9. SYUKUR YANG TERLUPA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Air yang tak lagi terbendung perlahan menetes di kedua pipi Nindy yang ranum. Danes mengulurkan tangan melewati punggung sang istri. Tangannya yang kekar meremas lembut pundak istrinya, berusaha menenangkan. Diiringi senggukan dan derasnya air mata, Nindy mengangguk pelan. Mengikhlaskan bayi pertamanya yang akan hilang. Walaupun hatinya remuk berantakan.

"Bu Retno, sudah siap?" Suara suster Ririn mengagetkan Retno, menghentikan keseriusannya menyimak pembicaraan Nindy dan Dokter Nadine di seberang. Wanita itu mengalihkan pandang pada perawat yang sudah menanti. Ia lalu tersenyum mengangguk.

Sebelum meninggalkan ruangan, Retno sempat melirik pada tetangganya. Ia Melemparkan seutas senyum pemberi dukungan semangat, yang dibalas dengan senyum kecut. Wanita itu maklum. Ia paham bagaimana hancurnya perasaan Nindy.

***

Roda bergulir pelan di sepanjang koridor menuju gedung D yang berada tiga ratus meter dari ruang rawat inap. Gedung D menjadi titik kumpul seluruh poliklinik dari berbagai departemen yang ada di RS Stovia. Pasien, pengunjung, hingga tenaga kesehatan, hilir mudik memadati koridor selebar dua meter. Sejak pagi buta hingga menjelang senja, keramaian identik dengan gedung D. Namun setelah sinar jingga perlahan berganti kelam, hanya kesunyian yang tersisa di gedung ini.

Poliklinik obgyn yang didatangi Retno pekan sebelumnya berada di lantai satu gedung D. Penempatannya di lantai paling bawah memudahkan jangkauan para ibu hamil. Sementara poliklinik imunologi yang akan dikunjungi hari ini, terletak di lantai dua. Untuk menuju ke sana, Retno, Rafi dan Suster Ririn harus menggunakan lift yang tersedia di sudut gedung. Dua lift yang terus bergerak naik dan turun.

Saat menapakkan kaki di poliklinik imunologi, Retno disambut jumlah pasien yang membludak. Ketidakseimbangan jumlah pasien imunologi dan dokter yang menangani, menyebabkan antrean mengular di poliklinik ini. Kursi yang disediakan di ruang tunggu, tidak mampu menampung seluruh pasien. Beberapa pasien berdiri mendinding, selebihnya duduk melantai.

Akibat meluapnya jumlah pasien, maka pelayanan di poliklinik imunologi dilakukan dengan waktu yang efisien. Singkat dan tepat. Tidak seperti pelayanan di poliklinik lain, yang memungkinkan pasien bertanya panjang lebar tentang kondisinya.

Tak lama berkisar lama setelah Retno tiba, petugas adminitrasi memanggil namanya. Ditemani suaminya, wanita itu masuk ke ruangan. Di sana, Dokter Yoga sudah menanti kedatangannya.

"Bu Retno. Apa kabar? Yuk, berbaring!" perintah Dokter Yoga sambil menunjuk ranjang di samping kanan meja kerjanya.

"Ada keluhan saat ini?" tanyanya lagi, sambil melangkah menuju ranjang tempat Retno berbaring.

Mata Retno beberapa kali mengerjap. Ia memilah-milah rangkaian kata sebagai jawaban. Setiap kalimat yang hampir terucap, kembali ditelan. Wanita itu berusaha menyembunyikan keluhannya agar Dokter Yoga mau memberi perpanjangan waktu kehamilan.

"Akhir-akhir ini, istri saya sering nyeri di sendi kaki dan tangan, Dok." Rafi menjawab pertanyaan dari kursi yang ada di depan meja kerja sang dokter. "Kemarin juga sempat sesak nafas. Tapi setelah saya pijat punggung istri saya, katanya sesak lumayan berkurang."

"Sesaknya hanya sekali, kok, Dok. Mungkin karena kurang tidur." Retno menyela jawaban Rafi, berusaha menutupi yang dialami.

Dokter Yoga melirik ke arah Rafi kemudian Retno. Dia tersenyum penuh arti. Dokter itu segera memeriksa pergelangan kaki dan tangan pasiennya. Dia mencermati beberapa memar di sana.

"Obat antiinflamasinya diminum kan, Bu?" tanya dokter imunologi itu. Retno mengangguk. Dokter itu alu beranjak ke meja kerja.

"Ibu cek darah di lab dulu, ya. Kita lihat hasil LED ibu," ucap Dokter Yoga sambil menulis di selembar kertas.

"Ini surat pengantarnya. Setelah hasilnya keluar, ibu ke sini lagi," sambungnya sambil menyerahkan lembaran putih yang sudah dibubuhi tanda tangan.

"Ada masalah, Dok?" Rafi menatap mencermati surat pengantar yang sudah berpindah ke tangannya.

"Kita lihat dari hasil LED nanti, ya."

"Kelanjutan kehamilan, Dok?" potong Retno. Fokus pikirannya hanya berapa banyak waktu yang tersisa untuk melanjutkan kehamilan.

"Kita lihat hasil lab nanti, ya, Bu," pungkas Dokter Yoga menutup sesi konsultasi. Antrian pasien di luar tidak mengijinkannya untuk berlama-lama melayani setiap pasien.

🏩🏩🏩

Setelah mendapatkan informasi dari Rafi, Suster Ririn segera mengantar Retno menuju laboratorium yang terletak di lantai empat gedung D. Lagi-lagi, wanita itu mendapatkan prioritas karena merupakan pasien rawat inap. Mereka menunggu selama satu jam hingga hasil laboratorium didapatkan. Tanpa membuang banyak waktu, Retno segera diantarkan kembali ke ruang poliklinik Dokter Yoga.

"Bu Retno, hasil LED ibu, tinggi." Dokter Yoga membuka percakapan setelah menganalisa lembaran hasil di tangannya.

"LED?" Rafi mengerutkan kening. Tubuhnya maju beberapa centi, demi mendapatkan penjelasan lebih lanjut. Pria itu lalu melirik sang istri di samping.

"Laju endap darah. LED wanita normal harusnya 0-20 mm per jam. Jika hamil, LED bisa lebih tinggi tapi masih di bawah 70 mm per jam." Dokter Yoga menjeda. "Hasil LED bu Retno 120 mm per jam," sambungnya sambil menunjuk pada angka yang tertera di lembar hasil laboratorium.

"Artinya apa, Dok?" tanya Rafi.

"Ada inflamasi, peradangan di dalam tubuh istri bapak. Ini berbahaya bagi ibu dan janin," jawab Dokter Yoga. "Sebelumnya saya kan sudah memberikan NSAIDs. Obat anti inflamasi non steroid. Sepertinya sekarang, fungsinya tidak terlalu efektif. Jadi, kita ganti dengan kortikosteroid, ya. Obat anti inflamasi yang mengandung steroid."

"Aman untuk janin saya kan, Dok?" Retno angkat bicara.

"Saya akan berikan dengan dosis yang dibutuhkan, sehingga meminimalisir efek bagi janin. Karena, kalau LEDnya semakin tinggi, akan berbahaya juga untuk janin ibu. Kita pilih solusi yang lebih minim resikonya." Dokter Yoga menjelaskan sambil menatap Retno dan Rafi bergantian.

"Ada beberapa efek samping yang mungkin ibu rasakan setelah minum kortikosteroid. Tapi, itu tidak terlalu berbahaya," lanjut Dokter Yoga sambil menuliskan laporan pada rekam medis. Laporan ini nantinya akan menjadi rujukan bagi dokter obgyn yang menangani Retno.
"Dok," panggil Retno pelan.

"Kenapa, Bu?" Tanpa mengalihkan perhatiannya dari rekam medis, Dokter Yoga menjawab singkat.

"Mmm ...." Retno menggantungkan kalimatnya.

"Tentang kehamilan, ya?" tebak dokter itu sambil mendongak.

"Iya. Dok. Bisa nggak waktunya kita undur? Lebih dari tiga puluh minggu?"

"Saya khawatir ... kemungkinannya kecil," jawab Dokter Yoga.

Dokter Yoga kembali memusatkan perhatiannya pada laporan yang sedang ditulis. Suasana hening di dalam ruangan, hanya terdengar suara pulpen yang beradu dengan kertas.

"Bu," panggil Dokter Yoga. "Saat menangani pasien dengan kondisi hamil, dokter harus memprioritaskan keselamatan ibu kemudian keselamatan janinnya. Jika kami dihadapkan pada situasi harus memilih, kami diharuskan untuk menyelamatkan ibunya terlebih dahulu. Itu SOPnya."

"Kita akan terus observasi kondisi Bu Retno. Jika terjadi perburukan, terminasi kemungkinan harus dilakukan segera. Namun jika Ibu bisa bertahan, kondisi janin juga stabil, kita akan coba pertahanin kehamilan hingga minggu ke tiga puluh," terang Dokter Yoga. "Tapi, saya tidak merekomendasikan lebih dari itu, karena akan sangat beresiko. Kami mohon maaf."

"Tapi Dok, bisa nggak bayi saya nanti bertahan?" kejar Retno.

"Ketika menentukan angka tiga puluh minggu, dokter obgyn pasti sudah melakukan berbagai pertimbangkan termasuk hasil konsultasi dengan departemen anak." Dokter itu menatap lekat pada pasiennya.

"Dari departemen imunologi pun tidak merekomendasikan Ibu untuk hamil lebih lama dari itu. Mempertahankan kehamilan samapi hari ini saja, sudah cukup beresiko untuk ibu. Saya mohon maaf, Bu," sambung Dokter Yoga, berharap pasien di depannya mau menerima keputusan bersama para dokter.

Retno menatap sendu pada suaminya yang dijawab dengan anggukan, isyarat agar mereka mengikuti saran Dokter Yoga.

🏩🏩🏩

Retno, Rafi dan Suster Ririn kembali menuju gedung A. Sepanjang perjalanan Retno terlihat tidak bersemangat. Wanita itu sadar, ia tidak bisa mengajukan penambahan waktu kehamilan dan harus menerima bayinya lahir prematur di usia tiga puluh minggu.

"Jangan sedih, Sayang. Kita harus tetap bersyukur dengan kondisi saat ini. Coba kamu ingat Fariza. Kita ga tau dimasa depan dia punya kesempatan untuk hamil atau tidak. Ya, kan?" Rafi menghibur Retno.

"Iya Mas. Aku cuma kepikiran, kasihan bayi kita harus lahir prematur," lirih Retno.

"Kita maksimalin aja waktu yang tersisa. Kamu jangan banyak pikiran, apalagi mikiran yang nggak-nggak. Pokoknya, tugas kamu cuma istirahat dan makan yang banyak, terus teratur minum obat dan vitamin. Biar bayi kita bisa berkembang maksimal disisa-sisa waktu ini."

🏩🏩🏩

Ketika memasuki ruangan, tatapan pertama Retno tertuju pada ranjang Nindy yang masih kosong.

'Mungkin Nindy masih berada di VK,' pikir Retno. Wanita it menarik napas panjang, mensyukuri bahwa ia masih diperbolehkan mempertahankan kehamilan. Kursi roda berbelok ke arah bilik Retno.

"Udah selesai, Nak? Kok lama, ya?" cecar Ati.

"Iya, Bu. Tadi cek lab dulu," jawab Rafi. Rafi lalu membantu Retno turun dari kursi roda, membimbingnya menuju ranjang untuk berbaring.

"Apa kata dokter, Nak?" tanya Ati.

"Sama seperti kata Dokter Pasha, Bu. Kehamilan Retno cuma boleh dipertahanin sampai usia tiga puluh minggu. Nggak boleh lebih lama dari itu." Rafi menjawab pertanyaan ibu mertuanya.

"Ya udah. Nurut kata dokter saja. Kan Dokter Pasha juga udah bilang sampai tiga puluh minggu." Ati menggenggam tangan putrinya.
Walaupun Dokter Pasha sudah menyampaikan batas usia kehamilannya, tetapi Retno berharap Dokter Yoga bisa merubah keputusan itu. Namun, kedua dokter itu menyepakati hal yang sama, dan menutup peluang menambah masa, hati Retno makin terluka.

"Sayang, istirahat, ya. Kalau ada apa-apa, telepon aku. Aku bisa minta ijin. Pak Henri udah tahu kondisi kamu dan mau ngasih kelonggaran," tutur Rafi sambil mengelus kening Retno.

"Rafi pamit ya, Bu." Pria mencium tangan mertuanya dan bergegas pergi menuju kantor.

Retno baru saja akan memejamkan netra, ketika Sri mendatangi biliknya dengan senyum sumringah yang terlukis di wajahnya.

"Mba Retnnoo." Sri memanggil pelan sebelum memasuki bilik Retno.

Retno menunda keinginan tidurnya demi mengetahui keperluan sahabat pertamanya di rumah sakit. Matanya mengerjap beberapa kali, mencoba menghilangkan kantuk.

"Ada apa, Mba Sri?" Retno menjawab sambil perlahan bangkit, mengganti posisi berbaring menjadi duduk bersandar di bantal.

Sri masuk ke bilik dan duduk di tepi ranjang Retno.

"Tadi Dokter Nadine ngasih tahu, kalau dokter obgyn dan dokter gastroenterologi udah diskusi. Karena kondisi saya stabil, katanya saya boleh pulang besok pagi. Tinggal kontrol dan kemo aja nanti," ujar Sri dalam nada yang ceria. Matanya berbinar dan senyumnya terkembang, menggambarkan bahagia tak terkira di hatiya.

"Oh ya?" seru Retno.

Sri mengangguk dengan senyum merekah. Aura bahagia terpancar dari dirinya. Kerinduannya akan rumah, suami dan anak-anak, akan segera terbayar. Kerinduan yang sudah sekian bulan dia tahan.

"Selamat ya, Mbak Sri. Jaga kesehatan di rumah. Nanti kalau saya bosan, kita telepon-teleponan, ya."

"Oke. Nanti kalau si dede bayi dan Mbak Retno udah pulang ke rumah, jangan lupa kabari. Biar saya ajakin anak-anak buat nengok dede bayi." Sri mengenggam punggung tangan Retno. Do'a tulus terselip agar Retno dan bayinya nanti bisa pulang ke rumah dengan sehat dan selamat.

Setelah tetangganya kembali ke bilik, Retno kembali berbaring, tapi kantuknya telah menghilang. Membayangkan rasa bahagia Sri membuat Retno tiba-tiba merasa rindu juga dengan rumah. Namun, ia menguatkan hatinya. Wanita itu menyemangati dirinya sendiri untuk terus bertahan beberapa minggu lagi.

🏩🏩🏩

Nindy kembali ke biliknya menjelang pukul tiga sore. Setelah tiubuhnya dipindahkan ke ranjang, dia mulai memejamkan mata. Walaupun ia tidak bisa terlelap. Wanita berdarah ningrat itu belum bisa melupakan proses kuretase yang baru saja dijalani.

"Bu, karena Bu Nindy sudah selesai dengan kehamilannya, besok pagi Bu Nindy akan kami pindahkan ke lantai empat, bagian penyakit dalam." Suster Kay berkata pelan pada Nawang.

"Di lantai empat ada kamar VIP atau VVIP nggak, Sus?" Brata menyela pembicaraan.

"Sampai sore ini, yang tersedia hanya ruang rawat kelas tiga. Tapi di sana, salah satu keluarga bisa tetap menemani," tukas Suster Kay. "Hanya saja, jumlah pasien di ruangan memang cukup banyak. Sekitar delapan orang. Itu sebabnya, Bu Nindy masih kami izinkan untuk tidur di sini malam ini. Biar bisa lebih tenang," jelas perawat itu.

"Nggak bisa di sini aja, Sus? Sampai ada kamar yang pasiennya lebih sedikit. Bukan VIP juga nggak apa-apa," tanya Nawang memelas.

"Nggak bisa, Bu. Prosedurnya seperti itu. Kami mohon maaf. Saya permisi dulu, ya." Suster Kay lalu beranjak meninggalkan ruangan. Dia menutup celah untuk negosiasi.

Nawang memandang penuh arti pada kakak laki-lakinya. Meski tidak ada kata yang terucap, Brata mengerti bahwa sang adik meminta pendapatnya. Pria itu lalu melangkah mendekati Danes yang duduk sedang di samping Nindy.

"Mau pindah rumah sakit aja, Nes?" tanya Brata.

Danes menatap Brata. Tangannya terus mengelus celah di antara dua alis istrinya, sambil memikirkan saran yang barusan dia dengar. Perlahan Nindy membuka mata.

"Nggak usah pindah, Pakde. Di sini aja. Nindy cocok sama dokternya. Lagipula ini rumah sakit rujukan nasional. Dokter-dokternya pasti berkualitas." Nindy berkata pelan.

"Udah-udah, kamu istirahat dulu. Kita bicarain ini nanti aja, ya." Nawang menghentikan diskusi keluarga itu, mencoba memberi waktu istirahat untuk putrinya.

Nindy baru saja memejamkan mata, ketika pintu ruangan kembali terbuka. Seorang dokter residen laki-laki berjalan menyeberangi ruangan, menuju bilik yang terletak di ujung. Langkah-langkahnya lebar dan tergesa.

"Bu Raden Ayu Anindya Maheswari?" tanyanya sembari memperbaiki letak bingkai kacamata.

"Benar, Dok. Itu putri saya. Ada apa ya, Dokter ... Dokter Haikal?" jawab Nawang, sambil menatap papan nama hitam di jas putih sang dokter.

"Hasil CT scan Bu Anindya sudah keluar. Kami juga sudah mendiskusikannya di departemen nefrologi bersama DPJP."

Dokter Haikal mengeluarkan foto hasil CT scan dari amplop besar. Dia menatap Nindy sekilas, lalu memperlihatkan hasil CT scan di hadapan Nawang. Brata segera mendekat, berdiri di belakang adiknya.

"Ini foto ginjal Bu Anindya. Berdasarkan hasilnya, kerusakan ginjal Bu Anindya sudah sangat berat. Fungsi ginjal yang tersisa cuma sekitar 20%," ucap Dokter Haikal. Dia melirik Nindy yang menatapnya balik dengan tatapan sendu.

"Kami harus menyampaikan ini secepatnya, agar pihak keluarga pasien bisa mendiskusikan langkah-langkah yang harus diambil." Dokter Haikal kembali memperbaiki letak bingkai kacamatanya. "Kemungkinan kedua ginjal Bu Anindya harus diangkat dan diganti dengan ginjal lain yang sehat. Prioritas saat ini adalah mencari donor ginjal yang cocok," lanjutnya.

Nawang sangat terkejut, hingga hampir terjatuh lemas ke lantai. Brata dengan sigap menopang adik perempuannya dan segera membimbingnya menuju kursi di dekat jendela. Retno, Sri serta Ati yang tidak sengaja mendengar pun, terkejut dengan kabar dari Dokter Haikal. Sementara Nindy mulai terisak pelan. Seolah cobaan yang baru saja ia lalui, masih merupakan awalan dari cobaan-cobaan lain yang menanti di depan.

"Untuk saat ini, hanya ini yang bisa kami sampaikan. Besok siang, tim dari departemen nefrologi akan mengunjungi Bu Anindya di ruang rawat lantai empat. Kita akan diskusikan lebih lanjut tentang tindakan dan perawatan yang akan dilakukan," ujar Dokter Haikal. "Saya permisi, ya. Selamat beristirahat, Bu Anindya."

Isak Nindy masih berlanjut, sementara Nawang hanya bisa duduk termangu.

"Kemana kita harus cari donor ginjal, Mas?" Nawang bertanya pelan. Matanya yang menatap nanar ke depan, mulai meneteskan bulir air mata. Selama beberapa menit, tak ada yang sanggup mengeluarkan kata. Hanya isak yang saling bersahutan.

Ketika isaknya berangsur mereda, Nindy mulai menguatkan diri untuk membuka suara.

"Ternyata ... ternyata harta yang kita punya ... nggak sebanding dengan semua yang udah dikasih sama Gusti Allah untuk kita," gumam Nindy pelan. "Yang ada di tubuh kita," lanjutnya. Pandangannya nelangsa.

Brata berjalan mendekati ranjang. Sambil memijat pelan kaki Nindy, Brata berkata, "Sabar ya, Cantik. Nanti kita sama-sama cari solusinya. Pakdemu ini akan ninggalin kalian. Pakde udah janji sama almarhum bapakmu."

🏩🏩🏩

Meskipun perasaan sedih masih bersemayam di hati Nindy, Danes dan Nawang, namun mereka menyembunyikannya dari tamu-tamu yang datang di jam besuk sore hari. Tamu-tamu ini memberi dukungan semangat pada Nindy atas kehilangan janinnya, tanpa tahu di masa mendatang Nindy akan kehilangan kedua ginjalnya.

Selain keluarga Nindy, di ruangan itu, hanya Retno, Sri dan Ati yang mengetahui kisah memilukan sang raden ayu. Mereka menyimpannya sambil tak henti berucap syukur pada Allah, atas rezeki yang kadang terabaikan untuk disyukuri.

🏩🏩🏩🏩🏩

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro