6. CITA SEDERHANA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mungkin nggak, Dok, Dokter Yoga memberikan usul perpanjangan waktu?" Retno masih belum kehilangan harapannya.

Dokter Pasha berdiam sejenak sambil menatap tajam pada Retno. Ia menghela napas panjang sebelum mulai membuka suara.

"Dengan kondisi ibu yang sempat drop beberapa waktu lalu dan perkembangan janin yang kurang maksimal, saya rasa peluang untuk penambahan waktu sangat kecil. Saya malah khawatir Dokter Yoga meminta waktu yang lebih cepat." Dokter Pasha menyapu pandangan pada Retno dan Rafi. "Tapi, kita lihat saja nanti," sambungnya.

Retno tertunduk lemah.

"Jangan lupa untuk makan-makanan yang bergizi, minum vitamin, istirahat yang cukup," tutup Dokter Pasha.

Ia lalu menyerahkan rekam medis Retno pada asistennya untuk diserahkan pada Suster Ririn yang selanjutnya akan disimpan di nurse station gedung rawat. Hal ini untuk memudahkan para dokter yang ingin mengetahui kondisi pasien rawat inap, terutama pasien-pasien yang harus menjalani rawat bersama lintas departemen.

Perjalanan kembali ke ruang rawat di gedung A, lebih banyak diisi dengan keheningan. Saat melewati koridor tak beratap, Rafi dengan sigap melindungi Retno dari paparan sinar matahari yang akan menimbulkan bintik-bintik kemerahan di kulitnya. Timbulnya bintik-bintik merah ini merupakan salah satu gejala pada pasien autoimun. Dengan pertimbangan inilah, dokter menempatkan ranjang Retno jauh dari jendela.

🏥🏥🏥

Gelak tawa Fariza menjadi suara pertama yang terdengar saat Suster Kay membuka pintu ruang 305. Tawanya yang jernih membuat ruangan berdinding krem itu menjadi hangat. Mendengar nada ceria Fariza membuat kesedihan yang menggelayuti Retno sedikit berkurang. Retno mengerjapkan mata, mencoba membuka memorinya. Ia tersadar bahwa cobaan yang dihadapi gadis muda ini lebih berat dari miliknya. Perlahan-lahan Retno kembali membangun semangat yang sempat runtuh.

"Gimana Tante Retno? Dede bayinya sehat-sehat, kan?"

Retno terhenyak dari lamunan saat mendengar pertanyaan tetiba dari Fariza.
Retno berpaling pada Fariza, mengangguk singkat sambil menyunggingkan senyum yang ia paksakan. Kursi roda berdecit ke arah bilik Retno. Rafi membantu Retno turun dari kursi roda dan menaiki ranjang melalui sisi kiri. Sisi yang berseberangan dengan tempat Ati menunaikan salat Dhuha. Retno menyimak sujud Ati yang berlangsung lama. Pasti begitu banyak doa yang ia bisikan ke bumi, batin Retno. Ekor mata Retno juga sempat menangkap Sri yang sedang melangsungkan video call dengan keluarganya.

Setelah Retno duduk di ranjang, Suster Ririn tak luput mengecek volume tabung infus dan kondisi jarum intravena di punggung tangan Retno. Ia memastikan semuanya dalam kondisi baik, sebelum pamit untuk kembali ke nurse station.

Sambil menanti mertuanya selesai bermunajat, jari-jari Rafi mulai berselancar di betis Retno. Ia berusaha meringankan kesemutan yang beberapa hari ini kerap bertamu di kaki-kaki istrinya. Retno menikmati pijatan itu sambil menenggak sebotol air mineral. Tetes demi tetes yang meluncur di tenggorokan, perlahan menghapus dahaganya.

"Kapan rencana lahirannya, Mbak?" Suara Sri memecah kenikmatan Retno.

Wanita dengan rambut dikepang satu itu, sudah duduk di sisi ranjang yang menghadap Retno. Rupanya, ia segera mengakhiri panggilan ketika menyaksikan Retno tiba di ruangan. Kedekatan keduanya, ibarat kawan lama yang kembali berjumpa.

"Kata Dokter Pasha, kemungkinan pas janinnya tiga puluh minggu. Tapi, nunggu keputusan dari DPL juga, sih."

"DPL?"

"Dokter pemerhati lupus. Dokter Yoga."

"Oh. Tiga puluh minggu itu berarti tujuh bulan, ya?" tanya Sri.

Dengan mulut yang penuh berisi air minum, Retno mengangguk.

"Kata orang dulu, pas tujuh bulan, bayi udah tua. Pas delapan bulan balik muda lagi. Terus pas sembilan bulan, balik tua lagi. Jadi, bayinya Mbak Retno lahirnya pas lagi tua. Insyaallah kuat."

"Benar itu. Di kampung kami juga begitu. Ada yang lahiran pas tujuh bulan, bayinya sehat sampai sekarang. Udah nikah lagi. Katanya bayi yang lahir tujuh bulan itu udah tua," timpal Aiman.

"Emang gitu, Ma?" sela Fariza. Ia meletakan komik One Piecenya di celah kedua kaki. Aiman mengangguk pasti.

"Doain, ya. Mudah-mudahan bayinya bisa di perut sampai tujuh bulan," ucap Retno penuh harap, yang disambut dengan kata aamiin dari Sri, Fariza dan Aiman.

"Setelah lahir, masuk inkubator, ya?" tanya Sri.

"Emang harus masuk inkubator?" Aiman menoleh pada Sri. "Tetangga kami waktu itu, bayinya cuma dimasukin ke kotak. Terus di atasnya digantungin lampu kuning," sambung Aiman.

"Masa sih, Ma? Kok kaya anak ayam," komentar Fariza sambil bergidik. Dahinya pun ikut mengernyit.

"Iya, Fa. Di kampung saya juga digituin. Namanya inkubator tradisional. Di kampung kan susah dapat inkubator." Sri mengukuhkan perkataan Aiman. "Tapi ada juga sih, yang nggak pake lampu. Di jemur aja tiap pagi," tambahnya. Retno terkikik mendengar percakapan ketiga tetangganya.

"Kata Dokter Pasha, setelah lahir, bayinya dirawat di inkubator dulu sampai kondisinya stabil," tutur Retno sembari mengingat-ingat berat janinnya.

Entah berapa lama waktu perawatan yang diperlukan oleh bayi itu. Memikirkannya membuat hati Retno semakin sakit. Melihat perubahan ekspresi wajah istrinya, Rafi segera mengalihkan topik pembicaraan. Ia tidak ingin Retno berlarut dalam kesedihan.

"Oh iya, kira-kira nama bayinya bagusan Asyila atau Ameera, ya?" tanya Rafi.

"Ameera bagus Om. Namanya cantik, kaya dede bayinya nanti."

"Tahu darimana kalau bayinya cantik?"

"Tahulah, Om. Tante Retno kan cantik. Bayinya pasti cantik juga," ucap Fariza penuh keyakinan. "Nanti kalau bayinya udah pulang ke rumah, Fa boleh jenguk, kan?" tanya Fariza.

"Boleh dong, Fa." Retno tersenyum geli mendengar celoteh gadis yang selalu bersemangat ini.

"Oh iya, kata dokter, Jum'at pagi Fa udah boleh pulang ke rumah. Fa pasti kangen sama tante Retno dan tante Sri," lirih Fariza. Ia melirik Retno dan Sri bergantian. Retno terharu mendengar penuturan gadis mungil tersebut.

"Sama Nenek, nggak kangen?" celetuk Ati, menganggetkan penghuni yang lain. Rupanya ia sudah menyelesaikan raka'at shalatnya.

"Kangenlah, Nek," ujar Fariza manja.

Celoteh Fariza membawa kehangatan di relung hati Ati, keharuan dan kerinduan pada sosok seorang cucu. Ati melirik sekilas pada perut Retno. Ia pun tersenyum membayangkan calon cucunya.

"Kapan Fa boleh sekolah lagi?" tanya Retno memecah kesunyian.

"Kata dokter, Fa harus istirahat dulu, dua minggu. Setelah itu baru boleh sekolah. Nih, Papa lagi ngurus ijin di sekolah."

"Ijin apa?" kejar Retno.

"Ijin biar kelas Fa yang di lantai dua, dipindahin ke lantai satu. Jadi Fa nggak naik turun tangga dulu."

"Wah, Fa semangat banget nih, buat sekolah."

"Iya dong, Tante Retno. Fa kan pengen jadi dokter."

"Fa mau jadi dokter apa?" Kali ini Sri bertanya.

Garis bibir Fariza melebar ke setiap sisi, memperlihatkan dua gigi serinya yang besar seperti gigi kelinci. Fariza memandang sang ibu sambil tersenyum-senyum.

"Dulu, Fa pengen jadi dokter kandungan. Tapi berubah ya, Fa?" Aiman menjawab pertanyaan yang ditujukan untuk putrinya.

"Hehehe, iya. Tadinya pengen jadi dokter obgyn. Kayanya seru aja nyaksiin kehidupan baru dimulai. Tapi, pas Fa tau kalau dokter obgyn juga nanganin penyakit-penyakit kandungan ... nggak jadi, deh." Fariza kembali menyeringai.

"Terus, sekarang mau jadi dokter apa?"

"Mau jadi dokter anak aja deh, Tante Retno. Jadi, Fa bisa terus ketemu sama anak-anak. Dari yang bayi sampai yang udah gedean. Misalnya Fa nggak bisa punya anak, Fa kan bisa ketemu sama pasien-pasien Fa," ucap Fariza bersemangat.

Suasana di ruangan hening seketika. Darah Retno mendesir, membayangkan masa depan gadis muda di seberangnya. Kalimat Fariza mengalir lancar, seolah tak ada beban untuk masa depannya. Sangat berbeda dengan Fariza di awal kedatangannya ke ruang ini. Ketika isaknya menjadi alunan wajib sepanjang malam. Canggung terasa selama beberapa saat.

"Jangan ngomong gitu, Fa. Kan dokter udah bilang. Mudah-mudahan di masa depan akan ditemukan teknologi canggih buat nolong perempuan-perempuan seperti Fa." Aiman mengambil alih suasana. Telapak tangannya yang bergurat mengelus pelan lutut sang putri semata wayang.

"Iya, Ma. Tadi itu cuma misalnya. Fa terus berharap untuk dapat yang terbaik, kok. Tapi, Fa juga harus siap dengan yang terburuk." Fariza tersenyum pada Aiman. Kata-katanya mengalir lancar tanpa jejak penyesalan.

"Allah kasih ujian ini karena Fa dianggap sanggup, kan?" Fariza mengutip pernyataan Profesor Ronally. "Iya nggak, Tante Retno, Tante Sri?"

"Betul." Sri menjawab dengan mantap. Sementara Retno hanya mengacungkan jempol kirinya.

🤰🤰🤰
Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro