7. DARAH BIRU RADEN AYU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana Jumat pagi di ruang 305 sedikit berbeda. Aroma bahagia, haru dan sedih terkumpul menjadi satu dalam atmosfer ruang berukuran 6 x 6 meter itu. Sedari pagi buta, orang tua Fariza sudah bersiap untuk membantu putri mereka meninggalkan Rumah Sakit Stovia. Baju-baju dijejalkan ke dalam tas koper cokelat. Komik One Piece, Detektif Conan, Doraemon, dokumen rawat jalan, serta berbagai tabloid selebriti, berdesakan di dalam tas kanvas berwarna merah.

Selepas waktu sarapan, beberapa dokter datang silih berganti mengunjungi Fariza. Para dokter memeriksa bekas jahitan dan menanyakan tingkat nyeri yang ia rasakan. Selain memastikan kondisi pasien muda itu, dokter juga mengingatkan jadwal kemoterapi dan konsultasi, serta obat-obat yang harus diminum. Nasihat dan dukungan tidak luput diberikan oleh setiap dokter, agar gadis itu terus semangat menghadapi hari-harinya kedepan.

Ada sedikit sedih dan kehilangan yang dirasakan Retno atas kepergian Fariza. Tidak bisa dipungkiri, gadis remaja itu menjadi sosok yang menghibur hingga ia bisa melupakan beban pikirannya selama menjalani perawatan. Keceriaan gadis itu membuat Retno bernostalgia pada masa remaja, saat ia pertama kali bertemu Rafi.

Rafi, senior yang sering menjahilinya sejak hari pertama masa orientasi sekolah. Alasannya sederhana. Alih-alih menterjemahkan 'cacing menggeliat' sebagai mie goreng, Retno malah membawa setoples penuh cacing sebagai tugas masa orientasi sekolah. Ia mengira, hari itu mereka akan melakukan aktivitas menanam di sekolah. Maka dengan kepercayaan diri yang selangit, gadis itu membawa cacing sungguhan. Sejak itu, namanya langsung terkenal di antara seluruh siswa baru.

Langkah tertatih Fariza mengembalikan Retno dari lamunan. Gadis itu bergantian mengunjungi bilik teman-temannya. Peluk dan air mata mengantar kepergiannya, dengan janji untuk terus menjaga komunikasi. Juga janji untuk bertemu di satu hari nanti. Tentu saja pertemuan di luar rumah sakit. Retno pun berharap Fariza bisa menjalani masa remajanya seperti remaja yang lain.

"Pasiennya, kita berdua lagi, nih," celetuk Sri saat Fariza sudah pergi.

"Iya. Ibu kost dan asisten ibu kost." Retno menimpali yang disambut dengan gelak tawa dari keduanya.

Tawa itu terhenti saat pintu ruangan terbuka. Dua orang suster memasuki ruangan. Dengan langkah-langkah besar, mereka menuju bilik bekas Fariza. Suster Ririn melangkah di depan. Ia membawa sprei dan sarung bantal putih, serta selimut salur biru putih di pelukan. Ia lalu mengganti sprei yang membungkus ranjang kosong yang ada. Sementara, Suster Kay yang ada di belakang, segera menuju meja kabinet kecil yang ada di sebelahnya. Ia meneliti laci kabinet dengan seksama.

"Ada pasien baru lagi, Sus?" tanya Sri.

Suster Kay yang sedang berjongkok, menoleh ke arah Sri. Tangannya yang sedang membuka laci kabinet bagian bawah, tetap tergantung di pintunya.

"Iya. Pindahan dari ruang sebelah. Tadinya pihak keluarga nyari ruang VIP atau VVIP. Tapi semua penuh. Kebetulan di sini kosong, pasiennya juga mau. Lumayan, lebih nyaman dari ruangan kelas tiga."

"Oh, anak pejabat ya, Sus?" selidik Sri.

"Katanya sih, pengusaha. Keturunan ningrat juga, deh. Namanya ada raden-radennya, gitu. Nanti Bu Sri kenalan aja sama orangnya," pungkas Suster Kay sambil melongokkan kepala ke dalam laci kabinet.

Setengah jam kemudian, Suster Kay kembali masuk ruangan. Kali ini ia memimpin rombongan yang terdiri dari tiga wanita dan satu pria. Di belakangnya, ada Suster Ririn yang mendorong kursi roda berwarna hitam. Seorang wanita muda duduk di atasnya. Wanita itu memeluk Teddy Bear besar berwarna cokelat tua.

Aura sendu menghiasi wajah pucat sang pasien. Matanya terus menatap ke arah bawah. Seorang pria muda dan ibu paruh baya mengikuti di belakang kursi roda yang bergulir pelan. Sang pria menarik koper berukuran besar di sebelah kanannya. Sementara tangan kirinya menenteng satu bed cover merah muda bermotif bunga. Sedangkan sang ibu menarik koper lain yang berukuran lebih kecil. Suara decit roda kursi dan koper melantun bersama.

Suster Kay mengarahkan rombongan itu menuju bilik kosong yang sudah dipersiapkan. Dari balik lembaran bukunya, Retno mencuri-curi pandang pada rombongan yang baru datang. Di sisi lain, Sri menonton kedatangan rombongan itu dengan sikap yang lebih kentara.

"Halo Mbak-Mbak. Permisi, ya." Sang ibu menyapa Retno dan Sri ketika kopernya sudah berhenti di bilik tujuan. Keduanya pun menyunggingkan senyum untuk menjawab salam selamat datang dari sang penghuni baru.

Kegiatan saling berbalas senyum itu, terhenti saat Suster Kay membimbing sang ibu paruh baya menuju lemari pakaian bersama. Ibu itu lalu memenuhi dua rak kosong yang tersisa dengan beberapa lembar baju yang diambil dari dalam koper. Jumlah baju yang berpindah tempat tidak lebih dari sepertiga. Sisanya tetap berada dalam koper karena ruang di lemari sudah penuh sesak.

Di sudut lain, Suster Ririn sedang membantu sang pasien baru untuk berbaring di ranjangnya. Setelah ia berbaring, pria muda yang sedari tadi mengikuti, segera duduk di sisi ranjang, Tangan keduanya saling bertautan, menimbulkan sekelumit iri pada Sri yang langsung teringat pada suami terkasih. Rindu hadir, kian memuncak.

Setelah Suster Kay memastikan proses perpindahan pasien selesai, ia pun berpamitan dengan sang ibu paruh baya, "Jika butuh sesuatu, hubungi perawat di depan, ya, Bu Nawang."

Kedua perawat itu, lalu kembali ke nurse station yang terletak tepat di depan ruang 305.

Nawang kembali melanjutkan kegiatan, hingga telinganya mendengar suara tongkat yang beradu. Ia mengawasi arah datangnya suara, dan akhirnya menemukan Ati yang baru keluar dari kamar mandi. Melihat wanita itu berjalan tertatih dengan tongkat, ia segera menghampiri, hendak membantu.

"Nggak apa-apa. Saya udah biasa. Terima kasih. Lanjutin aja beres-beresnya," tolak Ati halus.

Suara tongkat kaki tiga yang beradu, kembali terdengar. Wanita itu pun tertatih memasuki bilik anaknya. Nawang menyimak gerakan wanita itu hingga ia tiba di tempat tujuan.

"Owalah, putrinya lagi diinfus, toh? Pantes nggak bisa bantu," gumam Nawang.

Nawang lalu mendekat. Tubuhnya mengarah pada Ati, sementara tangan kirinya diletakkan pada pinggiran ranjang Retno. Dua buah cincin di jari-jarinya membuat Retno tertarik. Cincin berlian biru berbentuk oval, serta cincin bermata safir. Diam-diam, wanita muda itu mentaksir harga kedua cincin, yang bernilai hingga ratusan juta.

"Kenalkan, saya Nawang. Raden Ajeng Nawang Pangestu." Nawang memperkenalkan dirinya pada Ati.

"Nah, itu putri saya, Raden Ayu Anindya Maheswari. Di sebelahnya, mantu saya, Daneswara," sambungnya sambil mengarahkan jempol kanan pada sepasang insan yang duduk di ranjang seberang.

Tanpa diminta, Nawang memperkenalkan nama-nama anggota keluarganya.

"Saya Mulyati. Panggil Ati aja. Ini putri saya, Retno." Ati menimpali.

Ati perlahan duduk di karpet. Tongkat kaki tiganya diistirahatkan di ruang kosong antara meja kabinet dan dinding.

"Nama anaknya panjang, ya. Panggilannya siapa?" sambung Ati.

"Panggil Nindy aja. Ini anak perempuan saya. Semata wayang. Makanya saya ikut nemenin ke sini. Padahal mantu saya udah bilang, nggak usah. Gimana, ya, namanya orang tua. Ya pasti khawatir. Apalagi dirawatnya jauh," tutur Nawang.

"Memang tinggal di mana, Bu?" tanya Retno tanpa sungkan, mencoba menyapa sang tetangga baru.

"Di Semarang. Dirujuk ke sini sama dokter langganan. Kebetulan kakak saya, pakdenya Nindy, tinggal di Jakarta juga."

Nawang melirik putrinya yang sedang berbaring. Bulu mata yang lentik dan panjang, menghiasi kelopaknya yang terpejam. Bibir kecil serta hidung bangir membuatnya terlihat seperti boneka yang sedang tertidur. Di sampingnya, Danes mengelus-ngelus rambut sang istri yang hitam, panjang, dan berkilau. Jika saja Nindy mengikuti audisi model shampo, bisa dipastikan ia akan terpilih dan menjadi model terkenal.

"Oh iya, Mbak, maaf ganggu. Saya Nawang. Itu putri saya Nindy dan suaminya Danes." Nawang beralih menghadapkan tubuhnya ke arah Sri.

Sri yang sedari tadi menonton percakapan tetangganya, segera beranjak dari ranjang. Ia pun melangkah mendekati Nawang.

"Saya Sri." Sri mengulurkan tangan.

Tulang punggung Sri melengkung, menunjukan kesopanan terhadap yang lebih tua. Nawang pun menyambut tangan yang terulur. Dua telapak yang berbeda perawatan, saling beradu.

"Eh, ngomong-ngomong, keluarganya mana? Ndak nemenin? Apa lagi keluar?"

"Nggak, Bu. Suami saya harus kerja. Keluarga juga nggak bisa terus nemenin. Saya kan udah hampir tiga bulan di sini. Tapi nggak apa-apa. Saya kan masih bisa jalan dan gerak sendiri, jadi nggak masalah," terang Sri. "Kadang-kadang suami sama keluarga datang buat jenguk, sih. Tapi nggak tiap hari."

"Oh, udah lama juga, ya, dirawat di sini." Bu Nawang manggut-manggut.

"Kalau mantu saya ... alhamdulillah punya bisnis di Semarang. Kantor sendirilah. Makanya masih bisa ditinggalin. Tinggal dipantau aja dari HP. Minta laporan dari anak buah. Nindy juga sama, punya bisnis sendiri." Nawang bercerita tanpa diminta.

Retno tersenyum maklum mendengar cerita sang tetangga. Seperti orang tua pada umumnya, Nawang bangga dan senang saat berkisah tentang keberhasilan anaknya. Atau mungkin saja itu bentuk pengalihannya atas kekhawatiran pada kondisi sang putri. Sri dan Retno terus memasang telinga pada cerita dari tetangga baru mereka.

"Suami Retno kerja juga?"

"Iya Bu. Nanti sore baru ke sini. Tiap hari Jumat, gantian sama ibu saya," jawab Retno.

"Ooh, ntar Mbak Ati pulang?"

"Iya. Jumat sampai Senin, suami saya yang nemenin. Nanti hari Senin, ibu balik lagi ke sini."

"Iyalah. Ibunya biar istirahat di rumah. Saya tuh kasian sama mbak Ati. Jalannya susah. Rematik, ya? Atau asam urat? Saya bawa tuh obat gosok buat pijat. Bagus, loh. Ntar, saya ambilin." Nawang bergegas meninggalkan bilik Retno.

"Nggak usah Bu Nawang." Setengah berteriak, Retno memanggil wanita bertabur perhiasan itu. Ia merasa tidak enak menerima hadiah dari sang tetangga baru.

Akan tetapi, wanita paruh baya itu yang sudah sampai di depan meja kabinet. Ia mengabaikan teriakan Retno dan terus mencari minyak di dalam tas Hermesnya. Setelah menemukan apa yang dicari, ia pun kembali ke bilik di dekat pintu.

"Ndak apa-apa kok. Ndak boleh nolak rejeki, loh. Pamali," ujar Nawang sambil melangkah mendekati bilik Retno.

"Ini, Mbak Ati. Di tas saya masih ada, kok. Di rumah juga banyak. Danes dikirimin banyak sama kliennya." Sambil berlutut, Nawang menyerahkan botol berisi minyak pada Ati yang sedang duduk selonjor di karpet.

"Makasih, ya," ucap Ati.

Melihat pola tingkah tetangga baru mereka, Retno dan Sri hanya saling lirik, mengulum senyum. Darah biru yang cerewet namun baik hati.

Nawang lalu bangkit, dan beralih memandang Sri.

"Mbak Sri udah sehat, ya? Bisa jalan-jalan. Ndak lemes. Habis sakit opo, sih?"

"Plasenta perkreta, Bu. Udah selesai operasi, tinggal kemo aja. Jadi, bisa jalan-jalan," ucap Sri sambil tersenyum.

"Putrinya sakit apa, Bu?" Sri bertanya pelan, khawatir membangunkan Nindy.

"Ginjal."

"Ginjal? Kok dirawat di ruangan ini, ya? Ini kan khusus pasien kandungan." Masih dengan suara pelan, Sri mengejar penjelasan.

🏩🏩🏩

Bersambung

Hmm, kira-kira kenapa Nindy dirawat di ruangan itu, ya? 🤔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro