ini. Apa kehamilannya benar-benar ga boleh dilanjutin?" Retno menatap penuh harap.

Dokter Yoga menarik nafas panjang.
"Ada beberapa resiko ...."

"Saya siap Dok!" seru Retno, memotong kalimat Dokter Yoga. "Saya akan bertahan lima bulan lagi."

"Bu ... ada resiko yang lain. Bukan hanya demam dan tubuh yang lemah seperti sekarang. Autoimun bisa menimbulkan komplikasi yang lain. Saya juga tidak yakin janin ibu bisa berkembang dengan maksimal."

"Tapi, hasil USG bayi saya baik-baik saja, Dok. Hanya ... memang beratnya sedikit rendah." Retno berkata pelan. "Saya akan makan lebih banyak dan teratur minum vitamin," sambungnya penuh semangat, mencoba meyakinkan dokter di hadapannya.

Melihat keteguhan Retno, Dokter Yoga tak melihat ada celah untuk mengakhiri kehamilan pasiennya saat ini.

"Kehamilan ibu saat ini sudah masuk delapan belas minggu, kan?" Retno mengangguk penuh semangat. "Saya akan coba ajukan kasus ibu saat konferensi bersama dengan dokter dari departemen lain. Kita cari jalan terbaik. Semoga kehamilan ibu masih bisa dilanjutkan walaupun tidak sampai usia matang. Dan pastinya ibu harus menjalani perawatan khusus," terang Dokter Yoga.

Terlihat binar di mata Retno mendengar kalimat harapan dari Dokter Yoga. Sedangkan Rafi sedari tadi termenung dalam diam. Ia mengeratkan genggaman tangannya pada istri tercinta. Ingin rasanya mengambil alih rasa sakit perjuangan Retno demi buah hati mereka.

"Minggu depan, Ibu konsultasi lagi dengan saya untuk hasil konferensi. Jika disetujui untuk melanjutkan, saya sarankan ibu konsultasi kehamilan dengan dokter obgyn di rumah sakit ini. Untuk memudahkan komunikasi rawat bersama." Dokter Yoga menutup sesi konsultasi dengan Retno dan Rafi.

"Terima kasih, Dok." Rafi menjabat tangan Dokter Yoga dan membimbing Retno meninggalkan rumah sakit nasional itu.

***

Retno masih duduk di sofa putih ruang tamu. Ia memandang lekat pada foto pernikahannya. Tubuhnya yang langsing berbalut gaun putih dengan mahkota diatas jilbab yang terjulur hingga dada. Suaminya yang berbadan atletis, mengenakan pakaian dengan warna senada dipadu peci putih yang membuatnya makin terlihat gagah. Rona bahagia terpancar dari wajah mereka berdua.

Tiga tahun sudah berlalu sejak hari bahagia itu. Selama itu pula mereka menanti hadirnya tawa kecil yang akan menambah hangat rumah. Seluruh ikhtiar dan do'a tak henti dilakukan. Hingga beberapa bulan lalu, dua garis merah itu akhirnya hadir disatu fajar. Bagi Retno, itu adalah pagi terindah kedua setelah hari pernikahannya.

Sejak divonis menderita autoimun, Retno mulai menjalani terapi obat-obatan untuk meringankan penyakit dan mendukung kehamilannya. Sudah satu bulan berlalu, namun kondisi tubuh Retno malah mengalami penurunan. Pelan tapi pasti. Siang kemarin adalah puncak penurunan itu. Wajahnya pucat dengan kepala yang terus menerus terasa pusing. Dokter Yoga, DPL (dokter pemerhati lupus) Retno, memintanya melakukan cek darah. Hasil darah Retno pagi ini menunjukkan bahwa kadar trombositnya rendah. Hanya 90.000 dari jumlah minimum normal 150.000. Dokter Yoga segera menyarankan Retno untuk melakukan transfusi darah dan rawat inap di rumah sakit hingga bayi mereka dilahirkan.

"Sayang ... semua udah siap." Suara lembut Rafi menghentikan lamunan Retno. "Kita berangkat sekarang, yuk," ajak Rafi sambil menarik koper dari kamar tidur menuju pintu depan.
Retno mengangguk sambil memaksakan senyumnya.

"Retno, kamu yakin ibu ga perlu nemenin?" Bu Ati, ibunda Retno yang sedari tadi ikut hanyut dalam suasana hening mulai bicara dengan suara serak. Terdengar nada cemas dan sedih di kalimatnya.

"Ga usah dulu, Bu. Mas Rafi masih ada jatah cuti dua hari. Ditambah lagi libur Sabtu dan Minggu. Ibu istirahat di rumah Dimas dulu, ya. Senin pagi aja ke rumah sakitnya. Buat nemenin Retno sampai hari Jum'at. Jadi Mas Rafi bisa fokus ngantor." Retno menggenggam tangan keriput ibunya dengan erat. Bu Ati setuju.

"Dimas, mba titip ibu. Obat ibu jangan lupa diminum. Senin pagi, sebelum kamu ke kantor, anterin ibu ke rumah sakit, ya." Retno berpesan pada adik laki-lakinya. Adik semata wayang yang usianya terpaut tiga tahun.

"Iya. Mba," ucap Dimas singkat patuh.
Rafi lalu membimbing Retno menuju mobil merah mereka, sedangkan Dimas menggandeng ibunya menuju mobil hitamnya. Mereka berempatpun beranjak dari rumah mengendarai dua mobil. Retno dan Rafi menuju rumah sakit, sedangkan Dimas dan ibunya kembali ke rumah Dimas.

***

"Ibu Retno Pramesti?" Suster Dessy mengintip dari balik tirai yang tergerai memanjang mengelilingi bilik Retno. Memastikan ia tidak salah mengunjungi pasien. Retno mengiyakan. "Kita transfusi darah sekarang, ya," lanjutnya sambil melangkah masuk.

Retno mengamati tindakan medis yang dilakukan. Suter Dessy memasukkan jarum suntik ke punggung tangan kiri Retno. Retno mengernyit saat proses itu berlangsung, menggigit bibir bawahnya. Sebuah selang kecil terhubung pada kantong darah yang digantung di tiang samping kiri ranjang. Sementara di punggung tangan kanan Retno sudah terhubung selang intravena yang bermuara pada botol infus berisi nutrisi dan obat.

"Pak, jika nanti bu Retno merasa sesak atau mual berat, segera hubungi kami, ya." Suster Dessy mewanti-wanti, sambil memutar roller clamp untuk mengatur tetesan cairan darah yang dialirkan.

"Apakah efeknya bisa seperti itu, Sus?" tanya Rafi cemas.

"Itu hanya efek berat, Pak. Biasanya terjadi jika tubuh pasien menolak darah pendonor. Tapi jarang, sih. Cuma jaga-jaga saja," jelas Suster Dessy. "Saya tinggal, ya," sambungnya, kemudian menghilang di balik tirai.

Rafi duduk di samping tempat tidur Retno, membelai rambut panjangnya yang akhir-akhir ini rontok karena penyakitnya. Dipandanginya wajah Retno yang sedang tertidur. Semakin hari terlihat semakin lemah. Terbayang di ingatan Rafi saat Dokter Yoga mengumumkan hasil konferensi. Melanjutkan kehamilan tidak menjadi saran. Namun karena Retno memaksa, pihak rumah sakit hanya bisa membantu perawatan maksimal dengan resiko yang siap ditanggung pasien.

Rafi sudah meminta Retno untuk mengakhiri kehamilan. Ia tidak tega melihat kondisi istrinya yang semakin lemah dari hari ke hari. Namun Rafi juga tidak sanggup melihat derai air mata Retno yang tidak ingin kehilangan bayi pertama mereka. Sebuah dilema.

Proses transfusi darah berlangsung lancar. Efek samping yang dikhawatirkan tidak terjadi. Setelahnya, Retno tertidur pulas, menghabiskan malam pertamanya di rumah sakit dengan nyenyak.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro