8. BISIK-BISIK CEMBURU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Putrinya sakit apa, Bu?” Sri bertanya pelan, khawatir membangunkan Nindy.

“Ginjal.”

“Kok dirawat di ruangan ini, ya? Ini kan khusus pasien kandungan.” Masih dengan suara pelan, Sri melanjutkan pertanyaannya.

“Anak saya lagi hamil juga. Makanya dirawat di sini,” jawab Nawang.

“Baru masuk lima belas minggu. Sekitar tiga bulan, ya? Nah, waktu itu tekanan darahnya tinggi banget. Terus disuruh cek lab. Ketahuan deh, kalau ternyata ginjalnya ada masalah,” terang Nawang sambil menatap iba pada putrinya. “Rencananya, hari Senin bayi Nindy  mau dikeluarin,” sambungnya.

“Diterminasi, Bu? Nggak bisa dipertahanin aja?” Retno yang ikut mendengarkan, tiba-tiba menyergah.

Kening Nawang berkerut mendengar pertanyaan Retno. Tidak pernah terpikirkan dalam benaknya untuk melanggar kata-kata dokter.

“Saya juga lagi hamil. Waktu hamil delapan belas minggu, saya disuruh terminasi karena saya punya penyakit autoimun. Tapi, saya minta dokter biar janinnya dipertahanin. Alhamdulillah, sekarang sudah 25 minggu,” terang Retno.

Nawang menarik napas panjang, menata hatinya yang bergejolak. Wanita paruh baya itu lalu melirik pada sang putri

“Kata dokter, harus digugurin. Khawatir ginjal Nindy makin buruk. Soalnya, kalau lagi hamil beban ginjal kan juga bertambah. Dokter juga bilang, janinnya susah berkembang, kalau ginjal ibunya nggak sehat. Ya udahlah, kami nurut aja. Yang terbaiklah. Setelah ini, Nindy disuruh ngobatin ginjalnya dulu, baru boleh program hamil lagi,” cerita Nawang.

“Wes, ndak papalah. Masih pada muda ini. Sekalian biar puas honeymoon. Soalnya baru tiga bulan nikah, udah tekdung,” lanjut Nawang yang disambut dengan gumaman ‘oh’ panjang dari mulut Retno.

“Mudah-mudahan Nindy bisa cepat sembuh. Biar bisa program buat hamil.” Sri menengahi pembicaraan Retno dan Nawang.

“Iya. Makasih, ya.” Nawang tersenyum ramah.

***

Sabtu pagi yang cerah, sang ibu kost berdendang indah. Alunan nadanya bersahutan dengan nyanyian burung gereja yang terbang melintasi jendela. Meskipun hanya gumaman tanpa lirik, akan mudah menebak lagu apa yang sedang didengarkan Sri dari earphonenya. Baru kali ini Retno mendengar tetangganya bersenandung, dari lagu dangdut, Melayu, hingga India. Wanita itu seolah mengumumkan isi playlist gawainya.
Bagaimana mungkin Sri tidak bahagia? Hari ini sang suami akan bertandang padanya. Setelah puasa bertemu, hampir satu purnama. Rindu pada kekasih yang tak lagi terbendung, akan menemukan muaranya. Apalagi wanita itu terus-menerus menyaksikan romantisme tetangga-tetangga sekamar. Rindu pun makin membuncah-buncah.

Namun, sang suami hanya datang seorang diri, tanpa membawa serta kedua buah hati. Peristiwa tangis histeris sulungnya masih terngiang di benak Sri. Dia tidak ingin kejadian itu terulang kembali. Menyaksikan derai putra tercinta, membuat hatinya berdarah-darah. Maka rindu untuk anak-anak terpaksa harus dia  tangguhkan. 

Jam jenguk pasien di akhir pekan dimulai pada pukul sebelas siang. Namun Awank, suami Sri, sudah boleh memasuki ruangan sejak pukul sepuluh pagi. Berbondong pertanyaan ditodongkan pada sang suami, terutama kabar tentang kedua buah hati. Pria itu dengan senang hati menjawab pertanyaan yang datang bertubi-tubi. Dia maklum pada kerinduan yang ditahan oleh sang istri. Tidak setiap minggu pula, dia bisa membesuk di rumah sakit.

“Aa Awank, si adek udah bisa ngapain?” tanya Sri mendesak. “Merangkak, ya?”

Awank tergelak. “Adek udah bisa lari. Hahaha. Ya belumlah. Baru juga bisa miring kanan kiri. Kamu tuh … kaya baru punya anak aja,” canda Awank pada istrinya, sambil membuka beberapa minuman dan makanan kemasan untuk mereka.

Di bilik sebelah, aroma minyak zaitun menguar di udara. Seiring dengan lincahnya jari-jari Rafi menari di sendi-sendi kaki istrinya. Lutut, betis, hingga pergelangan kaki wanita itu sering terasa nyeri tertusuk-tusuk. Terkadang nyeri juga terasa di sendi-sendi tangannya. Retno tahu, ini adalah salah satu komplikasi dari autoimun. Namun, ia tetap berusaha menguatkan diri, setidaknya untuk lima minggu lagi.

Migrain yang terkadang menyerang kepala pun tidak melunturkan semangatnya. Awalnya, obat antiinflamasi yang diberikan oleh Dokter Yoga mampu meredakan berbagai nyeri yang ia alami. Namun beberapa hari terakhir, efek obat tidak bekerja maksimal. Nyeri yang datang tidak kunjung menghilang.

Sementara di biliknya, Nindy duduk bersisian dengan Danes. Sedari pagi, sang suami sibuk dengan notebook di  pangkuan. Menganalisa laporan yang dikirim oleh sekretaris perusahaan.

Masih di bilik yang sama, Nawang sedang  duduk di kursi yang terletak di bawah jendela kaca. Wanita paruh baya itu sedang mengoleskan day cream di lima titik wajah. Di pangkuannya, terdapat pouch berwarna merah yang berisi set skincare. Botol toner, night cream, serum, compact powder serta lipbalm berdesakan di dalamnya. Setiap hari, sang raden tidak melewatkan ritual perawatan wajah. Ketelatenan membuat keriput tak tampak di wajah beningnya. Padahal usianya sudah melewati setengah abad.

“Mbak Sri!” teriak Nindy tiba-tiba, bergelegar. “Jangan kebanyakan minum minuman yang kaya gitu!”

Ibu kost yang sedang menyeruput minuman kemasan, tersedak karena kaget. Beberapa dia kali terbatuk. Dengan sigap, Awank membantu meredakan dengan menepuk-nepuk punggung istrinya. Nawang pun terkejut. Wanita itu  segera mengalihkan pandangan dari cermin oval di tangan, bergantian menatap putrinya kemudian Sri. Seluruh penghuni ruangan yang terkejut, segera memandang Nindy dengan penuh tanya.

“Niindy!” Nawang menegur Nindy. Sambil menggenggam cermin berwarna merah, wanita itu berjalan tergesa menghampiri ranjang Sri.

“Sri, maaf ya, kalau kaget dan jadi keselek,” ucapnya. “Sebenarnya, maksud Nindy itu baik.”

Nawang melirik Nindy yang tertunduk, merasa bersalah dengan refleks teriakan. Danes yang telah meletakkan notebook di ujung kaki, mengelus-elus pelan punggung tangan sang istri, berusaha menenangkan hatinya.

“Kata dokter, pola konsumsi yang nggak sehat jadi salah satu penyebab ginjal Nindy rusak. Kaya gula buatan di makanan atau minuman kemasan.” Nawang menghela napas.

“Waktu Nindy kecil, saya dan suami sibuk kerja. Akhirnya Nindy sering banget minum minuman kemasan. Berkotak-kotak dalam sehari. Kata dokter, itu bisa jadi salah satu penyebabnya.” Nawang menjeda.

“Saya nyesel banget kalau ingat yang dulu-dulu. Alasan sibuk bikin saya dan suami nyari yang praktis buat Nindy.” Nawang melanjutkan cerita. Terlihat air mata menggantung di kantung netranya.

“Oh, nggak apa-apa, Bu. Terima kasih infonya,” ucap Sri pelan.

“Nggak apa-apa kok, Nindy. Saya akan kurangi minuman dan makanan seperti ini.” Sri lalu meletakan minuman kemasannya di meja.

“Tuh, Aa, jangan beli yang kaya gini lagi.” omel Sri.

“Iya-iya. Makasih ya, Bu,” ucap Awank pada Nawang.

Melihat susana sudah terkendali, Nawang pun kembali duduk di kursi. Tangannya yang lentik kembali menyapukan cream di wajah, melakukan pijatan ringan di area pipi, hidung, dagu dan dahi.

Ruang kembali hening. Setiap pasangan larut pada aktivitas masing-masing. Beberapa menit kemudian, pintu terbuka dengan tergesa. Suara panggilan yang menyertai, membuat seisi ruangan tersentak kaget.

“Nindy!” Seorang pria paruh baya dengan langkah gagah berteriak memanggil. Matanya berkeliling mencari sosok yang ingin ditemui.

“Ssst!” Pria muda yang mengekor di belakangnya, berdesis panik. Kepalanya menoleh ke ke arah nurse station di belakangnya. Khawatir mendapatkan protes dari petugas yang berjaga.

“Mas Brata!” seru Nawang.

Dengan langkah lebar, Nawang menghampiri kakak lelakinya. Dia meraih tangan kanan Brata, kemudian mencium takzim. Pelukan ringan melengkapi perjumpaan kakak-beradik itu.

“Mana keponakanku yang paling cantik?” Brata menjulurkan lehernya mencari Nindy.
Langkah Brata tergesa menghampiri keponakannya, seolah tak ingin kehilangan setiap detik yang berharga. Wanita yang duduk bersandar di ranjang itu, segera menyambut sang paman. Uluran tangannya disambut oleh lelaki paruh baya itu. Telapak tangan yang kecokelatan mendarat di hidung sang keponakan. Danes pun melakukan hal yang sama dengan istrinya.

“Gimana kabarnya, Cantik? Udah makan belum? Udah minum obat? Mana yang sakit?” tanya Brata bertubi-tubi.
Click
Nindy tersenyum mendengar pertanyaan pamannya. Bingung hendak menjawab yang mana. Sebelum dia sempat menjawab, Brata kembali berseloroh,

“Oh iya, Mahesa salam sana sama adikmu. Biarpun lebih tua, Nindy harus manggil kamu Mas.” Brata merangkul pundak Mahesa, mendorongnya ke arah Nindy, kemudian ke arah Danes.

“Eh, ini Danes, ya? Owalah, makin ganteng aja. Mahesa, kamu harus belajar bisnis sama Danes. Pengusaha sukses, tuh,” ujar Brata pada anak lelakinya yang disambut senyum tersipu Danes.

“Ini barang-barang kalian, ya? Memang nggak muat di lemari?” Lelaki itu memindai dua koper yang terletak di dekat jendela.

“Nggak muat, Mas. Lemarinya kan buat bareng-bareng,” jawab Nawang. “Ini barang-barang dari Semarang. Rencananya, dari airport kita cuma mau konsultasi ke dokter. Terus nginep di rumah Mas. Tahunya dokter langsung nyuruh masuk ruang rawat. Ya udah, bawaan masih banyak kaya gini,” sambungnya.
.
“Emang nggak ada kamar lagi? Yang sendirian gitu. Biar Nindy nyaman.” Brata menginterogasi adiknya. “Tenang aja, aku yang bayari,” lanjutnya. Nadanya naik setengah oktaf, disertai dengan rahang yang mengeras dan netra yang menatap tajam pada sang adik.

“Nggak ada, Mas. Cuma ini yang kosong. Tadinya kita malah di ruangan kelas tiga. Di sebelah. Di situ, keluarga nggak boleh nemenin di kamar, loh. Kalau di sini, masih boleh. Walopun cuma satu orang. Jadi, semalam aku tidur di sini. Si Danes tidur di lobby. Mau tak suruh tidur di hotel, takut Nindy kenapa-napa,” terang Nawang membela diri.

“Yowis, kalau nanti ada kamar VIP yang kosong, pindah aja, ya. Biar Nindy nyaman.” Brata mengalihkan pandangannya pada Nindy dan memijat pelan telapak kakinya.

“Nin, ikhlasin ya. Kita obatin dulu ginjal kamu. Terus kamu bisa program hamil lagi,” ujar Brata.

Mata Brata menatap lembut pada keponakannya. Nada suara yang tadi tinggi, sekarang turun satu oktaf. Nindy tersenyum kecut mendengar nasihat sang paman. Keluarga itu pun lalu melanjutkan bincang-bincang mereka.

***

Mentari tergelincir dari sudut tegak lurusnya. Berbagai benda di bawah cahayanya pun mulai membentuk bayang ke arah barat. Benda-benda mengikuti laju sang surya. Jam besuk siang berakhir tepat ketika jarum pendek jam singgah di angka satu. Dengan enggan, Brata meninggalkan ruangan, diikuti oleh sang putra tersayang.

Meskipun jam besuk sudah berlalu, namun Awank masih bergeming di ruangan. Ia telah berjanji pada sang kekasih, untuk menghabiskan gelap di rumah sakit. Mengarungi malam berdua sang kekasih. Menikmati kencan yang sudah lama tertunda.

***

Hari kerja pertama di awal pekan akhirnya tiba. Di Senin itu, Rafi kembali meminta ijin pada kantor untuk datang terlambat. Pria itu harus menemani istrinya untuk berkonsultasi dengan Dokter Yoga. Walaupun begitu, pagi-pagi sekali Ati sudah tiba di rumah sakit, siap menggantikan menantunya untuk menginap di rumah sakit.

Di ruangan itu, dua pasien sedang menanti perawat dengan tugas alasan berbeda. Retno menanti perawat yang akan mengantarkannya ke poliklinik imunologi. Sementara di bilik seberang, Nindy menanti perawat yang akan mengantarkannya ke operatie kamer di gedung C, untuk melakukan terminasi.

Alih-alih perawat, wajah pertama yang hadir di balik pintu malah Dokter Nadine. Sesuai peraturan, dokter harus mengunjungi pasien terjadwal tindakan untuk menjelaskan prosedur yang akan dilakukan. Nindy mendengar penjelasan dokter residen itu sambil lalu. Matanya terus menatap pada Teddy Bear di pelukan. Jari-jari mungilnya menyisir bulu halus yang menyelimuti tubuh sang boneka.

Setelah berpanjang-lebar penjelasan, satu pertanyaan mengejutkan terlontar. “Dok, kehamilan saya benar-benar nggak bisa dilanjutkan, ya?” tanya Nindy penuh harap. Sorot matanya sendu, mengiba.

Dokter Nadine terkejut dengan pernyataan tiba-tiba dari pasiennya. Dia lalu menarik nafas panjang sebelum menjawab dengan intonasi yang dipertahankan tetap stabil, “Bu Nindy, kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Sebelumnya kita sudah sepakat untuk terminasi, kan?”

“Mmm ….” Nindy meragu. Hatinya berkecamuk. Ada perasaan sakit menusuk-nusuk di dada. Kalimat yang sudah bersiap di ujung lidah, entah mengapa kembali ke peraduannya.

Beberapa menit dalam keheningan, Nindy akhirnya mulai berkata pelan, “Beberapa hari ini saya mimpi. Ada yang ngasih bayi ke saya, tapi kok nggak bisa saya raih.”

Mata Nindy menerawang ke arah awan putih yang berarak-arak. Kelopak matanya mulai basah. Tangis yang tercekat di ujung tenggorokannya, ingin sekali dia muntahkan.

“Itu cuma mimpi, Bu. Mungkin Ibu cuma kepikiran karena ini anak pertama.” Dokter Nadine menenangkan.

Nindy tertunduk, bendungan netranya hampir jebol. Wanita itu teringat pada sahabat-sahabatnya. Tanpa sungkan, mereka sering melafalkan kecemburuan akan keberuntungan hidupnya. Paras yang cantik, darah ningrat, suami yang tampan, serta bisnis yang sukses. Lafal yang sempat membuat sang raden meninggi hati. Namun detik ini, kejumawaan itu raib.

Tak ada satupun dari sahabat-sahabatnya yang tahu tahu persis kesedihan yang dialami Nindy saat ini. Pun tak ada yang tahu betapa wanita itu mencemburui balik sahabat-sahabatnya. Mereka yang bisa menikmati proses kehamilan dengan normal selama sembilan bulan. Mereka yang telah mewarnai rumahnya dengan tawa dari satu, dua hingga tiga bocah.

Tak usai sampai di situ. Nindy bahkan memendam cemburu pada tetangga-tetangganya di ruang rawat. Sri yang walaupun sudah tidak memiliki rahim, tapi telah dianugerahi dua buah hati. Atau Retno yang masih diberi kesempatan mempertahankan janin, walaupun harus tertatih.

“Dokter Pasha kan udah jelasin ke Ibu. Kondisi ginjal Ibu saat ini, tidak memungkinkan untuk menjalani kehamilan. Kehadiran janin di rahim, akan membuat ginjal bekerja lebih keras.” Dengan sabar Dokter Nadine meyakinkan pasiennya

“Dokter nefrologi juga sudah bilang tentang kemungkinan gagal ginjal, kan?” Dokter residen itu mengkonfirmasi dengan penuh penekanan.

Nindy kian tertunduk. Jemarinya mencengkram erat Teddy Bear yang ada di pelukan. Bibirnya mengatup menahan getir yang kian mengalir.

“Kemungkinan, BB janin juga rendah. Ada juga kemungkinan lahir prematur. Untuk sekarang, terminasi adalah pilihan terbaik, Bu. Melanjutkan kehamilan, akan membahayakan Ibu dan juga janin,” lanjut Dokter Nadine. Dokter itu lalu melayangkan pandang pada Danes dan Nawang, mencoba mencari dukungan.

"Bagaimana, Bu?"

🏩🏩🏩

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro