2. SRI, SANG IBU KOST

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sang pusat tata surya baru saja memancarkan sinar pertamanya. Kilau di ufuk mulai merambat membasuh kehidupan yang masih terlelap. Seperti biasa, perawat mulai membuka setiap daun jendela. Mempersilahkan udara pagi berdesakan memenuhi setiap sudut ruang. Tirai-tirai bilik pun disibakkan. Menguarkan aroma dari sisa-sisa dengkur semalam.

Menyambut pagi baru mereka, Rafi dan Retno berniat menyantap sarapan bersama. Rafi bergegas keluar ruangan, bermaksud menyambangi pedagang di sekitar. Membeli sarapan untuk mengisi ulang tenaganya. Sementara sarapan milik Retno sudah disiapkan oleh petugas pantry rumah sakit.

Sepeninggal Rafi, langkah-langkah kecil dari bilik di sebelah terdengar mendekat.

"Halo, Mba. Saya Sri," sapa sang empunya langkah memperkenalkan diri. "Gimana kondisinya?"

Retno memindai wanita berbadan mungil yang sudah berdiri di samping biliknya. Seutas senyum menjadi pemanis di wajah bulatnya.

"Alhamdulillah, baik." Retno balik tersenyum.

Di ruangan ini, terdapat tiga ranjang pasien. Retno menempati ranjang yang terdekat dengan pintu. Dua meter di kanan ranjang Retno, terdapat ranjang milik Sri. Ianya juga bersebelahan langsung dengan empat buah jendela kaca. Satu ranjang lain yang masih kosong, terpajang rapi di depan ranjang Sri.

Sepetak ruang berada tepat di hadapan Retno. Alih-alih ranjang pasien, di sana berderet beberapa perabotan untuk dipakai bersama. Kulkas satu pintu berwarna abu tua, lemari pakaian dengan enam rak penyimpanan, serta pemanas air yang tidak selalu berada dalam posisi menyala. Di balik dindingnya terdapat selasar menuju kamar mandi. Sebuah wastafel serta tiang jemuran handuk mengisi ruang di sepanjang selasar itu.

"Oh ya, saya Retno." Retno tersadar belum menyebutkan namanya. Retno menelisik kondisi Sri yang ada di balik kaos putih dan celana panjang cokelat. Tidak terlihat tanda-tanda Sri sedang sakit. Sri bahkan tidak menggunakan selang intravena seperti dirinya.

"Mba Sri dirawat karena apa?" tanya Retno penasaran.

"Plasenta perkreta."

"Plasenta perkreta?" Retno mengernyit. Baru kali ini ia mendengar istilah itu. Dari namanya, Retno menduga penyakit ini berhubungan dengan plasenta atau ari-ari. Jaringan pelindung janin saat masih bertumbuh di rahim.

"Mmm, plasentanya lengket di dinding rahim," jawab Sri. Ia lalu menguraikan, "Kata dokter sih, ada tiga jenis, akreta, inkreta, dan perkreta. Perkreta yang paling rumit. Plasentanya ga cuma lengket di dinding rahim, tapi tumbuh sampai jaringan lain."

Retno mengangguk. Ia tahu sebagian besar pasien yang dirawat di Rumah Sakit Stovia adalah pasien dengan kasus yang yang tidak biasa. Namun ia masih tercengang mendengar jawaban Sri yang disampaikan dengan tenang. Sri bertutur tentang penyakitnya layaknya ia bercerita tentang flu biasa.

"Wah ... wah, ibu kost lagi nyapa penghuni baru, ya?" Seorang perawat masuk ke ruangan dan memotong pembicaraan Retno dan Sri. Sri seketika tertawa kecil.

"Ngobrolnya lanjut nanti, ya. Dokter Nadine mau periksa detak jantung janin bu Retno dulu," sambung perawat itu sambil melirik pada dokter berwajah blasteran yang berjalan di belakangnya.

"Siap, Sus Ririn!" seru Sri sambil meletakan telapak tangan kanannya di kening, seperti gerakan hormat seorang pasukan kepada atasan. Suster Ririn menggelengkan kepalanya, menahan senyum. Ia lalu menutup tirai di sekeliling bilik Retno.

Retno mengintip pada dokter muda yang dimaksud. Dokter Nadine merupakan dokter kandungan residen yang bertugas untuk memantau kondisi Retno selama dirawat. Dokter residen atau Peserta Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) adalah dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialis di suatu rumah sakit. Saat melakukan perawatan pasien, mereka akan dibimbing oleh seorang dokter penanggungjawab pasien atau DPJP.

"Selamat pagi Bu Retno. Kita periksa tekanan darah ibu dan denyut jantung janin, ya." Dokter Nadine menyapa ramah.

Dokter Nadine melilitkan sfigmomanometer digital di pergelangan tangan Retno. Bentuknya seperti jam tangan digital dengan kepala jam berukuran besar. Layar di bagian kepalanya akan menunjukan angka penilaian tekanan sistolik, diastolik, serta detak jantung pasien.

Setelah mendapatkan hasil tekanan darah Retno, Dokter Nadine beralih untuk mendeteksi detak jantung janin Retno. Sejumlah gel ultrasound diusapkan pada perut Retno. Dokter Nadine lalu menyiapkan fetal doppler untuk mendengarkan denyut jantung janin. Di bagian ujung fetal doppler terdapat mikrofon kecil yang bernama probe. Ketika probe diletakkan pada permukaan perut Retno, suara detak langsung terdengar keras. Retno melirik Dokter Nadine yang sedang memandangi layar ditangannya. Layar yang terhubung pada probe ini akan menunjukan hasil detak jantung janin.

Tak ingin mengganggu keseriusan sang dokter, Retno segera mengalihkan pandangannya pada Suster Ririn yang sedang mengatur roller clamp pada tabung infusnya.

"Sus, kenapa mba Sri dipanggil ibu kost?" Setengah berbisik, Retno bertanya.

"Soalnya bu Sri udah lama dirawat di sini," jawab Suster Ririn dengan berbisik pula. "Sekitar dua bulan kayanya," tambahnya. Retno menautkan kedua alisnya, ingin bertanya lagi.

"Denyut jantung bayi ibu bagus. Tapi tekanan darah ibu sedikit rendah." Dokter Nadine memotong pembicaraan Retno. Retno menatap mata cokelat Dokter Nadine, hendak mengajukan pertanyaan.

Sreet ...! Tirai terbuka. Sosok Rafi muncul di baliknya.

"Eh, ada dokter," seringai Rafi. "Gimana kondisi istri dan bayi saya, Dok?" sambung Rafi sambil mendekat ke sisi Retno.

Dokter Nadine berpaling pada Rafi. "Denyut jantung janin bagus. Tapi tekanan darah bu Retno agak rendah." Dokter Nadine melirik Retno, "Sudah sarapan belum?"

"Belum, Dok." Retno menggeleng. "Nunggu suami saya. Pengen sarapan bareng." Retno menunduk tersipu.

Dokter Nadine menarik nafas panjang. "Ibu, makannya tepat waktu, ya. Asupannya juga yang bergizi. Ibu sudah janji akan usaha maksimal, kan?" Dokter Nadine menatap Retno tajam.

Retno tertampar mendengar kata-kata Dokter Nadine. "Iya, Dok." Suara Retno tercekat.

"Ya udah, segera sarapan!" perintah Dokter Nadine sambil membereskan fetal dopplernya. "Oh iya, Rabu depan jadwal USG dan konsultasi dengan Dokter Pasha." Dokter Nadine menginformasikan. "Kalo bisa bapak juga ikut," sambungnya sambil berpaling pada Rafi. Rafi mengangguk tanpa suara.

"Ibu banyak istirahat dan makan, ya." Dokter Nadine menutup kunjungannya, bergegas meninggalkan bilik Retno. Suster Ririn pun beranjak, mengekor di belakang sang dokter. Retno mengantar kepergian mereka berdua dengan ekor matanya.

"Makan, yuk, Sayang." Rafi menghentikan pandangan Retno. Ia lalu menyerahkan nampan berisi sarapan yang sudah disediakan pihak rumah sakit pada Retno. Selanjutnya, ia menyiapkan sarapan untuk dirinya.

Sepiring bubur beras merah yang diguyur santan medok, sebutir telur ayam rebus, sebuah pir kuning nan ranum, serta secangkir susu menjadi menu sarapan pertama Retno di RS Stovia. Berbekal semangat untuk memberi nutrisi pada sang janin, Retno melahap hidangannya hingga tak bersisa. Hal ini membuat Rafi terpana hingga mengabaikan nasi uduk di genggamannya.

Selagi makan, sesekali ekor mata Retno mencuri pandang pada Sri yang duduk di kursi. Nampan berisi sarapan terhampar di meja kabinet di hadapannya. Dialog khas Negeri Ginseng melantun dari ponsel hitam di dekat nampan. Di samping kiri Sri, empat buah daun jendela terdedah lebar, menghantarkan udara pagi yang segar.

Setelah menandaskan sarapannya, Rafi bersegera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sepeninggal sang suami, Retno mulai membuka percakapan dengan teman barunya.

"Mba Srii," panggil Retno pelan. Sri yang sedang bermesra dengan ponselnya, berpaling ke sumber suara. Alisnya terangkat menanyakan maksud sang pemilik suara. "Keluarganya ga nemenin?" sambung Retno.

Seutas senyum terpaksa hadir di wajah bulat Sri. "Ga. Suami saya harus kerja. Pulang kerja, dia bantuin ibu saya ngurusin anak-anak. Yang satu masih tiga tahun. Satu lagi, yang baru saya lahirin kemarin. Masih dua bulan," jawab Sri pelan. Terdengar jejak-jejak sedih di suaranya. Beberapa kali ia mengerjapkan mata.

"Mba Sri udah lama dirawat?" Retno teringat percakapannya dengan Suster Ririn tadi.

Sri mengiyakan, "Dari lahiran, sampai hari ini." Ia mengakhiri kalimatnya dengan tawa hambar, berusaha menyamarkan aroma kesedihan.

"Bayi yang kecil ... ASInya gimana?" tanya Retno hati-hati.

"Dikasih susu formula. Mau gimana lagi? Yang kasihan, sih, yang umur tiga tahun. Nyariin mulu. Pernah sih, diajak ke sini sama suami saya, tapi sama satpam ga boleh lama-lama. Anak kecil kan emang ga boleh masuk rumah sakit. Itu juga udah dikasih keringanan. Pas ketemu, anak saya ga mau pulang. Nangis kejer. Makanya, ga saya bolehin lagi ke sini. Kasian. Mending video call-an aja," cerita Sri. "Sebenarnya saya kangen banget sama anak-anak saya," sambungnya lirih seraya menundukkan kepala. Sri menenggelamkan diri dalam layar pintar di genggaman. Dalam relung-relung hatinya, mendung pun mulai bergelayut.

Hening menyelimuti keduanya. Retno kehilangan kata-kata. Rasa bersalah menggedor-gedor dadanya. Ia menyesal karena telah menyentil rasa rindu Sri yang meluap. Hipotalamus Retno berputar mencari celah untuk meleburkan canggung yang tercipta. Hingga ia teringat ihwal yang tadi ingin disoalkan. Retno berharap ihwal tersebut mampu menyesarkan perhatian Sri.

"Oh iya, tadi kan Mba Sri lagi cerita tentang plasenta perkreta. Terus gimana, Mba?" tanya Retno. Sri mendongak mendengar tanya Retno. Senyumnya tersungging. Pupil mata Sri bergerak ke atas, menggali ingatan yang terberai.

"Mmm, jadi kan, abis bayi lahir harusnya plasenta juga ikut lahir. Paling lama setengah jam setelah bayi." Sri mulai bercerita. "Tapi kalo ada kelainan kaya saya, plasentanya ga ikut lahir. Nempel terus di dalam rahim."

"Terus, sekarang plasenta mba Sri gimana? Sudah diambil?" kejar Retno.

"Sudah, sudah diambil sama dokter," ucap Sri, "sekalian sama rahim-rahimnya."

Retno terkejut bukan kepalang. Kelopak matanya terbuka lebar, memperlihatkan iris mata yang kecokelatan. Tanpa sadar, mulut Retno pun ikut terbuka. Untuk kesekian kalinya, Retno dibuat terdiam oleh cerita Sri. Pikiran Retno mengembara pada wanita tanpa rahim di hadapannya. Rahim, jaringan tempat janin bertumbuh di dalam tubuh, sudah tidak lagi dimiliki oleh sang ibu kost. Maka Sri harus bercukup dengan dua anak yang dimilikinya saat ini. Sri mengulum senyum. Ia seolah sudah menduga reaksi sang lawan bicara.

"Kok malah bengong? Saya bersyukur Allah masih kasih kesempatan untuk hidup. Buat ngebesarin anak-anak saya. Walaupun ga bisa hamil lagi." Sri berucap bijak. Meskipun masih terguncang, Retno mulai menetralkan keterkejutannya.

Sri bangkit dari duduknya, melangkah pelan menuju sisi ranjang bagian kiri. Tangan kanannya menggenggam cangkir susu yang belum dihabiskan. Ia pun mengambil tempat di tepi ranjangnya. "Mba Retno sakit apa?"

"Autoimun," jawab Retno. "Imun saya lebay, overacting gitulah. Harusnya melawan bakteri jahat, eh, semua malah dianggap musuh sama dia, termasuk janin saya. Efeknya jadi ikut nyerang tubuh saya juga." Retno menjelaskan sambil tersenyum. Ia mencoba meniru ketegaran Sri, yang mampu berdamai dengan penyakit yang bersarang di tubuhnya.

"Kemarin Mba Retno tranfusi darah, ya? Itu karena autoimun juga?" tanya Sri. Ia teringat gaduh yang tercipta di ujung senja sebelumnya. Percakapan di balik tirai mengantarkan sebuah hipotesa.

Retno mengangguk. Ia lalu melipat kedua kakinya, duduk bersila dan menyesuaikan tubuhnya ke arah Sri. Ada rasa nyaman yang tercipta di hatinya. Ternyata, bercerita mampu mengurangi sesak yang dirasa.

"Sampai kapan dirawat di sini?" tanya Sri penasaran.

"Sampai bayinya lahir. Biar selama hamil, dokter pemerhati lupus dan dokter obgyn bisa memantau kondisi saya. Khawatir drop lagi," jelas Retno. "Jadi, kayanya saya bisa jadi wakil ibu kost." Retno terkekeh. Sang ibu kost pun ikut terkekeh.

"Ikutin kata dokter aja, Mba. Jangan kaya saya." Sri menghentikan tawanya dan mulai menasihati Retno.

"Loh? Emang Mba Sri ga nurut dokter?" seloroh Retno mencairkan suasana.

Sri menyesap susu di genggamannya, lalu berkata lirih, "Saya tuh ketahuan punya plasenta perkreta dan plasenta previa sejak hamil tujuh bulan."

"Plasenta previa?"

"Plasentanya nutupin jalan lahir," sahut Sri. "Waktu itu udah periksa di sini sama Dokter Pasha. Disuruh lahiran disini juga. Terus dikasih tau kalo nanti rahimnya mau diangkat. Suami sama keluarga ga setuju. Sayanya juga takut." Sri menarik nafas panjang. "Maklumlah, Mba Retno. Pikiran kami jadul. Kami pikir, dokternya aja yang macem-macem. Soalnya anak pertama saya kan, lahirnya lancar-lancar aja."

"Terus?" kejar Retno. Ia makin bersemangat mendengar kisah Sri.

"Saya milih lahiran di bidan. Pas udah pembukaan, bidan ngeliat kalo plasentanya nutup jalan lahir. Untung bidannya ngerti. Saya langsung dirujuk buat sesar di RSUD Bogor. Pas udah sesar dan plasenta mau diambil, ternyata lengket. Jadinya, dokter cuma bisa ngambil sebagian. Sisanya ditinggalin di perut."

"Kenapa ga sekalian diambil semua?"

"Pasilitas di sana ga lengkap. Habis itu, perut saya buru-buru dijahit. Terus, saya langsung dibawa ke sini naik ambulance."

"Waktu ke sini rahimnya masih ada?"

Sri mengangguk tegas. "Nyampe sini, saya udah ga sadar. Tau-tau pas sadar udah di ICU. Terus dikabarin kalo plasenta dan rahim saya udah diangkat. Jadi, abis sesar di Bogor, nyampe sini saya disesar lagi." Sri tergelak. Di seberang, Retno hanya mampu terdiam terpana saat mendengar tiap kalimat yang bergulir dari bibir Sri.

"Emang rahimnya ga bisa diselamatin ya, Mba?"

Sri menggeleng. "Kalo plasenta yang lengket cuma dikit, bisa dikuret, sih. Jadi rahimnya selamat. Tapi kata dokter, ada resiko pendarahan juga." Sri sejenak menjeda. Alisnya berkerut saat otaknya menggali-gali ingatan. "Ada juga kasus pasien yang ga dikuret. Plasentanya dibiarin aja di rahim. Biar ga pendarahan dan rahimnya selamat."
Sri kembali menghentikan kalimatnya. Kali ini ia lakukan demi mengosongkan cangkir susu di tangan.

"Kalo plasenta saya, yang lengketnya banyak banget. Ada yang nempel sampai di usus juga. Jadi, mau ga mau rahimnya harus diangkat. Ga bisa diselamatin lagi, deh," tukas Sri sambil berjalan memutar menuju meja kecil di bawah jendela, meletakkan cangkir yang hanya menyisakan sekumpulan udara.

"Saya baru tahu loh, Mba, kelainan plasenta ini. Berarti periksa hamil itu emang penting, ya?"

"Iya. Dokter Pasha cerita, ada bidan apa dukun beranak gitu, karena ga punya informasi, dia maksa buat ngeluarin plasenta yang lengket. Karena plasenta pasien ga lahir-lahir, akhirnya dia narik plasenta pasiennya biar keluar. Jadinya, rahim pasien robek, pendarahan, terus meninggal. Makanya pas saya sadar di ICU, saya langsung diomelin sama Dokter Pasha karena ga nurut. Alhamdulillah, Allah masih selamatin saya." Sri kembali duduk di tepi ranjang, menghadap ke arah Retno.

"Terus, Mba Sri masih dirawat untuk pemulihan, ya?" tanya Retno ingin memuaskan dahaga ingin tahunya. Cerita Sri yang menegangkan bak rute rollercoaster, membuat Retno mengabaikan kehadiran Rafi di belakangnya.

"Cerita tentang plasentanya belum selesai, Mba Retnoo." Sri tergelak sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangan.

"Masih bersambung?" Retno terbelalak. "Emang ada apa lagi sama plasentanya, Mba Sri?" tanya Retno tak habis pikir.

Rafi yang berada di balik punggung Retno refleks mencolek pinggang sang istri. Saat Retno menoleh, ia disambut dengan tatapan tajam dari mata elang Rafi yang mengisyaratkan agar Retno menahan hasrat ingin tahunya.

"Ga papa kok, Mas. Saya senang bisa curhat-curhatan gini. Ga semua orang ngalamin kaya saya, kan? Mudah-mudahan bisa diambil hikmahnya. Sambil terus bersyukur," komentar Sri, memahami isyarat Rafi. Retno menatap Rafi, sambil memonyongkan bibirnya seolah berkata, tuh kan!

Bagi Sri, berbincang dengan para perawat atau pasien lain menjadi salah satu hiburan. Sudah dua bulan ia berada di rumah sakit ini. Keluarga dan suami tak bisa sering bertandang karena berbagai keterbatasan. Rasa jenuh kerap mendekap Sri. Ia hanya mampu menatap nanar halaman luar dari daun-daun jendela, sembari sesekali menatap layar datar ponselnya untuk berselancar di dunia maya atau sekedar menyaksikan tayangan yang disuka.

Keluasan waktu bercengkrama dengan ponsel, tanpa diganggu oleh pekerjaan rumah atau tangisan anak-anak, pernah menjadi impian Sri. Namun saat ini, Sri rela menukar semua itu dengan bising suara anak-anak atau pekerjaan rumah yang tiada habisnya. Rasa sesal terus menggelayuti ketika Sri mengingat masa lalu. Betapa dulu ia lebih sering menatap layar ponsel dibanding menatap wajah sulungnya. Ia lebih sering berbalas komentar di media sosial daripada menjawab pertanyaan sepele anaknya. Ia lebih bersemangat mengintip status teman-temannya alih-alih menemani balitanya mencari mobil-mobilan yang terselip entah di mana. Mungkin ini cara Allah menegurnya, agar Sri tahu mana yang lebih berharga.

"Sekitar sebulanan habis sesar yang kedua, saya disesar lagi loh, Mba," lanjut Sri.

"Hah? Kok bisa?" Retno mengernyitkan dahinya, tidak mampu membayangkan operasi sesar yang dijalani Sri berkali-kali.

"Nah kan, kaget ya? Waktu dikasih tau mau sesar lagi, saya juga kaget. Saya bilang ke Dokter Pasha 'kenapa kemaren perut saya ga dipakein resleting aja, Dok. Biar gampang buka-tutupnya.' Ya, kan?" Retno tergelak mendengar keluhan Sri.

"Tadi saya udah cerita kan, kalo plasenta saya tumbuh sampai usus?" konfirmasi Sri, yang dijawab anggukan Retno. "Nah! Di operasi yang kedua, karena dalam kondisi emergency, tim dokter cuma ngeluarin rahim saya. Tapi plasenta yang nempel di usus belum bersihin karena harus konferensi dulu sama dokter gastroenterologi, buat tahu tingkat keberhasilan dan resikonya.

"Udah beberapa hari, baru ada hasil konferensi yang mutusin kalo plasenta di usus juga harus diambil. Yang masih bisa diambil aja, sih. Kata Dokter Pasha, ada sedikit plasenta yang ga bisa dibersihin dari usus. Mungkin dia terlanjur jatuh cinta sama usus gara-gara beberapa bulan jalan bareng. Ya udah. Yang ini dibiarin aja di usus. Soalnya operasi yang ngelibatin usus, resikonya besar."

"Jadi, sekarang di usus Mba Sri masih ada sisa plasenta?" Kali ini Rafi menyelak. Ia tidak mampu menahan dahaga ingin tahu dan keterkejutannya. Retno memandang suaminya dengan dahi berkerut. Sang suami membalasnya dengan tatapan acuh tak acuh.

"Iya! Sekarang saya cuma disuruh kemoterapi buat matiin sisa plasenta di usus. Udah dua kali kemo, sih. Tapi efek sampingnya, sel saya yang sehat juga ikutan mati." Sri tersenyum kecut.

"Oh, jadi karena masih kemo, makanya Mba Sri masih dirawat." Retno menyimpulkan. "Kata dokter sampai kapan?" sambung Retno sambil meraih botol minumnya.

"Belum tahu sampai kapan. Mudah-mudahan tinggal berapa kali kemo lagi, terus bisa pulang. Saya khawatir kalo kelamaan di sini. Takutnya ga jadi ibu kost lagi, tapi naik pangkat jadi kepala perawat." Sri terkikik, berusaha menghadirkan canda untuk menyamarkan sedihnya. Retno dan Rafi mengerti dengan situasi yang dicipta, merekapun ikut tertawa.

"Ssst ...! Rame kali. Ada apa, sih?" tanya Suster Kay yang memasuki ruangan bersama Suster Ririn. Saking larut dalam tawa, ketiganya tidak mendengar suara pintu ruangan yang dibuka.

"Biasa Sus, ngobrol-ngobrol. Ngilangin jenuh," jawab Sri sekenanya.

Kedua suster itu berjalan beriringan. Suster Ririn memeluk satu set sprei di dekapannya. Sementara Suster Kay melenggang dengan tangan hampa di depannya. Mereka terus melangkah menuju ranjang kosong di depan Sri. Dengan cekatan, Suster Ririn mulai mengganti sprei putih di ranjang. Di sisi lain, Suster Kay mengecek kondisi perlengkapan di bilik yang sama.

"Ada pasien baru, Sus?" tanya Sri.

"Iya. Anak gadis. Masih muda. Baru keluar dari ICU. Kalian berdua jangan berisik, ya. Biar dia bisa istirahat." Suster Kay memperingatkan sambil melayangkan pandang pada Retno dan Sri.

"Iya, Sus." Sri dan Retno menjawab hampir bersamaan.

"Sakit apa, Sus?" tanya Retno. Pikirannya berkelana pada sosok gadis muda yang harus dirawat di ruang rawat khusus obgyn.

"Kanker ovarium," jawab Suster Kay singkat.

🏩🏩🏩

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro